Selasa, 31 Juli 2012

Ensiklopedi Rify

  “Hay, kenalin nama gue Alysa Rifyka Utami. Kalian bisa panggil gue Rify. Gue pindahan dari Jakarta.” ucapku saat perkenalan di sekolah baruku.
          Segera sang guru menyuruhku mengambil ancang-ancang untuk duduk. Teman pertamaku di SMA Idola adalah Shilla, yang kini duduk tepat di sebelahku. Dia baik banget, sampai-sampai dia mau meminjamkan buku catatannya buat gue. Ya maklum lah, gue kan anak baru, tak mungkin buku-buku di sekolah lamaku diboyong juga. Gue nyesel nyaris menolak permintaan bokap buat pindah ke kampung nenek. Ternyata baru hari pertama saja, teman-teman baru gue nyambut meriah. Bokap memang pinter banget bikin gue seneng. Tapi gue suka ngerasa tabu kalau lagi deket sama anak-anak Idola. Ngomongnya itu lho...alus bin lirih tak karuan dan beda banget sama Jakarta yang identik nyablak and suka triak-triak. Hmm..jadi kaya orang gunung yaa? Hahaha..
          “Aku pulang dulu ya, Fy...” pamit Shilla padaku.
Waktu memang menandakan jam belajar hari ini telah usai.
          “Oke..sampai ketemu besok..” jawabku singkat.
          Pak Lim, supir pribadi yang bokap kirim buat gue udah stand by di pintu gerbang sekolah. Segera kumasuki dan berlalu dari sekolah.
          “Drrrrttt...drrrtt...” getar hp menandakan panggilan masuk. From mama,
          “Iya mah..?”
          “Hmm, kebiasaan ya.. salam dulu dong!” perintah mama sekaligus mengingatkan.
          “Sorry mah, lupa. Ada apa mah, kalau tanya keadaan Rify, Rify baik-baik saja and Rify senang di sekolah baru Rify. Ohya, assalamu'alaikum...hehehe” ucapku sembari nyengir tanpa dosa. Mama hanya tersenyum kecil dan menutup pembicaraan setelah memastikan aku baik-baik saja.
*****
          Hari baru telah datang menyapa. Kalau di Jakarta, gue bangun jam 8. Tapi disini, nenek bangunin gue pukul lima pagi. Nyuruh gue sholat and siap-siap buat berangkat sekolah. Jiaakkhhh...males banget gue. Kali pertama di bangunin sepagi ini. Etapi, gue gak mau kelihatan malas di depan nenek. Malu-maluin orang tua dong. Hehehe...
          “Rify berangkat nek, assalamu'alaikum...” pamitku pada nenek dan nenek menjawabnya ramah.
*****
          “Doorr....” gurau Shilla mencoba mengagetkanku dari arah depan. Jelas saja gue gak kaget. Lha secara ya, gue lihat Shilla dan Shilla juga tau kalau gue lihat dia. Tapi ya gini, gue jadi ketawa ngakak puas deh. Hahaha...
          “Shill, loe kocak juga ye. Agak beda sama anak IDOLA kebanyakan. Btw..gue pingin lho, bisa ngomomg seramah anak-anak disini. Ajarin gue dong!!! yayaya?” pintaku sedikit memaksa pada Shilla. Shilla mengerinyitkan dahinya dan menimpali.
          “Yakin kamu, Fy? Hmm, sebenarnya mudah kok. Pertama, jangan bilang loe gue. Anak Idola pasti bakal menganggap kamu sangar.” jelas Shilla menasihatiku.
          “oke, gue coba. Terus apalagi, Shill?” pintaku menggebu.
          “aku..kamu.. bukan loe..gue! Understand? Next, kamu belajar ngomong yang pelan, kata orang sih, alon-alon asal kelakon. Hehehe..” lanjut Shilla sedikit kocak.
          “hmm, iya-iya, aku coba. Ekkhmm, tes..tes..aku..aku..kamu..kamu..hehehe.. sebentar, kalau pelan-pelan, ibarat naik kereta tak sampai-sampai dong?” ujarku yakin, tapi Shilla berbalik menertawakanku.
          “Kloneng..kloneng..” bel pertanda masuk mengeluarkan kebisingannya. Ebuset gila banget, sang guru langsung masuk. Kali pertama ini aku mengalami peristiwa seperti ini. Tak ada jeda waktu sedetikpun untuk sekadar bergurau di kelas. Disiplin sekali. Mungkin begitu lebih tepat. Seketika itu juga, suasana kelas terfokus pada pelajaran. Kata Shilla, guru Bahasa Inggris ini yang paling killer, entah bagaimana dan karena alasan apa siswa Idola memberi gelar itu pada guru yang kukira baik dan menyenangkan ini. Setelah aku telaah, akhirnya sampai di pertanyaan mengapa Mr. Jo, sang guru Bahasa Inggris itu memasang tampang perhatian padaku yang duduk di samping Shilla. Kenapa bisa begitu? Atau jangan-jangan aku yang Ge-eR mungkin yah? Hahaha.. Jadi Shilla itu pusat perhatian guru-guru Idola. Dia itu juara umum di SMA Idola. Beruntung banget aku bisa jadi sahabat baiknya. Bahkan, aku belajar banyak darinya.
          “hmm, syukran..” terima kasihku pada Tuhan.
*****
          Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Semua kujalani dan rasanya senang. Teman-teman baruku baik selalu padaku.
          “Pak Lim, mulai besok Rify ke sekolah naik sepeda titik.”
          “Tapi, Non..?”
          “Satu lagi, jangan panggil non, panggil Rify saja. Oke pak? Nanti Rify yang minta ijin ke ayah.” ujarku memaksa. Pak lim hanya mengiyakan permintaanku dengan tatapan penuh keraguan.
*****
          Pagi ini aku bangun tanpa ketukan pintu pertanda nenek menyuruhku untuk cepat bangun dan menunaikan kewajiban. Hmm, biarpun aku pernah jadi gadis tomboy, aku juga pintar masak lho..hehehe dan hari ini, aku yang akan masak untuk nenek. Ungkapan tidak biasa ini akan ku ubah menjadi kebiasaan untuk hari esok dan seterusnya. Usai itu, tiba saatnya untuk berpamitan ke sekolah. Segera ku gowes cepat sepeda yang sudah Pak Lim siapkan sebelumnya.
*****
          Tampak halaman sekolah yang luas sudah dipenuhi para siswa yang sedang gladi resik untuk latihan upacara bendera. Beberapa menit lagi, mereka termasuk paskibra akan mengemban tugas mulia untuk mengibarkan sang merah putih, bendera kebanggan Bangsa Indonesia. Semua siswa IDOLA berkumpul dan upacarapun dimulai. Acara demi acara kulewati dengan hikmad, sampai aku terpesona pada satu titik. Pemimpin upacara. “Subhalanallah, ganteng banget.” Aku harus bersabar, sampai upacara usai lalu kuberanikan diri tuk tanya pada Shilla. Tentang pemuda itu.
          “Maksud kamu Azka? Nah dia itu, pemuda yang aku taksir. Tapi aku cuma diam. Hmm, dia kapten basket IDOLA.” ujar Shilla sendu. “Dijamin kamu juga naksir deh. Hehehe...” lanjutnya nyengir kuda di tengah perjalanan menuju kelas.
          Aku hanya membalas “hmm..” pada Shilla.
          Sang guru datang. Pelajaranpun dimulai. Tapi belum lama itu, suara ketukan pintu sukses membuyarkan konsentrasi kelas IDOLA. Seorang murid IDOLA sepertinya membawa kabar agar sang guru meninggalkan kelas untuk sebuah tugas lain yang kupikir mungkin lebih penting. Sesekali dia menoleh kearahku dan, “Wah, ganteng banget.” Lagi-lagi aku harus terpesona pada salah satu siswa IDOLA. Ingin sekali kutanyakan pada Shilla, tapi aku enggan. Biar jadi tanda Tanya untukku dulu saja.
          “Shill, ke kantin yuk, lagian gurunya juga tidak ada toh?” ajakku pada Shilla.
          “Hah?” Celetuk Shilla terkejut, karena jam belajar masih berlangsung dan Shilla tidak biasa meluangkan waktu untuk hal seperti itu.
          “Kalau kaget astaghfirullah, bukan ‘Hah’!” ujarku pasti.
          “Ohya, hmm..sudah seperti ustadzah nih. ciess..hehehe” gurau Shilla meledekku.
          “Hmm, kamu belum tahu kan, nenekku ini orang penting. Biar usia tak lagi muda, beliau masih menjadi aktifis di Majelis Ta'lim. Tak heran jika aku sebagai cucunya, berbicara yang nyaris seperti penduduk Arab dadakan. Hehehe...” toyorku pada Shilla.
***Pulang Sekolah***
          Kupikir aku akan pulang bersama Shilla dan bisa sejenak mengajakku berkeliling kampung dengan sepeda. Sayangnya Shilla kebetulan pagi tadi diantar. Huuhh..mungkin sudah nasib siang ini aku akan pulang seorang diri.
          Belum jauh dari gerbang sekolah, tampak gadis kecil memasang tampang bingung di tepi jalan yang tak begitu ramai. Kudekati ia dan alhamdulillah dia senang berada di sampingku dan percaya bahwa aku akan mengantarnya pulang. Adik kecil ini mengajariku banyak hal di setiap tempat yang kami lewati. Ini adalah kali pertamanya aku merasakan sejuk surga. Haahhh, semua yang kualami disini serba kali pertama. Dan satu lagi, aku belum pernah mati, so..aku juga belum pernah yang namanya mencium bau surga seperti apa. Jadi bagaimana mungkin aku bisa mengatakan bahwa suasana di desa ini seperti surga? Hahaha... permainan kataku kadang-kadang memang imposible.
          “olive...........” Teriakan dari arah belakang seperti memaksaku harus berhenti.
          “Kakak? Kakak lama banget sih? Untung ada kakak cantik yang mau mengantar oliv pulang.” Gerutu gadis manis pemilik nama olive yang kesal menunggu sang kakak untuk pulang bersama.
          “Ya Tuhan, ini pemuda yang tadi.” batinku tersenyum bahagia.
Segera pemuda itu meminta maaf dan berterima kasih padaku lalu pamit. eh...? Ya ampun, entah alasan apa yang mengakibatkan pemuda itu berlalu begitu cepat sampai tas kecil sang adik tertinggal di keranjang sepedaku.
          Sesampainya aku di rumah, kubaringkan tubuhku di kasur yang cukup ku bilang empuk. Terselip ide di benakku, “Apa aku buka saja tasnya ya? Setidaknya ada petunjuk alamat rumah agar aku bisa mengantar tas ini lebih cepat.” Langsung saja kubuka tanpa berfikir lebih panjang lagi. Yang ku tahu, niatku ini baik. Kujumpai ponsel mini, lalu kutemukan satu nomer di kontaknya. Mungkin ini nomer sang kakak alias pemuda tampan yang sepertinya aku suka. Tanpa nama, hanya terbaca “my kakak”, langsung ku kirim pesan.
          “ini kakaknya oliv ya? Ini Rify. Tas oliv tertinggal. Bisa kirimkan alamat, biar nanti aku yang anter.” begitulah pesan singkatku. Tak perlu menunggu lama, sms balasan kuterima lebih cepat dari dugaanku.
          “hmm, besok saja. Terimakasih.”
          Hmm..singkat banget. Nyaris tak ada jeda membacanya.
          “Mengapa seperti menutupi alamatnya ya? Memangnya dikira aku mau maling atawa menculik adiknya, oliv?” batinku sedikit kesal.
Astaghfirullah, kok malah aku yang menggerutu su’uzon? Nenek bilang dalam sebuah pertanyaanku, kita harus selalu berhusnuzon atau berprasangka baik. Jadi, ucapanku barusan sepenuhnya tidak benar aku katakan.
*****
          Pertemuan itu sudah usai. Tas olive sidah kuberikan. Tak banyak yang kami bicarakan, kami berlalu dengan urusan kami masing-masing. Sapaan yang begitu ramah melakat erat bahkan mungkin sampai di dasar sumsum. Bodohnya, aku tak menanyakan namanya. Padahal, dia memanggilku Rify dengan penuh santun.
          “Huuuhh...ah sudah. Menyesal pun tak ada gunanya.” Pikirku dalam hati.
          Ada yang lain setelah pertemuan singkat itu. Akhir-akhir ini, nenek sering melihatku salah tingkah, bahkan suka senyum-senyum sendiri di ruang tidurku yang cukup luas.
          “Cucu nenek sedang jatuh cinta ya?” ujar nenek melihatku tabu.
          “Hmmm, nek Rify pingin tanya...boleh tidak kalau Rify pacaran?”
          “pacaran? Hmm, kalau nenek pribadi, lebih baik tidak usah. Karena didalamnya sering kali berujung tidak baik. Seperti menara miring bisa condong hanya 3,99 derajat saja, begitu juga kamu, hanya memikirkan laki-laki yang belum menjadi muhrimmu bisa merusak akidah sedemikian rupa. Pacaran itu illegal. InsyaAllah akan lebih baik jika dilegalkan saja. jelas nenek.
tapi nek, kalau Rify memikirkan kebaikan putra adam, kemudian mencintai putra adam karena keshalehannya, boleh tidak?”
Nenek meyakinkanku tentang apa yang belum aku pahami. Kebaikan itu jangan mudah dilupakan, dan berusahalah membalasnya dengan penuh ketulusan mengharap ridho Allah.
          Interaksiku dengan pemuda yang kusebut dengan julukan “Prince Cuek” itu tidak terhenti saat itu. Setiap pesan yang muncul di layar ponselku yang bersumber darinya selalu membawaku hanyut, betapa pentingnya arti Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
          Kurasa gelar “Prince Cuek”, tak lagi berlaku untuknya. Pemuda itu cukup lama ku kagumi dan dengan diam-diam aku cari tahu tentangnya.
From Rify, “hey, kamu Vano Ketua Osis SMA IDOLA ya? Pantesan, motivasi bijakmu selalu membuat hati sejuk.” itulah sosok yang selama ini aku cari-cari. Namanya Vano, sang ketua osis yang banyak di dambakan para kaum hawa di SMA IDOLA.
From Vano, “hmm, segala puji hanya milik Tuhan. Nilai manusia terletak pada sikapnya. Ilmu, iman, dan amal merupakan teman sejati. Sikap yang baik adalah bahagia yang sesungguhnya. Bersyukurlah akan ketidaksempurnaan, dan berhati-hatilah dengan kelengkapan yang kita miliki. Sesungguhnya tiap langit ada atapnya, dan tiap telaga ada sumurnya.”
From Rify, “itu bagian yang aku suka darimu, selalu merendah akan ilmu yang mampu kau bagi. Sebaik-baiknya manusia adalah yang selalu bermanfaat kepada manusia lainnya.”
From Vano, “aku cinta orang-orang yang baik, meski aku bukan bagian dari mereka. Dengannya, aku berharap bisa mendapat syafaat mereka.”
From Rify, “senyum membuatmu dicintai manusia. Syukur, menjadikanmu dekat dengan pencipta manusia.”
From Vano, ”hmm, smile :) hahaha...:) tidak terasa dua pekan lagi ramadhan yaa?”
From Rify, “jangan berkata begitu, nenekku bilang, kalau kita beerucap macam itu, artinya kita tidak senang dengan datangnya bulan sucinya umat Rasul.”
From Vano, “Subhanallah, syukran...sudah mengingatkan. Tapi ada satu yang terlupa. Bulan Sya'ban.”
From Rify, “Subhanallah, syukran...entah dengan sengaja atau tidak, kita nyaris melupakan bulannya Rasulullah.”
From Vano, “hmm, afwan. Meskipun shaumnya berhukum sunnah, tapi sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja.”
          Ternyata obrolan via sms merupakan salah satu cara yang baik untuk bicara. Waktu sudah menujukkan pukul 21.00. nenek masih memantau aktivitasku hingga sampai pada satu pertanyaan
          “Rify sayang, sedang apa? Ini sudah larut lho.” tanya nenek ikut bergabung di meja belajarku.
          “Sedang menyiapkan ramadhan, nek.”
          “Hmm, cucu nenek sudah pintar ya..nenek kasih lihat dong!!!” pinta nenek memastikan lalu ku ambil agendaku menyambut ramadhan yang ku dapat dari internet.
          “Bersyukur atas nikmat ramadhan, gembira dengan datangnya ramadhan, menyiapkan ilmu seputar ramadhan dan mendakwahkan, menyambut ramadhan dengan berusaha meninggalkan perbuatan dosa dan amal buruk, serta perlunya meningkatkan silaturahmi.”
          “ini sudah baik, tapi kamu sudah tau makna ramadhan itu sendiri belum?” ujar nenek.
          InsyaAllah sudah, nek. Kemenangan atas nafsu manusia, syetan dibelenggu, pintu neraka ditutup rapat, pintu surga dibuka lebar, pahala dilipatgandakan, dosa-dosa diampuni, doa-doa orang shaum akan dikabulkan, adanya bonus lailatul qadr, dan menggapai juara ketakwaan. Itu semua jika dijalani dengan tulus dan hanya mengharap ridha Allah.”
          Nenek mengangguk bangga dan berlalu.
          Entah ungkapan suka atau kagum yang lebih tepat untuk mengekspresikan rasaku pada Vano. Semenjak aku mengenalnya, aku merasakan efek baik yang menurutku mampu mengubah sifatku cukup drastis. Dering hp pertanda sms masuk membuyarkan lamunanku sepeninggal nenek.
          From Chilla, “Ada salam dari Azka. Tega kamu merebut satu-satunya pemuda yang aku sayang.”
          Ada apa ini? Azka? Aku memang pernah nyaris terpesona. Tapi bagaimana mungkin? Aku belum pernah berkenalan dengannya. Tapi Shilla tak membalas pesanku. Mungkin dia marah, sakit hati bahkan benci. Aku mulai tidak tenang. Semoga besok baik-baik saja.
***Di sekolah***
          Sepertinya Shilla benar-benar marah. Ketika aku menjumpainya, dia menghindar menjauh. Hari itu matahari tenggelam lebih cepat dari biasanya. Tapi, aku sedikit lebih lega, karena aku telah meminta maaf pada Shilla meskipun Shilla tak memedulikan permohonan maafku. Dan lagi-lagi pesan masuk Vano membawa kesejukan.
To Rify, “manusia punya hati, dan hati tak pernah bohong tentang rasa. Baiknya kita melakukan sesuatu dari sana.”
To Vano, “syukran, senang bisa mengenalm, belajar arti hidup bersamamu. Satu pertanyaanku, ketika kita meminta maaf, tetapi tidak ada balasan dari permintaan itu, apakah kita akan terus salah dimata Tuhan?”
To Rify, “orang yang berusaha meminta maaf memiliki posisi yang lebih mulia dibandingkan dengan yang gengsi memberikan maaf.”
To Vano, “terimakasih, Van, karenamu, aku menyerap begitu banyak ilmu.”
To Rify, “bersyukurlah, jika itu berguna untuk kita.”
Kita? Sebuah kata yang menguak tanda tanya besar untukku. Sedikit aku berharap Vano memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi tidak. Berharap hanya pantas ditujukan untuk Sang Pemilik Arsy.
*****
          “Kok berhenti mengejar aku sih?” gertak Shilla.
          “Buat apa?” celotehku penuh bingung.
          Shilla memang sudah menduga aku tidak mudah untuk dikerjai. Hahaha... Shilla sedang mencoba mengerjaiku atas dasar aku tidak memberitau tentang aku dan Vano.
          “aku membaca potongan cerpenmu di buku catatan biologi yang aku pinjam. Lalu endingnya akan bagaimana?” ujar Shilla.
          “Aku akan segera kembali ke Jakarta. Terima kasih ya, untuk setiap ilmu yang kamu berikan. Sehingga aku didekatkan oleh kebahagiaan.”
          “Rify, aku hanya bercanda. Aku tidak mau berpisah sama kamu, Fy.” rengek Shilla.
          Mendadak desah gesekan sepatu seakan mendekat ke arahku yang sedang berdiri di hadapan Shilla.
          “jika perpisahan tidak mampu kamu hadapi, maka janganlah kamu bertemu.” ucap Vano ikut menimpali.
          “Vanooo....” ucapku dan Shilla terkejut.
          “Ekhhmmm...mendadak ingin batuk nih. Hahaha...” toyor Shilla berhasil meledekku juga Vano.
          Hmm, aku bingung rasa apa yang tepat untuk mengungkapkan hati yang memaksa bicara di dekat Vano. Malu dan senang, bercampur membaur menjadi gado-gado. Ah...tidak. Kata nenek, berfikirlah yang baik sehingga menyebabkan kebaikan bagi orang lain. Ketika aku menoyor Shilla tentang keadaan Azka, derap langkah menyamai bunyi yang cukup lantang.
          “Ana bi khair ya ustadzah.” Teriak pemuda yang tak lain adalah Azka.
          Yahh...sudah berkumpul, aku justru akan pergi. Aku sudah dinyatakan lulus menjadi orang baik. hehehe dan tugasku adalah berbagi ilmu di tanah kelahiranku.
          “hari ini kita bertemu, tapi besok kita sudah harus berpisah. Aku pamit. Shill, titip Vano ya. Hehehe..mumpung ada Azka juga, aku cuma mau ingetin syair ini, kita masih sangat muda, belum waktunya..sekolah saja dulu raih cita-cita. Urusan pacaran, tak usah sekarang, kita berteman saja.
          “Hahaha....yes mam. Inget kok...nanti kalau Vano nakal aku cubit.” Sahut Shilla mengiyakan dengan nada datar.
          “Heheh, bukan muhrim tau!” toyor Azka pada Shilla.
          “Hmmm, thanks Azka. Salam kenal, jagain teman-temanku ya. Ini amanah!”
*****

          Sebelum ramadhan menampakkan gempitanya, aku bawa bekal banyak dari sebuah kampung kecil yang nyaris memaksaku untuk tetap tinggal. Di kampung ini, nenekku berhasil merubahku menjadi akhwat yang muslimah. Beliau ajariku bidang agama sehingga aku tahu. Kemudian sahabatku, Shilla berhasil merubahku menjadi gadis yang lembut dalam tutur kataku sehingga membuatku tak lagi berkata kasar. Dan pemuda pujaan hatiku, berhasil merubah karakterku yang seperti anak-anak menjadi lebih dewasa seiring perkembangan usiaku sehingga aku mampu mengartikan hidup ini untuk lebih bermanfaat.
          Satu ilmu baru lagi yang datangnya dari pujaan hati sahabatku, Azka, “dalam setiap perlombaan marathon, semua peserta melangkah pelan karena takut kehilangan energi ketika mendekati garis finish. Begitu juga dengan kita yang mengerahkan kemampuan kita untuk mencapai fitrah dalam kondisi yang baik.”
Hmm, hidupku seperti buku ensiklopedi yah? Hehehe... sampai disini dulu ensiklopedi singkatku. Semoga hari esok bisa membawaku terbang dalam imajinasi yang lebih indah dari kata-kata.

2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar