Senin, 05 Januari 2015

Cerpen di Pengujung Tahun 2014

Kereta Gantung

Pukul 6.00 pagi, Stasiun Purwokerto mulai dipadati oleh para calon penumpang. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa.  Musim liburan selalu begini. Budaya mudik naik kereta api masih menjadi favorite. Apalagi pelayanan kereta saat ini sudah jauh lebih baik dan menarik. Tidak lagi dijumpai
suasana gerah atau panas karena kereta sudah dilengkapi AC. Pun tidak perlu menyisipkan powerbank di tas barang bawaan karena charger gratis sudah tersedia. Tak ada lagi teriakan pedagang asongan yang yang menjajakkan dagangannya. Yang ada hanyalah pelayanan restaurant yang hilang muncul menawarkan jasa mengantar makanan. Baik sekali.

Waktu mulai menunjukkan jam berangkat kereta api. Shilla, gadis Jakarta yang melanjutkan pendidikan tingginya di Center Java, khususnya di Kota Satria adalah salah satu penumpang kereta dengan nama Serayu Pagi. Bersama dua sahabatnya, meskipun dari program studi yang berbeda tetapi mereka tetap satu tujuan : pulang kampung saat liburan tiba. Kedengarannya agak aneh memang. Pulang kampong kok ke Jakarta. Hehehe.. Masyarakat Jawa banyak mencoba mengadu nasib ke Jakarta. Sebaliknya, orang Jakarta banyak belajar di tanah Jawa.

Setelah menyusuri gerbong kereta, akhirnya Shilla menemukan tempat duduknya. Lekas ia melepas ransel yang memberatkan pinggangnya, menaruhnya di bagasi yang sudah disediakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua sahabatnya. Setelah semuanya beres, Shilla melempar tubuhnya ke jok empuk kereta. Memnyandarkan tubuhnya ke dekat jendela, mengambil Walkman di tas kecilnya dan menekan tombol play. Leaving on a Jet Plane mengalun merdu membisingi telinganya. Hatinya berteriak girang, “Ayah, Ibu, adik-adik, sebentar lagi Shilla pulang…”
Tampak seorang pemuda berkacamata miopi berjalan pelan kea rah Shilla. Dengan sebuah big bag di tangan kanan dan selembar tiket kereta di tangan kirinya. Tepat di muka tempat duduk Shilla, pemuda itu berhenti. Memastikan nomor tempat duduknya yang tertera di tiket kereta cocok dengan realitanya. Dan faktanya memang demikian. Akhirnya pemuda pemilik nama Jonatan itu duduk. Tepat di hadapan Shilla. Shilla hanya tersenyum tipis seakan menyampaikan kata silahkan duduk.
Pemuda itu mengulurkan tangannya mengajak berkenalan, “Jonatan, panggil aja Natan.”
“Shilla..” Balas Shilla.
“Zahra..” Sambut gadis di sebelah Shilla.
“Tia..” Sahut yang lain.
Perhelatan antara telapak tangan merekapun usai. Mereka mulai asyik dengan kesibukan masing-masing. Shilla dengan walkmannya. Tia dan Zahra dengan rumpinya. Dan hanya  Natan yang diam tanpa kata. Memandang jauh menembus kaca jendela kereta.

Entah apa yang membuat Natan tiba-tiba memutar kepalanya sembilan puluh derajat. Memandang tepat gadis di hadapannya. Natan menjadi salah tingkah saat tertangkap basah oleh Shilla. Seketika mata Natan berkedip tersadar. Membetulkan kaca matanya yang sama sekali tidak melorot. Mengharuk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Celingukan ke sana-ke mari tak beralasan. Shilla menjadi rishi dengan sikap Natan. Ingin membuka pembicaraan tetapi tidak tahu bagaimana kalimat pertamanya.
“Nat..?” Sapa Shilla.
“Iya, Shill..” Sahut Natan. Mata mereka bertemu. Keduanya saling mengartikan tatapan masing-masing.
Tia dan Zahra saling berpandangan dalam satu pemikiran : tatapan dua sejoli yang sedang di mabuk cinta.
Tia dan Zahra kemudian tersenyum. Senyum mereka berubah menjadi tertawa kecil. Semakin lama semakin keras. Menyadarkan dua sejoli yang sudah beberapa detik tak mengedipkan mata.
“Loe, kenapa,Nat?” Pertanyaan Shilla yang sejak tadi tertahan di mulutnya akhirnya keluar juga. Berusaha bersikap biasa saja agar dua sahabatnya tidak curiga dan berpikiran macam-macam. Kemudian dengan gugup Natan membalas pertanyaan Shilla yang keluar sekenanya.
“Aku, nggak papa kok..! Kamu turun di mana, Shill?” Tanya Natan balik. Masih dalam nada gugup.
“Bekasi. Kamu?” Balas Shilla ketus.
“Kota.” Timpal Natan pasif.
Tia dan Zahra sontak saja meledek dua sejoli itu.
“Ehm, ciee.. Baru juga kenal, Shill..” cibir Tia.
“Kalian jangan mulai deh..” jawab Shilla sedikit kesal.
“Nat, Shilla orangnya baik lhoh, sering traktir kita-kita. Iya kan, Ti?” Goda Zahra sembari menyenggol bahu Tia. Natan tersipu, tersenyum sembari menggelengkan kepalanya seakan bergumam, “Ada-ada saja gadis-gadis ini...”

Tidak memerlukan waktu lama, mereka berempat cepat sekali akrab. Natan, satu-satunya pemuda yang baru bergabung di tengah persahabatan yang begitu hangat itu merasa bersyukur, ia dikelilingi oleh gadis-gadis yang ramai dan mengasyikkan. Baru beberapa menit berkenalan, mereka tampak sudah saling mengenal seperti teman yang lama berpisah dipertemukan kembali. Tia mengeluarkan snak dari dalam tas besarnya. Zahra mnegocok segepok kartu domino dan membagikan rata untuk empat orang. Terjadilah permainan yang seru, yang membuat mereka lupa diri.

Lebih dari satu jam mereka masih bertahan dengan dominonya. Siapa yang paling banyak menang atau siapa yang paling banyak kalah, mereka tidak peduli.  Teriakan girang, cibiran sinting, atau cubitan karena kalah main berhasil membuat tetangga tempat duduk menjadi rishi dan sebal. Mereka tetap tidak peduli. Rasanya dunia hanya milik mereka berempat.

Tanpa disadari, satu per satu dari merekapun tumbang. Mekanisme tubuh yang lelah memaksa untuk istirahat. Shilla dan Natan kompak menutup mata dengan bahu menyandar ke tepi jendela. Zahra terpejam dengan kepala yang menunduk dan kedua tangan yang merangkul lututnya yang tergulai lemas di atas jok kereta. Sedangkan Tia, tertidur bersandar pada bangku kereta yang ia rasai empuk. Terpejamnya mereka seakan mengingatkan sasmita alam betapa rapuhnya manusia, dan betapa kuatnya Tuhan yang tidak pernah tidur.

Asap kereta mengepul membentuk beberapa gumpalan hitam pekat mengontaminasi udara bersih. Lokomotif yang membelok tajam berhasil membangunkan lelapnya Shilla. Ia trekejut dengan pemandangan yang sukses membuatnya absurd. Ia bingung ia harus merasa sedih, bahagia, marah, atau biasa saja. Perasaannya sulit ditebak saat pemuda di hadapannya menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya, Tia.

Shilla masih terfokus memandangi garis wajah pemudanya. Tiba-tiba Natan membuka matanya, memergoki gadisnya lamat-lamat memperhatikan Natan. Sebuah tatapan cemburu. Kalimat yang berhasil Natan simpulkan secara sepihak. Seketika Shilla membuang wajahnya ke luar jendela. Kali ini Shilla yang salah tingkah. Natan diam saja. Bingung apa yang harus dikatakannya.

Shilla kembali menyandarkan tubuhnya ke dekat jendela. Meneguk segelas soft drink untuk membasahi tenggorokannya yang mulai dehidrasi. Dan lagi-lagi, pandangannya mengabur ke luar menikmati pesona alam.  Memandang indah lokomotif yang meliuk beraturan saat di belokan. Terus melaju mengikuti lintasan kereta api yang selalu berdampingan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Natan.

Sesekali kedua mata mereka bertemu. Tidak bertahan lama, beberapa detik kemudian melengos. Memutar kepala untuk kembali memandangi alam ke luar jendela adalah salah satu trik terbaik untuk berpura-pura biasa saja. Ah, dasar dua sejoli yang sok jaim. Katakana saja cinta. Gitu aja kok repot.

Panorama yang luar biasa. Melukiskan kemahaindahan Sang Pencipta. Air mengalir di sungai-sungai nan panjang melintang. Riaknya memanjakan telinga. Ombak kecilknya berdecak di batu-batu kali. Tanaman rambat tumbuh subur dari puncak tebing hingga ke dasar sungai. Menutup rapat dinding tebing yang mulai rapuh digerogoti perdu. Indah sekali.

Sesekali kereta api beriringan dengan bus-bus penakluk jalanan. Tidak lama kemudian kereta api masuk belantara lagi. Berkawan dengan alam lagi. Rumput ilalang berjajar rapi di sepanjang hutan. Hamparan sawah membentang dari Gede Bage sampai Kiaracondong. Betapa kayanya negeri ini.

Lagi-lagi kedua mata Shilla dan Natan bertemu. Kali ini tidak melalui tatapan langsung. Natan menangkap bayangan Shilla yang terefleksi di kaca jendela. Begitu juga sebaliknya dengan Shilla. Keduanya tersenyum. Tanpa diduga, Natan bergumam, “Pemandangannya cantik ya, Shill..?”
“Iya, gue udah lama banget nggak naik kereta. Gue kangen sama suasana kayak gini. Sekarang bener-bener pingin gue lepasin rasa kangen gue. Mandangin panorama alam yang super keren ini.” Balas Shilla berasumsi curhat.

Natan agak risih dengan gaya bicara Shilla. Natan dan Shilla sama-sama putra kota metropolitan, tetapi Natan tidak seperti Shilla yang menggunakan kata ganti Loe Gue. Natan hanya memaklumi. Tetapi diam-diam Natan mengagumi gadis di hadapannya itu.

“Kapan terakhir kalinya kamu naik kereta, Shill.?” Pertanyaan Natan memancing curhatan Shilla berikutnya.
“Tiga tahun silam. Pelayanan kereta belum senyaman ini, Nat.” Balas Shilla tanpa basa-basi. Tidak menyadari dirinya terperangkap oleh pertanyaan Natan. Keduanya masih saling memandang ke kaca jendela yang merefleksikan bayangan Shilla dan Natan. Seolah-olah, bayangan mereka yang sedang berbicara.
“Tiga tahun? Lama juga ya.. Hmm, kalau tiga tahun kamu nggak ketemu aku, kira-kira kamu bakalan kangen nggak ya?” Pertanyaan Natan selanjutnya sukses membuat raut wajah Shilla berubah.
“Loe, kok, jadi gombal gini sih?” tandas Shilla gugup.
“Aku sayang kamu. Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat. Aku cuma nggak ingin terlambat.” Jelas Natan frontal, pelan dan tertata.
Ekspresi wajah Shilla sempurna berubah. Entah ekspresi marah atau bukan, yang jelas ia terkejut dengan penuturan Natan yang sama sekali tidak ia duga. Dengan hati-hati, Shilla membalasnya sederhana.
“Sorry, Nat. Gue nggak bisa. Gue juga nggak yakin, apakah setelah ini kita masih bisa ketemu lagi atau nggak.” Ucap Shilla tegas sembari menundukkan kepalanya.

Natan mengerti. Dia juga tidak menaruh harapan terlalu besar terhadap gadisnya. Dia hanya berusaha untuk jujur akan perasaannya sendiri. Karena Natan tahu, menyembunyikan perasaan sayang secara sepihak itu menyakitkan.

Natan tertunduk mengikuti gerakan Shilla. Seolah-olah mengerti dan paham bagaimana perasaan Shilla. Kali itu keduanya bungkam dalam perenungan. Mencoba meredakan suasana yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan.

Kereta api terus melaju mengikuti lini rel yang selalu berdampingan tetapi tidak pernah bertemu. Seperti Shilla dan Natan yang berkemungkinan tidak akan bersatu. Hanya sebatas pada pertemuan singkat dua hati yang akan diakhiri dengan sebuah perpisahan. Begitulah hukum alam bekerja.

Memasuki Terowongan Sasak Saat suasana semakin tegang. Membuat bulu kuduk Shilla berdiri tegak.  Natan bisa menilai bahwa Shilla tengah ketakutan. Ingin berusaha melindungi tetapi tidak berani. Sementara dua teman barunya masih tampak terpejam pulas. Shilla menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Malu seandainya ketahuan oleh Natan kalau ia tengah ketakutan. Terlambat. Natan sudah menduga demikian.

Keluar dari terowongan, Shilla menghela napas lega. Melepas karbon dioksida yang tertahan di mulut. Membuat pemudanya tersenyum kecil melihat tingkah dirinya yang menggelikan. Raut Shilla berubah malu. Kemudian Natan menyebut namanya, “Shill..”
Shilla tak menjawab. Dia hanya mendongakkan kepalanya menghaadap kea rah pemudanya.
“Coba lihat itu..!” Perintah Natan menunjuk sesuatu : jurang.
Shilla mencoba mencerna penuturan Natan. Mengapa Natan menunjuk jurang. Yang terlintas hanyalah padang ilalang. Tidak tahu di bawah sana ada apa lagi. Shilla semakin pening. Ia kesal tetapi penasaran. Apa sih, yang sebenarnya ada di pikiran Natan? Shilla menggerutu, ingin bertanya tapi tak punya nyali. Shilla sadar kalimat penolakannya telah mengecewakan Natan. Karenanya ia tidak ingin kalimat berikutnya membuat Natan kian rapuh. Tetapi lama-lama ia gemas dengan Natan. Mengapa Natan masih juga bungkam.

Natan, pemuda yang cerdik. Hanya menunjuk jurang yang ia sendiri tidak mengerti makna kalimat yang ia lontarkan itu, bisa membuat gadisnya tak berhenti memikirkan dirinya. Tidak peduli Shilla akan menghakiminya pemuda yang aneh atau bahkan menyebalkan. Setidaknya namanya memberikan kesan di mata Shilla. Meskipun bukan kesan baik seperti yang Natan harapkan.

Natan, pemuda yang tidak mudah jatuh  hati pada seorang gadis. Tetapi sekali saja ia merasakan itu, ia akan sulit untuk berpaling dari perasaannya sendiri. Sosok yang tidak banyak bicara. Tetapi banyak orang yang respect dan peduli. Terkadang ia rela mengorbankan kepentingannya demi kepentingan orang lain yang bahkan tidak ada hubungan dengannya. Itulah Natan. Tidak jarang misterius. Tetapi dikagumi banyak gadis. Dan Shilla, merupakan gadis yang seharusnya beruntung mendapatkan hati Natan.
“Nat, aku minta maaf, ya..” ucap Shilla membuka pembicaraan.
“Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang udah bikin kamu kesal dan bingung. Dan nggak seharusnya aku mandangin kamu terus, yang akhirnya bikin kamu rishi dan salah tingkah.”
“Enggak kok, Nat. Kamu nggak salah. Itu kan manusiawi.”
Natan merasakan ada yang berubah dari Shilla. Dia tidak lagi menggunakan kata ganti Loe Gue. Natan bingung berkata-kata. Dia hanya mendehem.
“Hmm..”
“Aku mengapresiasi kejujuran kamu, Nat. Tapi maaf, aku belum bisa ngebalesnya.”
“Kamu udah punya pacar ya?” Tanya Natan kembali antusias.
“Enggak kok..!” balasnya singkat. Seperti enggan menjelaskan alasan penolakannya pada Natan.
“Terus…?” Natan semakin semangat menanti jawaban Shilla dengan harap-harap cemas.
Kereta api melintasi perhentian Cikarang. Artinya tidak lama lagi Shilla akan sampai di tujuan.
“Nat, bentar lagi Bekasi. Aku harus siap-siap turun. Tolong bangunin Tia sama Zahra dong!” pinta Shilla mengalihkan pembicaraan.
Natan menghela napas kecewa, lalu membangunkan dua gadis sesuai perintah Shilla.
“Tia, Zahra, udah sampe tuh..” ucap Natan hati-hati membangunkan teman barunya. Keduanya terkejut. Melupakan Natan. Buru-buru meraih tas masing-masing.
“Ransel gue dong, tolong. Keburu keretanya jalan nih..” ucap Tia tergesa.
“Loe jahat amat, Shill, bangunin gue ngepas gini!” Timpal Zahra kesal.
“Pintu keluar sebelah mana?” Sambung Tia yang separuh nyawanya belum terkumpul.
“Lewat sana aja, lebih dekat.” Sahut Natan tenang. Seperti orang asing yang menunjukkan arah. Sementara Zahra dan Tia masih tampak linglung. Lupa siapa Natan.
Tia menarik tangan Shilla, “Ayuk, Shill..!”
“Kalian duluan aja,” balas Shilla. Shilla menolak ajakan dua temannya. Urusan Shilla dengan Natan belum kelar.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku, Shill..?” Tanya Natan kali ini sedikit memaksa di tengah suasana yang kian menegang.
“Maaf, Nat.. Aku nggak bisa bales rasa sayang kamu, orang asing yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu. Bahkan jika kamu adalah orang terdekatku pun, aku belum bisa.”
Give me a reason, please!”
“Karena aku terikat oleh sebuah perjanjian.” Tandas Shilla terburu meninggalkan Natan.
“Perjanjian antara siapa, Shill? Kamu sama pacar kamu?” Tanya Natan lagi sembari mengejar Shilla yang nyaris mendekati pintu keluar.

Seketika Shilla berhenti. Membalikkan tubuhnya menghadap pemudanya dan bergumam, “Bukan, Nat. Perjanjian itu antara aku… dan tuhanku.” Jawab Shilla tanpa basa-basi. Berbalik membelakangi Natan dan menghabiskan langkahnya di atas gerbong kereta yang menggantungkan hubungan Shilla dan Natan.
Natan berlari mengejar Shilla. Tetapi tidak mungkin kakinya melangkah menuruni tangga. Natan sempurna kecewa kehilangan gadisnya. Kereta mulai berjalan pelan. Natan baru menyadari dia membutuhkan sesuatu yang bisa menghubungkan tali yang putus duluan sebelum bersatu.

“Shilla, Shill.. aku minta nomer kamu. Aku yakin kita pasti ketemu lagi.” Teriak Natan melawan kereta yang kecepatannya kian bertambah meninggalkan perhentian. Membuat jaraknya kian jauh dengan Shilla.
“Ashilla Aditya…” Balas Shilla seraya berteriak. Sebuah isyarat. Tak ada kata lain.
Kereta telah sempurna meninggalkan perhentian. Memisahkan sebuah pertemuan yang serba berkelebat. Natan kembali ke tempat duduknya dengan tangan hampa tanpa 1 digit angkapun. Tapi Natan mendapatkan sebuah isyarat.
“Ashilla Aditya..” eja Natan hati-hati. Mengulangi kalimat terakhir Shilla. Segera Natan meraih ponselnya. Mengetikkan nama Ashilla Aditya  di situs jejaring sosialnya. Berderet nama yang sama memenuhi searching engine di akun media sosialnya. Natan mengkrosceknya satu satu. Mencoba mencari nama gadis yang baru saja meninggalkannya.
Ketemu.
“Ashilla Aditya, aku pastikan kita akan bertemu lagi. Dan aku akan menjadi jawaban perjanjianmu dengan Tuhan. Tiga atau empat tahun lagi.

Natan.”
Klik. Pesan singkat Natan terkirim.


Bekasi, 21 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar