Ada angin segar apa seorang Intan kembali bercerita? Ada peristiwa
yang aku ingin ini abadi. Well, anggap saja beberapa jam lalu aku menunaikan ujian
seminar proposal. Ya, seminar proposal. Ketika teman-teman di kampus lain sudah
seminar hasil, ujian komprehensif, bahkan mungkin ada yang tinggal capcipcup
bangku wisuda, aku masih di tahap ini: proposal. It doesn’t matter. Bukankah setiap orang punya waktunya
sendiri? Ya, pun setiap orang punya ceritanya sendiri-sendiri, cerita yang
membentuk siapa kita hari ini.
Seminar proposal meninggalkan banyak sekali kesan. Aku
merinding sendiri menuliskan ini. Bulu kuduk yang mulai tegak merangsang air mata
berjatuhan membasahi pipi. Ternyata aku telah melalaikan banyak sekali hal
penting yang tidak bisa kujelaskan.
Kepada dosen pembimbing dan pengujiku, tiada kata lain
selain permohonan maaf dan terima kasih yang tulus dari mahasiswa yang tinggi
hati bukan bikinan. Sepandai apapun tupai melompat, akhirnya akan jatuh ke
pelimbahan juga. Sepandai-pandai manusia menyimpan kebusukan, akhirnya akan
tercium juga.
Kebusukan apa yang kusimpan? Kesombongan. Aku menyadari
keburukan itu dan aku bangga. Sejujurnya aku tidak bermaksud demikian. Aku
membusungkan dada itu hanya sebagai guyonan dengan teman-teman. Ya, standar
bercanda kami memang beradu kesombongan, semata-mata untuk saling memotivasi.
Tapi kali ini berbeda, aku sombong pada diriku sendiri dan aku sangat malu.
Pascaseminar, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Orang-orang terkasihku datang memberikan dukungan. Yang tidak datang ikut
memeriahkan momen penting ini melalui kiriman semangat dan doa terbaik. Aku
sombong sekali. Dalam hati aku berkata, betapa mudahnya ujian seminar ini.
Teman-teman audiens (agaknya) kesulitan bertanya pada sesi tanya jawab. Konon, mereka
menganggap penelitianku bukan ranah mereka. Padahal, dari seminar ini aku
berekspektasi pada mereka agar memberikan masukan untukku.
Pada sesi tanya jawab dengan dosen, aku melewatinya tanpa
kendala. Dalam keadaan ujian yang menentukan, aku tidak merasa gelisah sama
sekali. Apakah aku sudah terlalu siap dengan penguasaan materi yang aku sendiri
sampai bosan karena mengupasnya berkali-kali? Atau memang aku yang terlalu
sombong karena (barangkali) punya nilai lebih di hadapan dosen?
Pagi buta setelah seminar aku terjaga, salat malam,
bersyukur. Pada mulanya aku berniat untuk tidur lagi. Kupikir, mengerjakan revisi
masih bisa besok lagi, toh mataku masih berat, tubuhku terus memaksa untuk beristirahat.
Namun, tanganku gatal saat melihat draf proposal yang teronggok di meja
belajar, bersebalahan dengan komputer jinjing.
Aku mengelus sampul usulan penelitianku. Di ujung kanan atas
tercantum paraf dosen dan tanggal (tertulis 2/5 artinya 2 Mei). Seketika hatiku
bergetar, melihat tulisan “telah diseminarkan”. Hari itu (2/5) bertepatan
dengan Hari Pendidikan Nasional. Aku melewatkan satu bendera lagi dan aku
merasa berduka.
Kekecewaan pada diri sendiri makin menjadi. Aku membuka
proposalku dengan hati-hati. Kubuka lembar demi lembar dengan detail agar
jangan sampai melewatkan yang terselip. Aku tahu ada banyak coretan di dalamnya.
Seketika tangisku kembali pecah. Ini bukan tangis duka karena banyak revisi,
melainkan karena aku bangga. Aku bangga pada dosen-dosenku.
Dari coretan-coretan dosen, aku ketahuan betapa pemalasnya
aku. Tapi lagi-lagi aku dapat menyombongkan diri, “Aku bangga, aku pemalas yang
beruntung karena mau berusaha.” Well, teori-teori baru harus kupelajari lagi
untuk menggenapkan rantai keilmuan yang rumpang. Ini bukan masalah besar
bagiku. Yang jelas, perasaan bersalahku pada dosen masih begitu kentara. Namun,
bagiku tidak ada permohonan maaf yang gratis. Aku akan membayar kepercayaan
dosen atas judul penelitian yang kuajukan dengan kesungguhan mengerjakan.
Mbrebesmili bacanya :')
BalasHapus