Cerpenku yang ke-sekian kalinya, kali ini mengisahkan
tentang seorang pemuda yang mengidap penyakit kronis hingga akhirnya merenggut
nyawanya. Kisah tentang pengalaman pemuda bersama orang-orang terdekatnya
menjelang kepergian yang tidak pernah terduga. Mengisahkan romantikanya dengan
seorang gadis yang diam-diam disukainya. Seperti apakah kisah selengkapnya? Check it out!
Jalan dari rumah Gabriel menuju sekolah tempatnya mengenyam
pendidikan esempe kentara begitu monoton. Dari pintu masuk Perumnas tinggal lurus saja sekitar 500 meter. Tak ada
belokan. Sekalipun ada, itu bukanlah jalan yang harus dilalui. Hamparan sawah
yang terbentang luas menjadi pemandangan gratis sehari-hari.
Saat pagi hari
memang mengasyikkan. Berjalan bersama teman-teman dengan panorama sun rise di belahan bumi bagian timur. Terus
memandang tanpa pernah bosan memuji karunia Tuhan. Tetapi saat pulang sekolah, saat
tengah hari, merupakan suasana yang menyebalkan. Terik matahari seakan tepat
berada di atas ubun-ubun. Panasnya terasa membakar tubuh. Pori-pori kulit
melebar membiarkan keringat keluar sekenanya. Setiap hari nyaris selalu begitu.
Gabriel pernah
sesekali menggerutu kesal kepada orang tuanya. Mengapa dia hanya diberi satu pilihan sekolah
menengah pertama. Tak ada pilihan lain untuk melanjutkan studi ke sekolah yang
ia harapkan. Sampai-sampai ia harus merelakan diri untuk terpisah dari
sahabatnya sejak SD.
Ibu Gabriel
selalu berdalih bahwa selalu ada hikmah di balik peristiwa. Cepat atau lambat,
Gabriel akan menemukan teman baru. Dan benar, memasuki tahun terakhir yaitu
kelas tiga esempe, sosok dengan rona ketulusannya kian dekat dengan Gabriel. Obiet,
Sivia, Oik, Acha, Shilla, Keke, dan Ify adalah sebagian kecilnya.
Di ruang kelas
yang remai dan mengasyikkan itu Gabriel menemukan hangatnya keluarga baru. “Nine
Bhi Tenemos Que Pasar”. Itulah sapaan ramah untuk kelasnya.
Obiet adalah classmatenya. Teman-teman kebanyakan
menyapa keduanya dengan sebutan Belahan Jengkol. Mereka agak pendiam, tetapi
cenderung gaje. Hehehe..
Acap kali Gabriel
iri melihat teman-temannya dapat beraktivitas dangan bebas dan sesuka hati. Tak
ada yang melarang. Tidak seperti Gabriel yang serba terbatas karena dia adalah
penderita kanker. Semuanya diatur. Makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya
dimakan. aktivitas yang tidak boleh angkat beban berat. Tidur minimal satu jam
di waktu siang dan delapan di waktu malam. Dia merasa seperti bayi dalam tabung
inkubator. Suhu, tekanan udara, kelembaban, semuanya benar-benar telah diatur.
Meskipun berbeda
dengan anak yang sehat, solidaritas teman-temannya membuat Gabriel tidak mudah
berputus asa. Membuatnya untuk terus bersemangat melawan penyakitnya. Mereka
sering menghabiskan waktu untuk bernyanyi bersama saat jam pelajaran kosong. Tak
jarang pula akibat kekonyolan Acha membuat mata mereka basah karena tawa yang
berlebihan.
Suatu pagi, tidak
sengaja ibu Gabriel mengobrak-abrik ponsel milik Gabriel saat ia sedang di
sekolah. Sepulang dari sekolah, si ibu mewawancarai anaknya habis-habisan,
gara-gara menemukan sebuah foto seorang gadis yang menjadi wallpaper.
“Namanya siapa,
Yel?” Tanya ibu sembari menyerahkan ponsel anak sulungnya.
“Ibu pasti habis
buka-buka hapeku, ya?” jawabnya mengernyitkan alis.
“Cantik, kok.
Gingsul tapi manis.” Sahut ibu tersenyum tipis.
Hmm, betapa
malunya Gabriel dihadapan ibunya. Kalimat ibu selanjutnya sukses membuat
dadanya turun naik.
“Kenalin ke ibu,
dong!” tandasnya berasumsi sedikit mencibir.
Oh, ibu, tahukah engkau bahwa kisah cintaku ini
terbilang cukup rumit. Jangankan
ibu, Gabriel sendiri merasa sulit mengartikan perasaannya. Sebenarnya telah
lama ia ingin menceritakan perihal ini. Gabriel memiliki nyali untuk membuka
mulut, tapi ia takut malu.
*****
Ujian Nasional
semakin dekat. Selalu didahului dengan try out, ujian praktik, dan ujian
sekolah. Ibu sudah melarang Gabriel untuk tidak mengikuti ujian praktik
khususnya olahraga. Teman-temannya juga sudah mengingatkan jangan. Tetapi
Gabriel bersikeras untuk ikut. Keegoisannya berbuah hal buruk yang tidak lama
kemudian menimpanya.
Kondisi Gabriel
mulai menurun. Memaksanya untuk tidak bisa menyelesaikan ujian sekolah yang
tinggal beberapa hari lagi. Bahkan ujian nasional pun ia lewati begitu saja.
Padahal ia telah belajar secara otodidak bersama ibu di rumah. Sayangnya kepala
sekolah tak mengindahkan keinginannya untuk melaksanakan ujian di rumah dengan
menghadirkan pengawas tentunya. Harapannya untuk lulus esempe dengan nilai yang
memuaskan akhirnya pupus.
Nyaris setiap
hari teman-teman datang menghibur. Mengobrol, bercanda, dan bernyanyi bersama. Lagu
favorite mereka adalah kemesraan.
Gabriel sendiri yang mengiringi lagu itu dengan gitar kesayangannya. Selalu
hadir Obiet dan enam teman lainnya, terutama si gingsul tapi manis.
*****
Pernah Gabriel
berceloteh yang berhasil membuat mata ibu berkaca-kaca.
“Ibu
punya uang gak, Bu? Tanyanya tanpa basa-basi.
“Mau ibu
belikan apa, Yel?” jawab ibu dengan nada penasaran.
Suasana
seketika menegang. Ibu memaki Gabriel
setelah paham dengan maksud
anaknya. Kemeja putih, celana hitam, dasi, sepatu, jas, dan seperangkat
busana lainnya yang akan Gabriel
kenakan jika ia meninggal nanti. Air mata ibu meleleh. Kembali
Gabriel mematahkan benteng pertahanan
ibu.
“Ibu udah
beli buku kunjungan belum, Bu?” pertanyaan Gabriel kali itu membuat kristal
bening di pelupuk mata ibu tertumpah
kian deras.
Entah
sebuah sasmita atau bukan, Gabriel tidak peduli. Ia menarik napas lega usai
menyampaikan hal itu kepada ibunya. Percakapan singkat itu Gabriel tutup dengan
epilog yang membuat jiwa ibu semakin papa.
“Ibu,
Iyel udah cape. Kalau Iyel pergi, ibu udah rela belum?”
Jantung
ibu seperti telah hancur dan berkeping, saat mendengar penuturan tadi. Sesaat
kemudian Gabriel meminta lantunan kasih dari surga, menyiratkan agar lagu favoritenya itu mengiringi kepergiannya
nanti. Kurang ajar sekali aku ini! Tidak memedulikan
perasaan ibuku sama sekali. Gumamnya dalam hati.
*****
Matahari di
langit Khatulistiwa tergelincir makin jauh ke ufuk barat. Sinar terangnya sempurna sirna. Tak bersisa.
Rembulan dengan lekas menggantikan. Langit yang hitam mulai bertaburan
bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya, Gabriel sudah tidak bisa memandang
karunia Tuhan yang super keren itu lagi. Saraf matanya telah mati. Alat
geraknya juga terasa telah mati sejak kemarin. Pengucapannya mulai sulit
melisankan kata-kata. A.. e.. a.. e.. Berulang kali ia berusaha merangkai huruf
menjadi sebuah kata. Tetapi selalu gagal. Hanya dua huruf itu yang berhasil
keluar masuk dari lisannya. Napas Gabriel mulai tersengal. Jangan-jangan jantungku akan berhenti berdetak sesaat lagi. Ah,
Gabriel sudah pasrah kepada Tuhannya. Ia tak ingin mendahului takdir.
Gerimis jatuh tak terduga menjelang matahari terbit.
Kengerian yang mencekam penuh ketegangan menyelimuti ruang tidur Gabriel.
Ibunya telah paham putra pertamanya itu tengah meronta meminta sesuatu. Sering
kali ibu membaca gerakan mata anaknya. Ketika kedipan matanya stabil, artinya
Gabriel baik-baik saja. Tetapi jika kedipan matanya bergerak lebih cepat dari
biasanya, artinya perasaan Gabriel sedang kacau. Dan kali itu ibu mulai sulit mengartikan sesuatu
yang ia minta. Dengan marathon ibu
menelepon tabib agar bergegas menuju rumah.
Kasihan sekali
tabib. Di tengah malam menjelang pagi ini, Beliau harus lekas menuju rumah
Gabriel untuk memastikan bahwa Gabriel akan baik-baik saja. Aku memang keterlaluan. Dan aku mengakui hal
itu.
Pukul dua dini
hari, tabib mengambil langkah pamit. Ibu dan ayah Gabriel mengantar tabib
sampai beranda rumah. Sementara Gabriel masih beku dan membisu di ranjangnya.
Air matanya mengambang tak tertahan, kegalauan yang seru berhasil menumpulkan
perasaannya yang mulai tidak keruan. Entah karena apa.
Ibu kembali
menemani sang buah hati yang begitu sabar dan kuat dalam melawan penyakitnya. Gabriel
yakin ibu tidak tega melihat kondisi anaknya yang terus memburuk. Air mata ibu
kembali meleleh. Gabriel bisa menyimpulkan bahwa ibunya tengah menitikan air
mata karena sayup-sayup Gabriel masih mampu mendengar isak sang ibu yang selalu
disembunyikan. Pilihannya hanya ada dua : membiarkan Gabriel lemah seperti itu,
atau melepaskan Gabriel untuk pergi.
Keluarga Gabriel
sudah bingung akan membawanya berobat kemana lagi. Namun mereka tak pernah
putus asa untuk berusaha menyembuhkan Gabriel dari kelenjar nakal yang saat itu
bersarang di sebagian otot leher Gabriel
hingga membengkak. Membuatnya kian sulit untuk beraktivitas.
*****
Kondisi Gabriel
mulai stabil. Itu sebabnya tabib berpamitan meninggalkan keluarga kecil
Gabriel. Jiwanya jauh lebih tenang dari sebelumnya saat mendengar sepatah dua
patah kata tabib yang mendamaikan hatinya. Ibunya masih setia berada di samping Gabriel,
tak pernah jauh. Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang tulus
kepadanya. Membuatnya mengerti akan makna sebuah pengorbanan yang menimbulkan
sebuah kesan mendalam.
Gabriel merasakan
sudah saatnya ia pergi. Namun ia bingung
bagaimanan caranya untuk berpamitan. Kepada ibu, ayah, adik-adik, dan
orang-rang yang pernah menyentuh hidupnya. Keadaan ini berhasil memaksanya
untuk terus menguras otaknya. Memikirkan jalinan kata yang tepat untuk sekadar
ucapan terima kasih, maaf dan selamat tinggal. Kebimbangan yang Gabriel rasakan
itu seperti labirin —sesuatu yang rumit dan berbelit— tak berujung.
Hawa dingin
menusuk ari hingga ke dasar. Perlahan tubuh Gabriel mulai mati rasa. Angkasa
yang kelam membisu seolah menyampaikan sasmita bahwa jiwa yang lelah itu terus
menuntut mekanisme tubuhnya untuk beristirahat. Pukul tiga dini hari, Gabriel
menarik napas panjang. Sejenak berhenti dan mengulanginya beberapa kali. Sang
ibu telah paham dengan situasi semacam ini. Segenap keluarga Gabriel
berbondong-bondong menuju ranjangnya. Ramai sekali. Berkumpul bersama dan
merapal doa-doa menjelang kepergian Gabriel.
Menjelang
pagi, segala keramaian mulai surut. Gabriel telah berpulang. Semoga ibu ingat
permintaannya tempo hari : Nyanyian Kasih dari Surga.Kedungreja, November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar