Secerah pagi yang baru, sang surya menghangatkan ruangan
kamarku yang tak begitu luas seperti istana negara. Kapasitasnya hanya
sarat satu ranjang tempatku berimajinasi ketika siang berganti malam.
Selebihnya ada satu lemari pakaian dan meja belajarku. Dulu aku masih
tidur bersama umi, tapi sekarang Ify sudah gede. Ijazahnya saja
sudah S2 lho, SD dan SMP. Hehehe .. ohya, lupa. Namaku Alisa Saufika
Umari. Singkat bukan? Aku biasa dipanggil Ify.
Hmm,
bangun tidur itu selalu saja lapar yang termuat di benakku. Kuputuskan
untuk keluar dari ruang tidurku dan menyapa umi di meja makan. Gaya
berjalanku masih agak sempoyongan. Sepertinya sepersepuluh nyawaku belum
semuanya terkumpul. Tapi, aku masih bisa merasakan perutku yang terus
memaksa agar segera diisi makanan.
“Pagi umi...? Umi
masak apa, mi?” ucapku dengan pandangan mata yang masih agak berbayang
dengan irama suara yang sedikit manja.
“Umi, Ify belum
sholat pasti. Bicaranya saja masih seperti orang mati yang berdiri
kelaparan meminta makan. Hahaha J ” tutur mba’ku menimpali dengan
sedikit gurauan yang sukses membuat umi berucap.
“Ify,
Ify sudah sholat belum? Sholat dulu nak..” kata umi lirih berhasil
membuatku terkejut usai mendengar penuturan umi yang tak berada jauh di
sampingku.
“Astagfirullah. Umi,....Ify....?” teriakku
sembari berlari untuk mengambil air wudhu dan menepati kewajiban. Mba’ku
dan umi hanya tersenyum geli melihat tingkah anak yang baru lulus dari
bangku SMP. Yaps, aku baru selesai mengenyam pendidikan menengah
pertama.
*****
Usai sholat, kuurungkan niatku
untuk kembali berkumpul bersama umi. Aku masih agak malu pada umi,
karena anak gadisnya yang bangun kesiangan. Mungkin karena semalam aku
tidur terlalu larut akibat dari perasaan lega setelah menerima
pengumuman kelulusan.
“Tok...tok...tok...” suara ketukan pintu mendarat di telingaku.
“De, ayo makan, katanya lapar! Sholatnya kok lama benar sih?” tanya si
pemilik nama Zahra Wijaya yang biasa ku panggil Mba Zahra.
Aku masih enggan menjawab pertanyaan Mba Zahra dan terus asik dengan
aktivitasku di dalam istana kecilku. Mba Zahra pun penasaran dan segera
masuk karena kebetulan aku lupa mengunci pintu ketika terburu-buru.
Alhasil, mba’ku itupun tau bahwa aku sedang menyantap kue yang tersisa
di tas sekolahku saat kubawa pulang seusai acara pengumuman dan
pelepasan siswa kemarin siang. Mba Zahra tersenyum sembari
menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku nyengir dengan wajah yang tanpa
dosa.
“Cepat bersihkan badanmu. Mau ikut mba ke....”
“Mau.” Belum sempat ia berucap sudah kupotong marathon. Aku tau, pasti dia akan mengajakku pergi ke SMA almamaternya, karena sebelumnya dia pernah berjanji padaku.
Tidak butuh waktu yang lama, aku sudah siap dengan gaun yang kupakai
ala artis 2013. Menutup sebagian besar tubuh, hanya saja agak ketat.
Seperti pensil katanya. HahahaJ dan seperti biasanya, aku tak pernah
berpamitan pada abi karena beliau yang nyaris tak sesering umi menemani
waktuku di rumah bersama Mba Zahra. Abi memang disibukkan oleh
pekerjaannya di luar kota, meski begitu, tak sedikit perhatian selalu
abi tunjukan pada kami sekeluarga.
“Umi, Ify dan Mba Zahra pamit yah..?” pamitku pada umi.
“Mohon ridho-Nya umi. Assalamu’alaikum.” ucap Mba Zahra mengikutiku.
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati di jalan.” pesan umi melengkapi.
Begitulah
adat kebiasaan kami sebelum bepergian. “Ridho umi adalah ridho Allah.”
Kalau tidak salah, abi yang mengajariku seperti itu.
Kami berlalu hingga berhenti di suatu tempat. Aku sempat heran mengapa
Mba Zahra mengajakku ke tempat ini. “GITA BUSANA. Taman Muslimah yang
Modis.” Hanya itu yang dapat terbaca di baliho depan yang ku kira tak
lain adalah toko baju. Belum sempat kutanyakan, Mba Zahra sudah lekas
menjelaskan.
“Di SMA nanti, kamu akan dihimbau untuk berpakaian muslimah.” jelasnya singkat.
“Ooh, Mba Zahra memang pintar, cantik pula. Ify iri lho mba, sama Mba
Zahra. Hmm, etapi nanti jadi kan ke SMA Teladan?” celotehku sedikit
memaksa untuk sekadar berkeliling di tempat mba’ku menghabiskan masa
SMA’nya dulu. Dan Mba Zahra hanya mengangguk mengiyakan. Akupun dibuat
sibuk memilah-milah, hingga sampai di satu pandangan, jilbab.
“Mba, lihat Ify! Bagus tidak?” tanyaku menunjukan sebuah jilbab.
“De, Mba Zahra punya banyak koleksi serupa ini, dan kamu bisa
memakainya kapan saja kamu mau. Umi berpesan untuk membelikanmu kerudung
semacam ini.” Mba Zahra berucap sembari memberiku kerudung cantik yang
kurasa agak longgar bila kupakai. Aku sengaja menampakkan raut kecewa,
tapi aku sadar, umi lebih tau mana yang baik untukku. Apapun yang
menurut umi itu sesuai, tak pernah aku menolaknya. Karena aku percaya,
semua itu akan membawa keberkahan.
Sepertinya aku sudah
mulai bosan di tempat ini. Lekas-lekas ku tarik tangan mba’ku untuk
segera membayar belanjaan kami ke kasir dan berlalu menuju tempat tujuan
kami yang kedua, tak lain adalah SMA Teladan.
Perjalanan kami memang cukup memakan waktu. Tapi sesampainya disana,
sungguh tak banyak yang bisa kututurkan dari mulut mungilku ini. Hanya
segudang pujian Maha Besar Tuhan menciptakan alam semesta ini beserta
isinya yang memuaskan. Sebuah gedung megah, tinggi, bersih, asri yang
sepertinya aku akan merasa nyaman dan sebuah kehormatan jika aku bisa
duduk di bangku SMA Teladan ini.
Mba Zahra sedang asik
dengan ponselnya, beberapa saat, derap langkah menyamai bunyi sepatu
dari arah belakang kurasa mendekat ke arahku.
“Hai...”
Mba Zahra tersenyum menyapa seorang pemuda yang kini tepat berada di
sampingku. Aku yang tak biasa berhenti berkutik layak tikus yang dikejar
kucing, seketika itu juga aku diam seribu bahasa. Pemuda itu membalas
senyuman dan sapaan Mba Zahra.
“Vin, ini adikku. Ify
namanya. De, ini Mas Alvin, teman Mba Zahra.” ujar Mba Zahra
memperkenalku. Aku masih bungkam dan hanya sedikit tersenyum menghormat
pada pemuda itu.
“Ooh, teman.” ucapku membatin.
“Lebih dari teman.” sambung pemuda pemilik nama Alvin Pratama itu.
“Wah, dia mampu membalas batinku. Memang sudah kuduga bukan sekadar
teman.” batinku menjadi-jadi. Akupun mulai dengan gurauan mautku.
“Hmm, halo Mas Alvin..? Mba Zahra jaim. Bilang aja pacar. :p uee” godaku menjulurkan lidah berhasil menoyor Mba Zahra.
Aku sudah mulai berulah hingga membuat Mba Zahra kesal karena kugoda
terus-menerus. Mas Alvin terus saja terpingkal mendengar celotehanku
yang mengarah pada pengalaman lucuku bersama Mba Zahra.
“Hahaha...” tawa Mas Alvin pun tak dapat lagi dibendung. Dan Mba Zahra
hanya tersenyum kecut mendengar pengaduanku tentang kisah lucunya pada
Mas Alvin. Sedangkan aku nyengir kuda menatap Mba Zahra dengan tatapan
penuh kemenangan. Huuhh, perutku mulai mual. Mungkin terlalu kenyang
melahap tawa yang berlebihan. Bahkan sesekali aku menahan pipis. Mba
Zahra mendengus kesal. Hahaha... J sayangnya sang waktu sudah memaksa
kami untuk kembali. Dan mungkin, umi sudah menanti kepulangan kami.
*****
“Assalamu’alaikum umi...?” ucapku dan Mba Zahra serempak.
Dan
umi pun beranjak dari aktivitasnya lalu menjawab salam kami sembari
membukakan pintu. Buru-buru Mba Zahra menuju ruang tidurnya untuk
sekadar melemaskan tubuhnya. Perjalanan kami memang kurasa melelahkan.
Tak heran jika akupun tertidur pulas sepulang jalan-jalan. Umi
membiarkan kami beristirahat setelah memastikan kami usai melaksanakan
kewajiban dan mengisi perut kami dengan hidangan makan siang yang telah
disiapkan umi. Tidak lama kok, kami hanya tidur satu jam saja, itu sudah
setara dengan dua jam tidur di waktu malam. Begitulah ilmu yang kudapat
dari berguru.
Ketika aku terbangun, kulihat umi sedang
melihat pakaian yang baru kubeli bersama Mba Zahra. Tak segan umi
mengajariku berbusana muslimah hingga berjilbab. Umi tampak begitu
semangat memakaikan jilbab di kepalaku, hingga sampai di satu
pertanyaan.
“Umi, kok Mba Zahra tidak pakai jilbab
seperti yang umi pakai sih?” tanyaku hati-hati. Umi hanya tersenyum lalu
kulanjutkan.
“Umi... kok rambut Ify tertutup semua sih?
Ngga keren umiiii.... Mba Zahra pakai jilbab juga mahkota emasnya masih
tetap terlihat kok mi, kan lebih cantik seperti itu?” gerutuku kali ini
sedikit menentang. Dan kali ini umi menjawab.
“Ify mau
tau jawabannya? Coba deh, Ify buka kitab Allah subhanahu wata’ala yang
diturunkan kepada Rasulullah yang dihadiahkan abi saat Ify lulus puasa
30 hari. Ify bisa baca transliterasi perintah berjilbab dalam surah ke
24 di ayat 31 dan keharusan berjilbab dalam surah ke 33 di ayat 59.”
jelas umi berusaha meyakinkanku.
Tiba-tiba Mba Zahra menampakkan wajahnya dan bergabung bersamaku juga umi.
“De, ba’da ashar ada kajian remaja.” ucap Mbaku seakan mengajakku untuk ikut.
Umi berkata bahwa ini adalah kegiatan positif. Langsung saja umi
mengangguk dan menyetujui serta menyuruhku untuk bersiap-siap. Semua
berlalu meninggalkanku sendiri bersama pakaian baruku.
“Tararaaaa......” ucapku girang menunjukkan penampilanku pada umi dengan
gaun yang agamis. Tak sedikit pujian yang umi lantunkan saat melihatku.
Dan sambil menunggu mba’ku keluar dari ruang hiasnya, aku teringat pada
penuturan umi tentang jilbab tadi.
“Subhanallah...begitu signifikannya berjilbab itu. Baru beberapa menit
aku menggunakan jilbab, rasanya aku sudah mendapat hidayah Allah yang
sungguh incredible.” ucapku lirih yang ternyata masih terdengar
oleh umi. Meskipun agak samar, tetapi umi masih mampu mencerna
celotehanku barusaja.
Mba Zahra keluar dari kamarnya.
Dan lagi-lagi aku menjumpainya agak jemu karena jilbabnya yang entah
kekurangan bahan atau mungkin karena memakainya yang kurang benar.
Rumah tafis yang hendak kami kunjungi memang berada tak jauh dari
rumah kami. Dan seiring waktu perjalanan kami gunakan untuk sebuah
perbincangan tentang busana yang kami kenakan.
“Mba Zahra, kok jilbab yang mba pakai seperti itu sih? Lihat Ify nih..!!
Bukankah Allah befirman ‘Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan.’ Mba tau kan batasan
aurat wanita?” ujarku yakin. Mungkin dia mulai merasa bahwa aku mulai
risih melihatnya berjilbab yang membiarkan rambutnya terkulai tak
tertutupi jilbab yang melekat di punggungnya. Kemudian dia menjawab
tegas.
“De, kamu ini masih anak kecil. Belum tau pasti apa itu jilbab.” gertak Mba Zahra.
Batinku mulai tidak terima. Aku bukan lagi anak kecil. Aku udah besar.
Aku juga tau tentang bagaimana mengenakan jilbab. Tapi di sisi lain aku
sadar. Mba Zahra itu empat tahun lebih tua dariku. Dia sudah menginjak
semester akhir di Akademi Perawat Universitas Idola. Jika dibandingkan
dengan aku, jelas aku bukanlah apa-apanya. Mba Zahra jauh lebih dulu
melihat matahari daripada aku. Jadi sudah jelas kemungkinan waktu
ibadahnya juga jauh lebih lama dariku.
“Ya Allah, ya
Tuhanku yang sangat aku kasihi, kekasih-Mu yang kecil ini sedang
bersedih karena gertakan tak biasa yang datangnya dari kakak yang sangat
aku cintai karena-Mu. Jantungku gemetar takut, dan tangis batinku
mencekat nafas. Ya Allah, mba’ku ngga mau pakai jilbab seperti apa yang
telah Engkau syariatkan. Berikanlah hidayah buat Mba Zahra ya Allah, aku
yakin Engkau tersenyum melihatku tak sabar menanti penyelamatan-Mu.”
doaku membatin menyusuri perjalanan.
Sesampainya disana,
sebenarnya tak sedikit dari penuturan ustadzah yang menyinggung jilbab.
Tapi dengan rasa tidak berdosanya Mba Zahra tetap menikmati apa yang ia
kenakan meski ia tau itu salah.
Tanpa disangka, hujan
deras mengguyur seluruh Kota Jogja. Disaat itu Mba Zahra mulai merasa
kedinginan dan merangkulku erat. Kini dia barulah menyadari mengapa
Allah perintahkan menutup jilbab ke seluruh tubuh karena salah satunya
adalah agar kita terlindung dari hal-hal yang berbau bahaya. Seperti
halnya udara dingin yang hendak masuk ke dalam pori-pori tubuh akan
terhalang oleh jilbab yang kita pakai kebanyakan.
Dan
akhirnya Mba Zahra menyuruhku untuk memperbaiki jilbabnya yang semula
hanya dia gunakan sebagai selempang untuk gaya-gayaan. Ternyata Allah
punya cara tersendiri yang kadang rencana itu tidak pernah kita duga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar