Kamis, 31 Mei 2012

Putih Biru Tinggal Kenangan

Masa penantian memang menyebalkan, membuat kegelishan menguasai hati. Tapi akan seru jika berkumpul dengan teman yang asik & menyenangkan. Aku perkenalkan one by one. Nadia adalah gadis mantan Ketua OSIS yang sering datang terlambat. Dia pintar & baik. Bahkan sudah menjadi salah satu motivatorku. Tere adalah teman sebangkuku yang nakal bin jail. Hampir setiap hari ulahnya membuatku kesal. Anging & Tiara adalah princess-nya cerewet dan primadona kelas, mungkin.. ;). Tholib & Yudha adalah dua sejoli yang mungkin tak terpisahkan. Keduanya sama-sama menyukai lagu-lagu jadul, kurasa sama dengan gaya mereka..hmm ;). Tidak lupa
Andi, ketua kelas yang sering membuat teman-teman sebal, tapi asyik. Mungkin, tak ada Andi tak ramai kelas ini. Dan aku sendiri, panggil saja Intan. Tak banyak yang bisa dipuji, karena segala puji hanya milik Allah.

Kalau dalam mapel PKn, kelasku ini menganut sistem kabinet parlementer, pemimpin bertanggung jawab pada parlemen. Ya itu, tugasnya Andi. Anak-anak lebih dekat memanggilnya kepala suku yang sangar. Tapi, dia juga punya sisi baik, kalau disuruh sama anak buahnya manutan banget. Padahal kan terbalik, ya? Itulah hebatnya Andi.

Sudah hampir satu tahun kebersamaan di kelas sembilan. Bagiku itu bukan waktu yang lama, ini terlalu singkat, terlalu cepat. Hari ini aku ingin bergembira. Hiking bersama teman adalah salah satu dari 100 mimpiku menjelang 2 juni, yaitu pengumuman kelulusan hasil ujian nasional lalu. Huuhh.. mendengar kalimat itu benar-benar sukses membuat bulu kudukku berdiri. Namun,  itulah hidup. Setiap hidup punya warna, setiap warna punya perbedaan, itu semua akan dilalui. Hmm, seperti penyair saja aku ini. Hahaha :D.

Hiking Rabu itu tidak diikuti oleh sebagian besar teman kelasku, tapi banyak yang berpartisipasi dari kelas sembilan kebanyakan.
“Budiiiiii, turuuuunnn, kalau nggak turun bukan Budi...” teriak kawan-kawanku menyuruh Budi melompat dari tebing Curug Geulis yang tak begitu tinggi itu.

Hiking ini sangat seru kurasakan. Naik turun gunung yang curam, tak tau arah bahkan sesekali nyasar, dan yang lebih parah terisolasi. Sempat membuat panik, apalagi Nadia yang memprofokasi ada syaiton nirrojim di tengah perjalanan yang berupa hutan itu. Beruntungnya, Rizky, temanku yang memang kunci perjalanan hiking ini muncul. Alhamdulillah, Allah Maha Baik sehingga aku dapat pulang dengan selamat. Buru-buru kubersihkan badanku yang kini tak lagi sedap. Lalu kuambil air wudlu untuk menyucikan diriku sebelum menyapa Allah. Hari ini aku lelah, mungkin esok hari aku tak bisa melangkah sementara karena hari ini sudah jalan terlalu jauh. Aku terbaring lemas di ranjangku. Tidak, aku tak boleh bermanja seperti ini. Masih ada banyak hal baik yang harus ku kerjakan, ketimbang bersantai seperti kancil saja. Tapi aku lelah, dorongan untuk berisitirahat lebih kuat. Aku tak bisa menahannya. Kali ini aku harus mengalah.

Waktu terus berjalan, aku masih terjaga. Namun, bunyi hp membangunkanku. Dari temanku yang dua tahun lebih muda, lebih tepatnya sudah kuanggap adikku sendiri.
“Mba, sedang apa? Nanti ke masjid ya?”
Aku tak membalasnya. Setelah aku menjalankan kewajiban salat asar, kulihat ibu tengah nonton teve. Lalu, aku duduk di sampingnya. Tak banyak yang kami bicarakan, sang waktu sudah menyeru bahwa azan maghrib akan segera dikumandangkan. Segera ibu mematikan teve & kami bergegas ke rumah Allah yang seharusnya tak sedikit berpenghuni.

Kujumpai teman kecilku yang tampaknya sudah menantiku cukup lama.
“Mba, kenapa? Sedang ada masalah, ya? Kok tumben rasi bintang yang dulunya gemarlap menjadi kunang-kunang redup?” ucapnya dengan tatapan penuh tanya melihat mataku sayu kelelahan sepulang hiking tadi siang.

Aku terdiam pasrah. Kurasa ini terbalik, tampak wajahnya yang tengah menyimpan kegundahan. Mungkin dia mendapat seratus PR Matematika yang biasanya sukses membuatnya komat-kamit benci akan hal itu. Ternyata aku salah. Perlahan mulutnya terbuka dan bicara. Adik kecilku ini tengah patah hati. Laki-laki yang dicintainya memilih gadis lain yang jelas ada di dekatnya.
“Mbak, sih...!!! dulu bilang jangan pacaran. Sekarang aku kan, yang sakit.” Dia menggertak menyalahkanku.
“Dik, ingat tidak kata abahmu? Tak usah takut, Allah sudah menyiapkan couple untukmu,” ucapku mencoba mengingatkannya.

Terdiam sesaat dalam perenungan membuatnya sadar. Mungkin aku hanya berharap, semoga dia bisa terlepas dari kegalauannya dan tidak terjadi seperti ini pada orang lain.
“Mbak, aku harus gimana?” tanyanya menuntut jawabanku.

Azan maghrib sudah berkumandang. Kuhentikan pembicaraan itu dengan satu kalimat dari seorang sastrawan, Kahlil Gibran.
“Jangan pernah kamu menangis mengemis cinta. Ingat bahwa akan ada yang memberimu cinta, tanpa harus kau minta.”


***Pukul 20.00***
Hari ini sudah terlalu membuatku lelah. Usai makan, kuurungkan niatku melanjutkan cerpenku yang sudah lama tak kusentuh. Mataku sulit untuk terbuka. Aku mengantuk. Mungkin ungkapan ini lebih tepat. Aku harus pergi mengarungi samudera mimpi yang kuharapkan indah. Berdoa, sudah pasti tak boleh lupa. “Ya Allah, berikanlah aku mimpi, soal ulangan fisika besok pagi”

Hahaha :D sepertinya aku mengigau yang mungkin bisa membuat orang terpingkal-pingkal mendengarnya. Aku sudah usai ujian, masa belajarku di SMP dengan sang guru sudah berakhir dan mungkin tak ada lagi ulangan menghitung resultan gaya itu menggunakan rumus F= m x a.


****
Kokok ayam jantan membuatku harus bangkit dan menunaikan kewajiban. Apa yang terjadi pada kakiku? MasyaAllah, sedikitpun sakit tak aku rasakan. Usai sarapan dan bersiap-siap berangkat sekolah, kuambil ancang-ancang berpamitan pada orang tuaku. Sepertinya, aku sudah ditunggu sepeda hijauku yang berumur tak lagi muda untuk kugowes cepat menuju ke sekolah.

“SELAMAT PAGI DUNIA” slogan singkat itu membarakan semangat pagi.
“Kemarin hiking, hari ini ada apa, ya?” gumamku berceloteh menengadah ke langit ketika aku sampai di sekolah tempatku mengenyam pendidikan SMP tiga tahun ini.


“Nadia sedang apa, ya? Mengapa bicaranya berbisik dengan ibu wali kelas?” kataku lirih kebingungan.
“Kelas ini satu tim, bukan kelompok” begitulah ucapan Bu Eny, wali kelasku yang cantik & baik hati, yang tiap katanya tak hanya cinta, tetapi juga doa.

Kami berkumpul menyatu. Pertanyaanku akhirnya terjawab oleh penuturan Nadia. Ada salah satu dari tim kami yang sedang membutuhkan bantuan.

“Manusia hidup bersama orang lain. Tidak mungkin akan membiarkan saudara sakit sendirian. Itu sebabnya kita disebut sebagai manusia sosial.” 

Itulah petikan pelajaran IPS yang teringat selalu. Tere. Ya, benar. Dia yang sedang memerlukan bantuan. Tere tak pernah mengeluh meminta. Bahkan aku sendiri, tak pernah ia beri tahu tentangnya. Sumbangan sudah dikumpulkan, namun sengaja Nadia yang menyimpannya sementara, karena tidak semua siswa masuk sekolah sehingga uangnya belum  sepenuhnya terkumpul.

Aku tinggalkan sebentar tentang Nadia & berlalu ke Barbecue. “Entah bagaimana tulisan Barbecue. Bahasa inggrisku memang agak payah yang membuat aku harus belajar lebih keras lagi agar tidak memalukan jika suatu saat aku berpetualang ke kota dimana The British Library & pusat Greenwich Mean Time berada.”

Hmm, mungkin ini adalah kebersamaan terakhir di SMP bersama sapi-sapinya Tholib. Hahaha :D. Temanya sih barbecue, tapi bukannya sapi panggang, melainkan lele. Lucu memang. Dan ini kali pertamanya kami bersama-sama memicingkan mata bergidik akan cacing-cacing yang digunakan sebagai umpan memancing.
“Cia...cia...cia...awwwawawawaaw...” teriakan kami seakan membuat angin ikut  tersenyum geli melihat aksi kami menangkap ikan yang terkenal licin itu.
“Saatnya berpesta. Yeee....” terimakasih teman, sudah membuatku hari ini sangat gembira.


***Senin, 21 Mei 2012***
Kudengar kabar tak sedap yang datangnya dari kawanku sendiri. Uang yang semula akan diberikan pada Tere, kudengar dipakai sendiri oleh Nadia. Segera kubilang pada Nadia dengan perasaan menuduh & benci.
“Uang itu tidak kamu berikan pada Tere kan?” sentakku dengan tatapan tajam.
“Iyaa...” belum sempat ia jelaskan sudah kupotong cepat.
“Kamu itu, argkh...” Tak kulanjutkan bicaraku. Aku benar-benar tak tega  mengatainya adalah seorang pembohong besar yang mengatasnamakan penderitaan teman.

“Happy Birthday, Nadia..!!!” teriak anak-anak dan juga ibu wali kelas membuyarkan suasana yang semula tegang. Hahaha, ini semua permainanku dan teman-teman. Tapi, Nadia terlalu sabar untuk dibuat marah. Memang sih, tak ada alasan yang mendukung jika orang-orang bersikap demikian padanya. Semoga saja ini menjadi salah satu event tak terlupakan bagiku, bagi Nadia, dan bagi semuanya di hari-hari terakhir bersama teman di sekolah ini.


***Farewell Party***
Cilacap, 2 Juni 2012. Ini dia saat-saat yang mendebarkan bagiku dan mungkin bagi mereka kebanyakan. Perpisahan yang menyakitkan, peristiwa yang tidak pernah aku harapkan, diikuti pengumuman hasil ujian yang mencekam penuh ketegangan. Satu syair yang melekat erat di benakku adalah, “Apakahku jadi juara atau ternyata aku bukan juara, itu bukan hal yang penting, yang penting telah kulakukan yang terbaik. Kalah menang itu biasa, yang penting kita punya pengalaman, kita jadi berani hadapi apapun yang terjadi. Juara yang sejati akan selau tegak berdiri, walau ternyata kalah semangat tak boleh patah. Juara yang sejati selalu lakukan yang terbaik, apapun yang terjadi tetaplah tegak, tegak berdiri”
Hmm, mungkin tak ada kata lain selain “Congratulation to Pratamamia Agung Prihatmaja” sang juara bertahan sejak menginjakkan kaki di SMP yang sama denganku. Tidak hanya satu, tapi sudah banyak prestasi yang mungkin sulit kuhafal yang sudah sampai di kancah nasional. Kawanku yang satu ini memang sangat langka. Anak-anak yang seperti ini yang harus dilestarikan. Hahaha, (maaf tidak bermaksud).

Farewell Party-nya sudah usai. Sebentar lagi aku akan melepas seragam Putih Biru yang sarat kenangan ini.

Aku sangat paham, aku tidak lagi anak-anak, dan masa remajaku juga tak berlangsung lama. Lambat laun, akan kuarungi dunia kedewasaan hingga lanjut usia. Wallahu A’lam, hanya Allah yang Mahatahu perjalanan hidup manusia. Mungkin, jika diibaratkan tumbuhan, semua ini merupakan proses, mulai dari lahir, tumbuh dan berkembang, berbunga, berbuah, kemudian layu dan mati. Begitu juga manusia, terlahir dari rahim ibu, tumbuh besar, sampai pada puncaknya, dan akhirnya mati. Astaga, begitu singkatnya hidup ini. Aku, bahkan mungkin semua berkesempatan menghirup nafas adalah untuk mengumpulkan bekal di keabadian. Menjadi lebih baik atau buruk, memakan yang halal atau haram, bersahabat atau bermusuhan, pantang menyerah atau putus asa? Itu semua adalah pilihan. Apabila kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama, maka ada baiknya mungkin, jika kita memilih apa yang tidak membuat orang terluka.
“Hufh...kesurupan apa, aku ini? Mengapa jadi bicara seperti ini sih? Seperti bukan aku saja.” Gumamku menggerutu tak yakin aku sedang berceloteh bak seorang Chairul al-Attar.

Malam ini akan kuhabiskan lembaran cerpenku yang tak kunjung jadi. Membayangkan kepergian yang membawa kerinduan hingga pagi. Kadang kita tak menghargai satu hal ini, w.a.k.t.u. padahal dia takkan pernah terulang. Seiring berjalannya waktu, tiga tahun lamanya bersama di sekolah tercinta, adalah suatu kebahagiaan yang tak ternilai. Setiap pertemuan, akan membawa perpisahan. Selamat dan sukses selalu untuk teman-teman yang menang menaklukan ujian.

Dan akhirnya, selamat berpisah semua. Terima kasih untuk tiap ikhlasmu yang begitu berharga, begitu bahagia, begitu bermakna. Ya Allah, sadarkanlah aku untuk pandai mensyukuri, menghormati, dan membalas segala jasa orang-orang yang baik selalu padaku. Aamiin.

1 komentar: