Senin, 29 Desember 2014

Kasih dari Surga



Cerpenku yang ke-sekian kalinya, kali ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang mengidap penyakit kronis hingga akhirnya merenggut nyawanya. Kisah tentang pengalaman pemuda bersama orang-orang terdekatnya menjelang kepergian yang tidak pernah terduga. Mengisahkan romantikanya dengan seorang gadis yang diam-diam disukainya. Seperti apakah kisah selengkapnya? Check it out!
Kasih dari Surga
Jalan dari rumah Gabriel menuju sekolah tempatnya mengenyam pendidikan esempe kentara begitu monoton. Dari pintu masuk Perumnas tinggal lurus saja sekitar 500 meter. Tak ada belokan. Sekalipun ada, itu bukanlah jalan yang harus dilalui. Hamparan sawah yang terbentang luas menjadi pemandangan gratis sehari-hari.
Saat pagi hari memang mengasyikkan. Berjalan bersama teman-teman dengan panorama sun rise di belahan bumi bagian timur. Terus memandang tanpa pernah bosan memuji karunia Tuhan. Tetapi saat pulang sekolah, saat tengah hari, merupakan suasana yang menyebalkan. Terik matahari seakan tepat berada di atas ubun-ubun. Panasnya terasa membakar tubuh. Pori-pori kulit melebar membiarkan keringat keluar sekenanya. Setiap hari nyaris selalu begitu.
Gabriel pernah sesekali menggerutu kesal kepada orang tuanya. Mengapa dia hanya diberi satu pilihan sekolah menengah pertama. Tak ada pilihan lain untuk melanjutkan studi ke sekolah yang ia harapkan. Sampai-sampai ia harus merelakan diri untuk terpisah dari sahabatnya sejak SD.
Ibu Gabriel selalu berdalih bahwa selalu ada hikmah di balik peristiwa. Cepat atau lambat, Gabriel akan menemukan teman baru. Dan benar, memasuki tahun terakhir yaitu kelas tiga esempe, sosok dengan rona ketulusannya kian dekat dengan Gabriel. Obiet, Sivia, Oik, Acha, Shilla, Keke, dan Ify adalah sebagian kecilnya.
Di ruang kelas yang remai dan mengasyikkan itu Gabriel menemukan hangatnya keluarga baru. “Nine Bhi Tenemos Que Pasar”. Itulah sapaan ramah untuk kelasnya.
Obiet adalah classmatenya. Teman-teman kebanyakan menyapa keduanya dengan sebutan Belahan Jengkol. Mereka agak pendiam, tetapi cenderung gaje. Hehehe..
Acap kali Gabriel iri melihat teman-temannya dapat beraktivitas dangan bebas dan sesuka hati. Tak ada yang melarang. Tidak seperti Gabriel yang serba terbatas karena dia adalah penderita kanker. Semuanya diatur. Makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dimakan. aktivitas yang tidak boleh angkat beban berat. Tidur minimal satu jam di waktu siang dan delapan di waktu malam. Dia merasa seperti bayi dalam tabung inkubator. Suhu, tekanan udara, kelembaban, semuanya benar-benar telah diatur.
Meskipun berbeda dengan anak yang sehat, solidaritas teman-temannya membuat Gabriel tidak mudah berputus asa. Membuatnya untuk terus bersemangat melawan penyakitnya. Mereka sering menghabiskan waktu untuk bernyanyi bersama saat jam pelajaran kosong. Tak jarang pula akibat kekonyolan Acha membuat mata mereka basah karena tawa yang berlebihan.
Suatu pagi, tidak sengaja ibu Gabriel mengobrak-abrik ponsel milik Gabriel saat ia sedang di sekolah. Sepulang dari sekolah, si ibu mewawancarai anaknya habis-habisan, gara-gara menemukan sebuah foto seorang gadis yang menjadi wallpaper.
“Namanya siapa, Yel?” Tanya ibu sembari menyerahkan ponsel anak sulungnya.
“Ibu pasti habis buka-buka hapeku, ya?” jawabnya mengernyitkan alis.
“Cantik, kok. Gingsul tapi manis.” Sahut ibu tersenyum tipis.
Hmm, betapa malunya Gabriel dihadapan ibunya. Kalimat ibu selanjutnya sukses membuat dadanya turun naik.
“Kenalin ke ibu, dong!” tandasnya berasumsi sedikit mencibir.
Oh, ibu, tahukah engkau bahwa kisah cintaku ini terbilang cukup rumit. Jangankan ibu, Gabriel sendiri merasa sulit mengartikan perasaannya. Sebenarnya telah lama ia ingin menceritakan perihal ini. Gabriel memiliki nyali untuk membuka mulut, tapi ia takut malu.
*****
Ujian Nasional semakin dekat. Selalu didahului dengan try out, ujian praktik, dan ujian sekolah. Ibu sudah melarang Gabriel untuk tidak mengikuti ujian praktik khususnya olahraga. Teman-temannya juga sudah mengingatkan jangan. Tetapi Gabriel bersikeras untuk ikut. Keegoisannya berbuah hal buruk yang tidak lama kemudian menimpanya.
Kondisi Gabriel mulai menurun. Memaksanya untuk tidak bisa menyelesaikan ujian sekolah yang tinggal beberapa hari lagi. Bahkan ujian nasional pun ia lewati begitu saja. Padahal ia telah belajar secara otodidak bersama ibu di rumah. Sayangnya kepala sekolah tak mengindahkan keinginannya untuk melaksanakan ujian di rumah dengan menghadirkan pengawas tentunya. Harapannya untuk lulus esempe dengan nilai yang memuaskan akhirnya pupus.
Nyaris setiap hari teman-teman datang menghibur. Mengobrol, bercanda, dan bernyanyi bersama. Lagu favorite mereka adalah kemesraan. Gabriel sendiri yang mengiringi lagu itu dengan gitar kesayangannya. Selalu hadir Obiet dan enam teman lainnya, terutama si gingsul tapi manis.
*****
Pernah Gabriel berceloteh yang berhasil membuat mata ibu berkaca-kaca.
“Ibu punya uang gak, Bu? Tanyanya tanpa basa-basi.
“Mau ibu belikan apa, Yel?” jawab ibu dengan nada penasaran.
Suasana seketika menegang. Ibu memaki Gabriel  setelah paham dengan maksud  anaknya. Kemeja putih, celana hitam, dasi, sepatu, jas, dan seperangkat busana lainnya yang akan Gabriel   kenakan jika ia meninggal nanti. Air mata ibu meleleh. Kembali Gabriel  mematahkan benteng pertahanan ibu.
“Ibu udah beli buku kunjungan belum, Bu?” pertanyaan Gabriel kali itu membuat kristal bening di pelupuk mata ibu  tertumpah kian deras.
Entah sebuah sasmita atau bukan, Gabriel tidak peduli. Ia menarik napas lega usai menyampaikan hal itu kepada ibunya. Percakapan singkat itu Gabriel tutup dengan epilog yang membuat jiwa ibu semakin papa.
“Ibu, Iyel udah cape. Kalau Iyel pergi, ibu udah rela belum?”
Jantung ibu seperti telah hancur dan berkeping, saat mendengar penuturan tadi. Sesaat kemudian Gabriel meminta lantunan kasih dari surga, menyiratkan agar lagu favoritenya itu mengiringi kepergiannya nanti. Kurang ajar sekali aku ini! Tidak memedulikan perasaan ibuku sama sekali. Gumamnya dalam hati.
*****
Matahari di langit Khatulistiwa tergelincir makin jauh ke ufuk barat. Sinar terangnya sempurna sirna. Tak bersisa. Rembulan dengan lekas menggantikan. Langit yang hitam mulai bertaburan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya, Gabriel sudah tidak bisa memandang karunia Tuhan yang super keren itu lagi. Saraf matanya telah mati. Alat geraknya juga terasa telah mati sejak kemarin. Pengucapannya mulai sulit melisankan kata-kata. A.. e.. a.. e.. Berulang kali ia berusaha merangkai huruf menjadi sebuah kata. Tetapi selalu gagal. Hanya dua huruf itu yang berhasil keluar masuk dari lisannya. Napas Gabriel mulai tersengal. Jangan-jangan jantungku akan berhenti berdetak sesaat lagi. Ah, Gabriel sudah pasrah kepada Tuhannya. Ia tak ingin mendahului takdir.
Gerimis jatuh tak terduga menjelang matahari terbit. Kengerian yang mencekam penuh ketegangan menyelimuti ruang tidur Gabriel. Ibunya telah paham putra pertamanya itu tengah meronta meminta sesuatu. Sering kali ibu membaca gerakan mata anaknya. Ketika kedipan matanya stabil, artinya Gabriel baik-baik saja. Tetapi jika kedipan matanya bergerak lebih cepat dari biasanya, artinya perasaan Gabriel sedang kacau. Dan kali itu ibu mulai sulit mengartikan sesuatu yang ia minta. Dengan marathon ibu menelepon tabib agar bergegas menuju rumah.
Kasihan sekali tabib. Di tengah malam menjelang pagi ini, Beliau harus lekas menuju rumah Gabriel untuk memastikan bahwa Gabriel akan baik-baik saja. Aku memang keterlaluan. Dan aku mengakui hal itu.
Pukul dua dini hari, tabib mengambil langkah pamit. Ibu dan ayah Gabriel mengantar tabib sampai beranda rumah. Sementara Gabriel masih beku dan membisu di ranjangnya. Air matanya mengambang tak tertahan, kegalauan yang seru berhasil menumpulkan perasaannya yang mulai tidak keruan. Entah karena apa.
Ibu kembali menemani sang buah hati yang begitu sabar dan kuat dalam melawan penyakitnya. Gabriel yakin ibu tidak tega melihat kondisi anaknya yang terus memburuk. Air mata ibu kembali meleleh. Gabriel bisa menyimpulkan bahwa ibunya tengah menitikan air mata karena sayup-sayup Gabriel masih mampu mendengar isak sang ibu yang selalu disembunyikan. Pilihannya hanya ada dua : membiarkan Gabriel lemah seperti itu, atau melepaskan Gabriel untuk pergi.
Keluarga Gabriel sudah bingung akan membawanya berobat kemana lagi. Namun mereka tak pernah putus asa untuk berusaha menyembuhkan Gabriel dari kelenjar nakal yang saat itu bersarang  di sebagian otot leher Gabriel hingga membengkak. Membuatnya kian sulit untuk beraktivitas.
*****
Kondisi Gabriel mulai stabil. Itu sebabnya tabib berpamitan meninggalkan keluarga kecil Gabriel. Jiwanya jauh lebih tenang dari sebelumnya saat mendengar sepatah dua patah kata tabib yang mendamaikan hatinya.  Ibunya masih setia berada di samping Gabriel, tak pernah jauh. Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang tulus kepadanya. Membuatnya mengerti akan makna sebuah pengorbanan yang menimbulkan sebuah kesan mendalam.
Gabriel merasakan sudah saatnya ia pergi. Namun ia bingung  bagaimanan caranya untuk berpamitan. Kepada ibu, ayah, adik-adik, dan orang-rang yang pernah menyentuh hidupnya. Keadaan ini berhasil memaksanya untuk terus menguras otaknya. Memikirkan jalinan kata yang tepat untuk sekadar ucapan terima kasih, maaf dan selamat tinggal. Kebimbangan yang Gabriel rasakan itu seperti labirin —sesuatu yang rumit dan berbelit— tak berujung.
Hawa dingin menusuk ari hingga ke dasar. Perlahan tubuh Gabriel mulai mati rasa. Angkasa yang kelam membisu seolah menyampaikan sasmita bahwa jiwa yang lelah itu terus menuntut mekanisme tubuhnya untuk beristirahat. Pukul tiga dini hari, Gabriel menarik napas panjang. Sejenak berhenti dan mengulanginya beberapa kali. Sang ibu telah paham dengan situasi semacam ini. Segenap keluarga Gabriel berbondong-bondong menuju ranjangnya. Ramai sekali. Berkumpul bersama dan merapal doa-doa menjelang kepergian Gabriel.
Menjelang pagi, segala keramaian mulai surut. Gabriel telah berpulang. Semoga ibu ingat permintaannya tempo hari : Nyanyian Kasih dari Surga.

Kedungreja, November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar