Kereta Gantung
Pukul 6.00 pagi, Stasiun Purwokerto mulai dipadati oleh para
calon penumpang. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa. Musim liburan selalu begini. Budaya mudik
naik kereta api masih menjadi favorite.
Apalagi pelayanan kereta saat ini sudah jauh lebih baik dan menarik. Tidak lagi
dijumpai
suasana gerah atau panas karena kereta sudah dilengkapi AC. Pun tidak
perlu menyisipkan powerbank di tas
barang bawaan karena charger gratis
sudah tersedia. Tak ada lagi teriakan pedagang asongan yang yang menjajakkan
dagangannya. Yang ada hanyalah pelayanan restaurant
yang hilang muncul menawarkan jasa mengantar makanan. Baik sekali.
Waktu mulai menunjukkan jam berangkat kereta api. Shilla,
gadis Jakarta
yang melanjutkan pendidikan tingginya di Center Java, khususnya di Kota Satria adalah
salah satu penumpang kereta dengan nama Serayu Pagi. Bersama dua sahabatnya,
meskipun dari program studi yang berbeda tetapi mereka tetap satu tujuan :
pulang kampung saat liburan tiba. Kedengarannya agak aneh memang. Pulang
kampong kok ke Jakarta.
Hehehe.. Masyarakat Jawa banyak mencoba mengadu nasib ke Jakarta. Sebaliknya, orang Jakarta banyak belajar di tanah Jawa.
Setelah menyusuri gerbong kereta, akhirnya Shilla menemukan
tempat duduknya. Lekas ia melepas ransel yang memberatkan pinggangnya,
menaruhnya di bagasi yang sudah disediakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh
dua sahabatnya. Setelah semuanya beres, Shilla melempar tubuhnya ke jok empuk
kereta. Memnyandarkan tubuhnya ke dekat jendela, mengambil Walkman di tas
kecilnya dan menekan tombol play. Leaving on a Jet Plane mengalun merdu
membisingi telinganya. Hatinya berteriak girang, “Ayah, Ibu, adik-adik,
sebentar lagi Shilla pulang…”
Tampak seorang
pemuda berkacamata miopi berjalan pelan kea rah Shilla. Dengan sebuah big
bag di tangan kanan dan selembar tiket kereta di tangan kirinya. Tepat di
muka tempat duduk Shilla, pemuda itu berhenti. Memastikan nomor tempat duduknya
yang tertera di tiket kereta cocok dengan realitanya. Dan faktanya memang
demikian. Akhirnya pemuda pemilik nama Jonatan itu duduk. Tepat di hadapan
Shilla. Shilla hanya tersenyum tipis seakan menyampaikan kata silahkan duduk.
Pemuda itu
mengulurkan tangannya mengajak berkenalan, “Jonatan, panggil aja Natan.”
“Shilla..” Balas
Shilla.
“Zahra..” Sambut
gadis di sebelah Shilla.
“Tia..” Sahut
yang lain.
Perhelatan antara
telapak tangan merekapun usai. Mereka mulai asyik dengan kesibukan
masing-masing. Shilla dengan walkmannya. Tia dan Zahra dengan rumpinya. Dan
hanya Natan yang diam tanpa kata. Memandang
jauh menembus kaca jendela kereta.
Entah apa yang
membuat Natan tiba-tiba memutar kepalanya sembilan puluh derajat. Memandang
tepat gadis di hadapannya. Natan menjadi salah tingkah saat tertangkap basah
oleh Shilla. Seketika mata Natan berkedip tersadar. Membetulkan kaca matanya
yang sama sekali tidak melorot. Mengharuk-garuk kepalanya yang sama sekali
tidak gatal. Celingukan ke sana-ke mari tak beralasan. Shilla menjadi rishi
dengan sikap Natan. Ingin membuka pembicaraan tetapi tidak tahu bagaimana
kalimat pertamanya.
“Nat..?” Sapa
Shilla.
“Iya, Shill..”
Sahut Natan. Mata mereka bertemu. Keduanya saling mengartikan tatapan
masing-masing.
Tia dan Zahra
saling berpandangan dalam satu pemikiran : tatapan dua sejoli yang sedang di
mabuk cinta.
Tia dan Zahra
kemudian tersenyum. Senyum mereka berubah menjadi tertawa kecil. Semakin lama
semakin keras. Menyadarkan dua sejoli yang sudah beberapa detik tak mengedipkan
mata.
“Loe,
kenapa,Nat?” Pertanyaan Shilla yang sejak tadi tertahan di mulutnya akhirnya
keluar juga. Berusaha bersikap biasa saja agar dua sahabatnya tidak curiga dan
berpikiran macam-macam. Kemudian dengan gugup Natan membalas pertanyaan Shilla
yang keluar sekenanya.
“Aku, nggak papa
kok..! Kamu turun di mana, Shill?” Tanya Natan balik. Masih dalam nada gugup.
“Bekasi. Kamu?” Balas Shilla ketus.
“Kota.” Timpal
Natan pasif.
Tia dan Zahra
sontak saja meledek dua sejoli itu.
“Ehm, ciee.. Baru
juga kenal, Shill..” cibir Tia.
“Kalian jangan
mulai deh..” jawab Shilla
sedikit kesal.
“Nat, Shilla
orangnya baik lhoh, sering traktir kita-kita. Iya kan, Ti?” Goda Zahra sembari
menyenggol bahu Tia. Natan tersipu, tersenyum sembari menggelengkan kepalanya
seakan bergumam, “Ada-ada saja gadis-gadis ini...”
Tidak memerlukan
waktu lama, mereka berempat cepat sekali akrab. Natan, satu-satunya pemuda yang
baru bergabung di tengah persahabatan yang begitu hangat itu merasa bersyukur,
ia dikelilingi oleh gadis-gadis yang ramai dan mengasyikkan. Baru beberapa
menit berkenalan, mereka tampak sudah saling mengenal seperti teman yang lama
berpisah dipertemukan kembali. Tia mengeluarkan snak dari dalam tas besarnya.
Zahra mnegocok segepok kartu domino dan membagikan rata untuk empat orang. Terjadilah
permainan yang seru, yang membuat mereka lupa diri.
Lebih dari satu
jam mereka masih bertahan dengan dominonya. Siapa yang paling banyak menang
atau siapa yang paling banyak kalah, mereka tidak peduli. Teriakan girang, cibiran sinting, atau
cubitan karena kalah main berhasil membuat tetangga tempat duduk menjadi rishi
dan sebal. Mereka tetap tidak peduli. Rasanya dunia hanya milik mereka
berempat.
Tanpa disadari, satu per satu dari merekapun tumbang.
Mekanisme tubuh yang lelah memaksa untuk istirahat. Shilla dan Natan kompak
menutup mata dengan bahu menyandar ke tepi jendela. Zahra terpejam dengan
kepala yang menunduk dan kedua tangan yang merangkul lututnya yang tergulai
lemas di atas jok kereta. Sedangkan Tia, tertidur bersandar pada bangku kereta
yang ia rasai empuk. Terpejamnya mereka seakan mengingatkan sasmita alam betapa
rapuhnya manusia, dan betapa kuatnya Tuhan yang tidak pernah tidur.
Asap kereta mengepul membentuk beberapa gumpalan hitam pekat
mengontaminasi udara bersih. Lokomotif yang membelok tajam berhasil membangunkan
lelapnya Shilla. Ia trekejut dengan pemandangan yang sukses membuatnya absurd.
Ia bingung ia harus merasa sedih, bahagia, marah, atau biasa saja. Perasaannya
sulit ditebak saat pemuda di hadapannya menyandarkan kepalanya di bahu
sahabatnya, Tia.
Shilla masih terfokus memandangi garis wajah pemudanya.
Tiba-tiba Natan membuka matanya, memergoki gadisnya lamat-lamat memperhatikan
Natan. Sebuah tatapan cemburu.
Kalimat yang berhasil Natan simpulkan secara sepihak. Seketika Shilla membuang
wajahnya ke luar jendela. Kali ini Shilla yang salah tingkah. Natan diam saja.
Bingung apa yang harus dikatakannya.
Shilla kembali menyandarkan tubuhnya ke dekat jendela.
Meneguk segelas soft drink untuk
membasahi tenggorokannya yang mulai dehidrasi. Dan lagi-lagi, pandangannya
mengabur ke luar menikmati pesona alam.
Memandang indah lokomotif yang meliuk beraturan saat di belokan. Terus
melaju mengikuti lintasan kereta api yang selalu berdampingan. Hal yang sama
juga dilakukan oleh Natan.
Sesekali kedua mata mereka bertemu. Tidak bertahan lama,
beberapa detik kemudian melengos. Memutar kepala untuk kembali memandangi alam
ke luar jendela adalah salah satu trik terbaik untuk berpura-pura biasa saja.
Ah, dasar dua sejoli yang sok jaim. Katakana saja cinta. Gitu aja kok repot.
Panorama yang luar biasa. Melukiskan kemahaindahan Sang
Pencipta. Air mengalir di sungai-sungai nan panjang melintang. Riaknya
memanjakan telinga. Ombak kecilknya berdecak di batu-batu kali. Tanaman rambat
tumbuh subur dari puncak tebing hingga ke dasar sungai. Menutup rapat dinding
tebing yang mulai rapuh digerogoti perdu. Indah sekali.
Sesekali kereta api beriringan dengan bus-bus penakluk
jalanan. Tidak lama kemudian kereta api masuk belantara lagi. Berkawan dengan
alam lagi. Rumput ilalang berjajar rapi di sepanjang hutan. Hamparan sawah
membentang dari Gede Bage sampai Kiaracondong. Betapa kayanya negeri ini.
Lagi-lagi kedua mata Shilla dan Natan bertemu. Kali ini
tidak melalui tatapan langsung. Natan menangkap bayangan Shilla yang terefleksi
di kaca jendela. Begitu juga sebaliknya dengan Shilla. Keduanya tersenyum.
Tanpa diduga, Natan bergumam, “Pemandangannya cantik ya, Shill..?”
“Iya, gue udah lama banget nggak naik kereta. Gue kangen
sama suasana kayak gini. Sekarang bener-bener pingin gue lepasin rasa kangen gue.
Mandangin panorama alam yang super keren ini.” Balas Shilla berasumsi curhat.
Natan agak risih dengan gaya bicara Shilla. Natan dan Shilla
sama-sama putra kota metropolitan, tetapi Natan tidak seperti Shilla yang
menggunakan kata ganti Loe Gue. Natan
hanya memaklumi. Tetapi diam-diam Natan mengagumi gadis di hadapannya itu.
“Kapan terakhir kalinya kamu naik kereta, Shill.?”
Pertanyaan Natan memancing curhatan Shilla berikutnya.
“Tiga tahun silam. Pelayanan kereta belum senyaman ini,
Nat.” Balas Shilla tanpa basa-basi. Tidak menyadari dirinya terperangkap oleh pertanyaan
Natan. Keduanya masih saling memandang ke kaca jendela yang merefleksikan
bayangan Shilla dan Natan. Seolah-olah, bayangan mereka yang sedang berbicara.
“Tiga tahun? Lama juga ya.. Hmm, kalau tiga tahun kamu nggak
ketemu aku, kira-kira kamu bakalan kangen nggak ya?” Pertanyaan Natan
selanjutnya sukses membuat raut wajah Shilla berubah.
“Loe, kok, jadi gombal gini sih?” tandas Shilla gugup.
“Aku sayang kamu. Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat. Aku
cuma nggak ingin terlambat.” Jelas Natan frontal, pelan dan tertata.
Ekspresi wajah Shilla sempurna berubah. Entah ekspresi marah
atau bukan, yang jelas ia terkejut dengan penuturan Natan yang sama sekali
tidak ia duga. Dengan hati-hati, Shilla membalasnya sederhana.
“Sorry, Nat. Gue nggak bisa. Gue juga nggak yakin, apakah
setelah ini kita masih bisa ketemu lagi atau nggak.” Ucap Shilla tegas sembari
menundukkan kepalanya.
Natan mengerti. Dia juga tidak menaruh harapan terlalu besar
terhadap gadisnya. Dia hanya berusaha untuk jujur akan perasaannya sendiri.
Karena Natan tahu, menyembunyikan perasaan sayang secara sepihak itu
menyakitkan.
Natan tertunduk mengikuti gerakan Shilla. Seolah-olah
mengerti dan paham bagaimana perasaan Shilla. Kali itu keduanya bungkam dalam
perenungan. Mencoba meredakan suasana yang sama sekali tidak pernah mereka
bayangkan.
Kereta api terus melaju mengikuti lini rel yang selalu
berdampingan tetapi tidak pernah bertemu. Seperti Shilla dan Natan yang
berkemungkinan tidak akan bersatu. Hanya sebatas pada pertemuan singkat dua
hati yang akan diakhiri dengan sebuah perpisahan. Begitulah hukum alam bekerja.
Memasuki Terowongan Sasak Saat suasana semakin tegang.
Membuat bulu kuduk Shilla berdiri tegak.
Natan bisa menilai bahwa Shilla tengah ketakutan. Ingin berusaha
melindungi tetapi tidak berani. Sementara dua teman barunya masih tampak
terpejam pulas. Shilla menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Malu
seandainya ketahuan oleh Natan kalau ia tengah ketakutan. Terlambat. Natan
sudah menduga demikian.
Keluar dari terowongan, Shilla menghela napas lega. Melepas
karbon dioksida yang tertahan di mulut. Membuat pemudanya tersenyum kecil
melihat tingkah dirinya yang menggelikan. Raut Shilla berubah malu. Kemudian
Natan menyebut namanya, “Shill..”
Shilla tak menjawab. Dia hanya mendongakkan kepalanya
menghaadap kea rah pemudanya.
“Coba lihat itu..!” Perintah Natan menunjuk sesuatu :
jurang.
Shilla mencoba mencerna penuturan Natan. Mengapa Natan
menunjuk jurang. Yang terlintas hanyalah padang ilalang. Tidak tahu di bawah
sana ada apa lagi. Shilla semakin pening. Ia kesal tetapi penasaran. Apa sih,
yang sebenarnya ada di pikiran Natan? Shilla menggerutu, ingin bertanya tapi
tak punya nyali. Shilla sadar kalimat penolakannya telah mengecewakan Natan.
Karenanya ia tidak ingin kalimat berikutnya membuat Natan kian rapuh. Tetapi
lama-lama ia gemas dengan Natan. Mengapa Natan masih juga bungkam.
Natan, pemuda yang cerdik. Hanya menunjuk jurang yang ia
sendiri tidak mengerti makna kalimat yang ia lontarkan itu, bisa membuat
gadisnya tak berhenti memikirkan dirinya. Tidak peduli Shilla akan
menghakiminya pemuda yang aneh atau bahkan menyebalkan. Setidaknya namanya
memberikan kesan di mata Shilla. Meskipun bukan kesan baik seperti yang Natan
harapkan.
Natan, pemuda yang tidak mudah jatuh hati pada seorang gadis. Tetapi sekali saja
ia merasakan itu, ia akan sulit untuk berpaling dari perasaannya sendiri. Sosok
yang tidak banyak bicara. Tetapi banyak orang yang respect dan peduli. Terkadang ia rela mengorbankan kepentingannya
demi kepentingan orang lain yang bahkan tidak ada hubungan dengannya. Itulah
Natan. Tidak jarang misterius. Tetapi dikagumi banyak gadis. Dan Shilla,
merupakan gadis yang seharusnya beruntung mendapatkan hati Natan.
“Nat, aku minta maaf, ya..” ucap Shilla membuka pembicaraan.
“Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang udah bikin kamu
kesal dan bingung. Dan nggak seharusnya aku mandangin kamu terus, yang akhirnya
bikin kamu rishi dan salah tingkah.”
“Enggak kok, Nat. Kamu nggak salah. Itu kan manusiawi.”
Natan merasakan ada yang berubah dari Shilla. Dia tidak lagi
menggunakan kata ganti Loe Gue. Natan bingung berkata-kata. Dia hanya mendehem.
“Hmm..”
“Aku mengapresiasi kejujuran kamu, Nat. Tapi maaf, aku belum
bisa ngebalesnya.”
“Kamu udah punya pacar ya?” Tanya Natan kembali antusias.
“Enggak kok..!” balasnya singkat. Seperti enggan menjelaskan
alasan penolakannya pada Natan.
“Terus…?” Natan semakin semangat menanti jawaban Shilla
dengan harap-harap cemas.
Kereta api melintasi perhentian Cikarang. Artinya tidak lama
lagi Shilla akan sampai di tujuan.
“Nat, bentar lagi Bekasi. Aku harus siap-siap turun. Tolong
bangunin Tia sama Zahra dong!” pinta Shilla mengalihkan pembicaraan.
Natan menghela napas kecewa, lalu membangunkan dua gadis
sesuai perintah Shilla.
“Tia, Zahra, udah sampe tuh..” ucap Natan hati-hati
membangunkan teman barunya. Keduanya terkejut. Melupakan Natan. Buru-buru
meraih tas masing-masing.
“Ransel gue dong, tolong. Keburu keretanya jalan nih..” ucap
Tia tergesa.
“Loe jahat amat, Shill, bangunin gue ngepas gini!” Timpal
Zahra kesal.
“Pintu keluar sebelah mana?” Sambung Tia yang separuh
nyawanya belum terkumpul.
“Lewat sana aja, lebih dekat.” Sahut Natan tenang. Seperti
orang asing yang menunjukkan arah. Sementara Zahra dan Tia masih tampak
linglung. Lupa siapa Natan.
Tia menarik tangan Shilla, “Ayuk, Shill..!”
“Kalian duluan aja,” balas Shilla. Shilla menolak ajakan dua
temannya. Urusan Shilla dengan Natan belum kelar.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku, Shill..?” Tanya Natan kali
ini sedikit memaksa di tengah suasana yang kian menegang.
“Maaf, Nat.. Aku nggak bisa bales rasa sayang kamu, orang
asing yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu. Bahkan jika kamu adalah orang
terdekatku pun, aku belum bisa.”
“Give me a reason,
please!”
“Karena aku terikat oleh sebuah perjanjian.” Tandas Shilla
terburu meninggalkan Natan.
“Perjanjian antara siapa, Shill? Kamu sama pacar kamu?”
Tanya Natan lagi sembari mengejar Shilla yang nyaris mendekati pintu keluar.
Seketika Shilla berhenti. Membalikkan tubuhnya menghadap
pemudanya dan bergumam, “Bukan, Nat. Perjanjian itu antara aku… dan tuhanku.”
Jawab Shilla tanpa basa-basi. Berbalik membelakangi Natan dan menghabiskan
langkahnya di atas gerbong kereta yang menggantungkan hubungan Shilla dan
Natan.
Natan berlari mengejar Shilla. Tetapi tidak mungkin kakinya
melangkah menuruni tangga. Natan sempurna kecewa kehilangan gadisnya. Kereta
mulai berjalan pelan. Natan baru menyadari dia membutuhkan sesuatu yang bisa menghubungkan
tali yang putus duluan sebelum bersatu.
“Shilla, Shill.. aku minta nomer kamu. Aku yakin kita pasti
ketemu lagi.” Teriak Natan melawan kereta yang kecepatannya kian bertambah
meninggalkan perhentian. Membuat jaraknya kian jauh dengan Shilla.
“Ashilla Aditya…” Balas Shilla seraya berteriak. Sebuah
isyarat. Tak ada kata lain.
Kereta telah sempurna meninggalkan perhentian. Memisahkan
sebuah pertemuan yang serba berkelebat. Natan kembali ke tempat duduknya dengan
tangan hampa tanpa 1 digit angkapun. Tapi Natan mendapatkan sebuah isyarat.
“Ashilla Aditya..” eja Natan hati-hati. Mengulangi kalimat
terakhir Shilla. Segera Natan meraih ponselnya. Mengetikkan nama Ashilla
Aditya di situs jejaring sosialnya.
Berderet nama yang sama memenuhi searching
engine di akun media sosialnya. Natan mengkrosceknya satu satu. Mencoba
mencari nama gadis yang baru saja meninggalkannya.
Ketemu.
“Ashilla Aditya, aku pastikan kita akan bertemu lagi. Dan aku akan menjadi jawaban perjanjianmu dengan Tuhan. Tiga atau empat tahun lagi.
Natan.”
Klik. Pesan singkat Natan terkirim.
Bekasi, 21 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar