Jumat, 28 September 2012

Mba'ku Gak Mau Pakai Jilbab

Secerah pagi yang baru, sang surya menghangatkan ruangan kamarku yang tak begitu luas seperti istana negara. Kapasitasnya hanya sarat satu ranjang tempatku berimajinasi ketika siang berganti malam. Selebihnya ada satu lemari pakaian dan meja belajarku. Dulu aku masih tidur bersama umi, tapi sekarang Ify sudah gede. Ijazahnya saja sudah S2 lho, SD dan SMP. Hehehe .. ohya, lupa. Namaku Alisa Saufika Umari. Singkat bukan? Aku biasa dipanggil Ify.
          Hmm, bangun tidur itu selalu saja lapar yang termuat di benakku. Kuputuskan untuk keluar dari ruang tidurku dan menyapa umi di meja makan. Gaya berjalanku masih agak sempoyongan. Sepertinya sepersepuluh nyawaku belum semuanya terkumpul. Tapi, aku masih bisa merasakan perutku yang terus memaksa agar segera diisi makanan.

          “Pagi umi...? Umi masak apa, mi?” ucapku dengan pandangan  mata yang masih agak berbayang dengan irama suara yang sedikit manja.
          “Umi, Ify belum sholat pasti. Bicaranya saja masih seperti orang mati yang berdiri kelaparan meminta makan. Hahaha J ” tutur mba’ku menimpali dengan sedikit gurauan yang sukses membuat umi berucap.
          “Ify, Ify sudah sholat belum? Sholat dulu nak..” kata umi lirih berhasil membuatku terkejut usai mendengar penuturan umi yang tak berada jauh di sampingku.
          “Astagfirullah. Umi,....Ify....?” teriakku sembari berlari untuk mengambil air wudhu dan menepati kewajiban. Mba’ku dan umi hanya tersenyum geli melihat tingkah anak yang baru lulus dari bangku SMP. Yaps, aku baru selesai mengenyam pendidikan menengah pertama.
*****
          Usai sholat, kuurungkan niatku untuk kembali berkumpul bersama umi. Aku masih agak malu pada umi, karena anak gadisnya yang bangun kesiangan. Mungkin karena semalam aku tidur terlalu larut akibat dari perasaan lega setelah menerima pengumuman kelulusan.
          “Tok...tok...tok...” suara ketukan pintu mendarat di telingaku.
          “De, ayo makan, katanya lapar! Sholatnya kok lama benar sih?” tanya si pemilik nama Zahra Wijaya yang biasa ku panggil Mba Zahra.
          Aku masih enggan menjawab pertanyaan Mba Zahra dan terus asik dengan aktivitasku di dalam istana kecilku. Mba Zahra pun penasaran dan segera masuk karena kebetulan aku lupa mengunci pintu ketika terburu-buru. Alhasil, mba’ku itupun tau bahwa aku sedang menyantap kue yang tersisa di tas sekolahku saat kubawa pulang seusai acara pengumuman dan pelepasan siswa kemarin siang. Mba Zahra tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku nyengir dengan wajah yang tanpa dosa.
          “Cepat bersihkan badanmu. Mau ikut mba ke....”
          “Mau.” Belum sempat ia berucap sudah kupotong marathon. Aku tau, pasti dia akan mengajakku pergi ke SMA almamaternya, karena sebelumnya dia pernah berjanji padaku.
          Tidak butuh waktu yang lama, aku sudah siap dengan gaun yang kupakai ala artis 2013. Menutup sebagian besar tubuh, hanya saja agak ketat. Seperti pensil katanya. HahahaJ dan seperti biasanya, aku tak pernah berpamitan pada abi karena beliau yang nyaris tak sesering umi menemani waktuku di rumah bersama Mba Zahra. Abi memang disibukkan oleh pekerjaannya di luar kota, meski begitu, tak sedikit perhatian selalu abi tunjukan pada kami sekeluarga.
          “Umi, Ify dan Mba Zahra pamit yah..?” pamitku pada umi.
          “Mohon ridho-Nya umi. Assalamu’alaikum.” ucap Mba Zahra mengikutiku.
          “Wa’alaikumussalam. Hati-hati di jalan.” pesan umi melengkapi.
Begitulah adat kebiasaan kami sebelum bepergian. “Ridho umi adalah ridho Allah.” Kalau tidak salah, abi yang mengajariku seperti itu.
          Kami berlalu hingga berhenti di suatu tempat. Aku sempat heran mengapa Mba Zahra mengajakku ke tempat ini. “GITA BUSANA. Taman Muslimah yang Modis.” Hanya itu yang dapat terbaca di baliho depan yang ku kira tak lain adalah toko baju. Belum sempat kutanyakan, Mba Zahra sudah lekas menjelaskan.
          “Di SMA nanti, kamu akan dihimbau untuk berpakaian muslimah.” jelasnya singkat.
          “Ooh, Mba Zahra memang pintar, cantik pula. Ify iri lho mba, sama Mba Zahra. Hmm, etapi nanti jadi kan ke SMA Teladan?” celotehku sedikit memaksa untuk sekadar berkeliling di tempat mba’ku menghabiskan masa SMA’nya dulu. Dan Mba Zahra hanya mengangguk mengiyakan. Akupun dibuat sibuk memilah-milah, hingga sampai di satu pandangan, jilbab.
          “Mba, lihat Ify! Bagus tidak?” tanyaku menunjukan sebuah jilbab.
          “De, Mba Zahra punya banyak koleksi serupa ini, dan kamu bisa memakainya kapan saja kamu mau. Umi berpesan untuk membelikanmu kerudung semacam ini.” Mba Zahra berucap sembari memberiku kerudung cantik yang kurasa agak longgar bila kupakai. Aku sengaja menampakkan raut kecewa, tapi aku sadar, umi lebih tau mana yang baik untukku. Apapun yang menurut umi itu sesuai, tak pernah aku menolaknya. Karena aku percaya, semua itu akan membawa keberkahan.
          Sepertinya aku sudah mulai bosan di tempat ini. Lekas-lekas ku tarik tangan mba’ku untuk segera membayar belanjaan kami ke kasir dan berlalu menuju tempat tujuan kami yang kedua, tak lain adalah SMA Teladan.
          Perjalanan kami memang cukup memakan waktu. Tapi sesampainya disana, sungguh tak banyak yang bisa kututurkan dari mulut mungilku ini. Hanya segudang pujian Maha Besar Tuhan menciptakan alam semesta ini beserta isinya yang memuaskan. Sebuah gedung megah, tinggi, bersih, asri yang sepertinya aku akan merasa nyaman dan sebuah kehormatan jika aku bisa duduk di bangku SMA Teladan ini.
          Mba Zahra sedang asik dengan ponselnya, beberapa saat, derap langkah menyamai bunyi sepatu dari arah belakang kurasa mendekat ke arahku.
          “Hai...”  Mba Zahra tersenyum menyapa seorang pemuda yang kini tepat berada di sampingku. Aku yang tak biasa berhenti berkutik layak tikus yang dikejar kucing, seketika itu juga aku diam seribu bahasa. Pemuda itu membalas senyuman dan sapaan Mba Zahra.
          “Vin, ini adikku. Ify namanya. De, ini Mas Alvin, teman Mba Zahra.” ujar Mba Zahra memperkenalku. Aku masih bungkam dan hanya sedikit tersenyum menghormat pada pemuda itu.
          “Ooh, teman.” ucapku membatin.
          “Lebih dari teman.” sambung pemuda pemilik nama Alvin Pratama itu.
          “Wah, dia mampu membalas batinku. Memang sudah kuduga bukan sekadar teman.” batinku menjadi-jadi. Akupun mulai dengan gurauan mautku.
          “Hmm, halo Mas Alvin..? Mba Zahra jaim. Bilang aja pacar. :p uee” godaku menjulurkan lidah berhasil menoyor Mba Zahra.
          Aku sudah mulai berulah hingga membuat Mba Zahra kesal karena kugoda terus-menerus. Mas Alvin terus saja terpingkal mendengar celotehanku yang mengarah pada pengalaman lucuku bersama Mba Zahra.
          “Hahaha...” tawa Mas Alvin pun tak dapat lagi dibendung. Dan Mba Zahra hanya tersenyum kecut mendengar pengaduanku tentang kisah lucunya pada Mas Alvin. Sedangkan aku nyengir kuda menatap Mba Zahra dengan tatapan penuh kemenangan. Huuhh, perutku mulai mual. Mungkin terlalu kenyang melahap tawa yang berlebihan. Bahkan sesekali aku menahan pipis. Mba Zahra mendengus kesal. Hahaha... J sayangnya sang waktu sudah memaksa kami untuk kembali. Dan mungkin, umi sudah menanti kepulangan kami.
*****
          “Assalamu’alaikum umi...?” ucapku dan Mba Zahra serempak.
Dan umi pun beranjak dari aktivitasnya lalu menjawab salam kami sembari membukakan pintu. Buru-buru Mba Zahra menuju ruang tidurnya untuk sekadar melemaskan tubuhnya. Perjalanan kami memang kurasa melelahkan. Tak heran jika akupun tertidur pulas sepulang jalan-jalan. Umi membiarkan kami beristirahat setelah memastikan kami usai melaksanakan kewajiban dan mengisi perut kami dengan hidangan makan siang yang telah disiapkan umi. Tidak lama kok, kami hanya tidur satu jam saja, itu sudah setara dengan dua jam tidur di waktu malam. Begitulah ilmu yang kudapat dari berguru.
          Ketika aku terbangun, kulihat umi sedang melihat pakaian yang baru kubeli bersama Mba Zahra. Tak segan umi mengajariku berbusana muslimah hingga berjilbab. Umi tampak begitu semangat memakaikan jilbab di kepalaku, hingga sampai di satu pertanyaan.
          “Umi, kok Mba Zahra tidak pakai jilbab seperti yang umi pakai sih?” tanyaku hati-hati. Umi hanya tersenyum lalu kulanjutkan.
          “Umi... kok rambut Ify tertutup semua sih? Ngga keren umiiii.... Mba Zahra pakai jilbab juga mahkota emasnya masih tetap terlihat kok mi, kan lebih cantik seperti itu?” gerutuku kali ini sedikit menentang. Dan kali  ini umi menjawab.
          “Ify mau tau jawabannya? Coba deh, Ify buka kitab Allah subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada Rasulullah yang dihadiahkan abi saat Ify lulus puasa 30 hari. Ify bisa baca transliterasi perintah berjilbab dalam surah ke 24 di ayat 31 dan keharusan berjilbab dalam surah ke 33 di ayat 59.” jelas umi berusaha meyakinkanku.
          Tiba-tiba Mba Zahra menampakkan wajahnya dan bergabung bersamaku juga umi.
          “De, ba’da ashar ada kajian remaja.” ucap Mbaku seakan mengajakku untuk ikut.
          Umi berkata bahwa ini adalah kegiatan positif. Langsung saja umi mengangguk  dan menyetujui serta menyuruhku untuk bersiap-siap. Semua berlalu meninggalkanku sendiri bersama pakaian baruku.
          “Tararaaaa......” ucapku girang menunjukkan penampilanku pada umi dengan gaun yang agamis. Tak sedikit pujian yang umi lantunkan saat melihatku. Dan sambil menunggu mba’ku keluar dari ruang hiasnya, aku teringat pada penuturan umi tentang jilbab tadi.
          “Subhanallah...begitu signifikannya berjilbab itu. Baru beberapa menit aku menggunakan jilbab, rasanya aku sudah mendapat hidayah Allah yang sungguh incredible.” ucapku lirih yang ternyata masih terdengar oleh umi. Meskipun agak samar, tetapi umi masih mampu mencerna celotehanku barusaja.
          Mba Zahra keluar dari kamarnya. Dan lagi-lagi aku menjumpainya agak jemu karena jilbabnya yang entah kekurangan bahan atau mungkin karena memakainya yang kurang benar.
          Rumah tafis yang hendak kami kunjungi memang berada tak jauh dari rumah  kami. Dan seiring waktu perjalanan kami gunakan untuk sebuah perbincangan tentang busana yang kami kenakan.
          “Mba Zahra, kok  jilbab yang mba pakai seperti itu sih? Lihat Ify nih..!! Bukankah Allah befirman ‘Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan.’ Mba tau  kan batasan aurat wanita?” ujarku yakin. Mungkin dia mulai merasa bahwa aku mulai risih melihatnya berjilbab yang membiarkan rambutnya terkulai tak tertutupi jilbab yang melekat di punggungnya. Kemudian dia menjawab tegas.
          “De, kamu ini masih anak kecil. Belum tau pasti apa itu jilbab.” gertak Mba Zahra.
          Batinku mulai tidak terima. Aku bukan lagi anak kecil. Aku udah besar. Aku juga tau tentang bagaimana mengenakan jilbab. Tapi di sisi lain aku sadar. Mba Zahra itu empat tahun lebih tua dariku. Dia sudah menginjak semester akhir di Akademi Perawat Universitas Idola. Jika dibandingkan dengan aku, jelas aku bukanlah apa-apanya. Mba Zahra jauh lebih dulu melihat matahari daripada aku. Jadi sudah jelas kemungkinan waktu ibadahnya juga jauh lebih lama dariku.
          “Ya Allah, ya Tuhanku yang sangat aku kasihi, kekasih-Mu yang kecil ini sedang bersedih karena gertakan tak biasa yang datangnya dari kakak yang sangat aku cintai karena-Mu. Jantungku gemetar takut, dan tangis batinku mencekat nafas. Ya Allah, mba’ku ngga mau pakai jilbab seperti apa yang telah Engkau syariatkan. Berikanlah hidayah buat Mba Zahra ya Allah, aku yakin Engkau tersenyum melihatku tak sabar menanti penyelamatan-Mu.” doaku membatin menyusuri perjalanan.
          Sesampainya disana, sebenarnya tak sedikit dari penuturan ustadzah yang menyinggung jilbab. Tapi dengan rasa tidak berdosanya Mba Zahra tetap menikmati apa yang ia kenakan meski ia tau itu salah.
          Tanpa disangka, hujan deras mengguyur seluruh Kota Jogja. Disaat itu Mba Zahra mulai merasa kedinginan dan merangkulku erat. Kini dia barulah menyadari mengapa Allah perintahkan menutup jilbab ke seluruh tubuh karena salah satunya adalah agar kita terlindung dari hal-hal yang berbau bahaya. Seperti halnya udara dingin yang hendak masuk ke dalam pori-pori tubuh akan terhalang oleh jilbab yang kita pakai  kebanyakan.
          Dan akhirnya Mba Zahra menyuruhku untuk memperbaiki jilbabnya yang semula  hanya dia gunakan sebagai selempang untuk gaya-gayaan. Ternyata Allah punya cara tersendiri yang kadang rencana itu tidak pernah kita duga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar