Jumat, 24 Juli 2015

Sahabat Bukan Manja dan Dimanja

Pernahkah kau bimbang, menemukan arti sahabat? Kalau iya, berarti kau sama denganku. 
Pernahkah kau bertanya, siapa yang menjadi sahabatmu selama kau hidup? Kalau iya, berarti kau sama denganku. 
Pernahkah kau bertanya, mengapa aku tak punya sahabat? Kalau iya, berarti kau sama denganku. Tetapi aku lekas menukar pertanyaan itu dengan pertanyaan yang lain :: mengapa aku tak pernah menyadari keberadaan sahabatku? Padahal ia begitu dekat.
Coretan pena sederhana ini adalah pembelajaran untukku pribadi. Berkisah tentang realita yang dialami langsung olehku (penulis). Yang membuahkan sebuah petikkan hikmah luar biasa bagi penulis. Coretan ini
juga tidak bermaksud pamer, bukankah kisah hidup seseorang tidak juga harus ditutup-tutupi? Ada banyak hikmah yang bisa diambil bagi orang-orang yang mau berpikir. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Begini ceritanya..
Aku, sebut saja Int. Pernah beberapa kali mengeluh karena merasa tak berteman. Aku punya banyak kenalan, banyak juga yang mengenalku. Tetapi hanya sebatas mengenal. Tidak benar-benar saling memahami. Kemudian pertanyaan sederhana menodongku, menuntut jawaban yang ternyata perlu waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.
Waktu bergulir. Aku pernah merasa bosan dengan kesendirian. Bagaimana pun juga, aku hanya manusia biasa yang disebut sebagai makhluk sosial karena tidak bisa hidup sendiri. Aku membutuhkan keberadaan orang lain.
Kesendirianku perlahan melebur saat aku terjun dan tenggelam dalam sebuah organisasi intra di sekolah. Kesibukkan ini dan itu membuatku lengah dan merasa ada banyak hal positif yang bisa aku kerjakan ketimbang membiarkan diri galau tak berujung. Tetapi pada akhirnya, setelah semuanya selesai, jabatan telah purna, segalanya kembali seperti sediakala. Sendiri lagi.
Aku tidak pernah berpikir ingin memiliki teman hati dalam artian pacar. Aha, tidak bisa aku hakimi seperti demikian. Apakah kalimat tadi itu jujur atau bohong, aku sendiri ragu. Yang pasti, ada Tuhan yang selalu mengawasiku. Dan bagiku, dikaruniai rasa suka terhadap lawan jenis sudah cukup membuktikan bahwa aku normal seperti manusia lainnya. Bisa merasakan perasaan yang hangat ini saja sudah cukup. Lagi pula, apakah seseorang boleh memiliki seseorang yang lainnya? Dalam ikatan perkawinan sekalipun? Lebih baik pertanyaan itu kusimpan untuk masa depan.
Sahabat. Satu kata banyak makna. Karena arti sahabat menurut seseorang belum tentu sama menurut pengertian seseorang yang lain.
Aku pernah berkeinginan memiliki sahabat di esema. Tetapi Tuhanku tak kunjung mengirimkan delegasinya untuk menjadi sahabatku. Nyaris habis masa esema, sahabat yang aku impikan tak lekas aku dapatkan. Kemudian aku mengevaluasi diri. Kenapa bisa begitu? Adakah yang salah dengan permintaan yang sederhana itu?
Setelah melalui perenungan yang panjang, akhirnya aku menemukan kalimat yang tepat : Aku bukan hanya menginginkan sahabat melainkan membutuhkan sahabat. Dan segala puji bagi Allah, akhirnya sahabat yang aku butuhkan kini telah aku dapatkan. Kadangkala Tuhan memang tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi selalu mencukupkan apa yang kita butuhkan. Dan aku sudah membuktikannya.
Saat ini sudah lain ceritanya. Aku menyadari bahwa aku masih cukup awam mengartikan kata sahabat. Setelah aku mendapatkannya, aku bingung bagaimana menjaganya, bahkan bagaimana aku harus bersikap di hadapan sahabatku, aku sendiri belum begitu paham. Apakah akan lompat-lompat girang seperti zaman kecilku bermain bersama teman-teman? Atau hanya tersenyum, cukup bersyukur dengan kehadirannya?
Aku terlahir di bumi ini cukup nyentrik. Sejak SD sampai SMA tidak suka berdiam diri. Selalu mencari-cari pekerjaan. Banyak orang mengataiku proaktif, tak tahu lelah. Hobi tersenyum. Penggila merayu. Tetapi tidak suka sama sekali untuk menggoda. Aku tidak bisa menciptakan tawa, mungkin karena terlalu serius dengan pekerjaanku. Pekerjaan apa saja. Kecuali memasak. Hehehe.. sebagai imbasnya, setiap kali aku mencoba memasak, apapun itu, rasanya selalu gado-gado alias campur aduk. Kurang ini dan itu. Selalu begitu. Tidak tahu sepuluh tahun lagi apakah hasil masakanku masih gado-gado atau barang kali aku sudah menjadi chef go internasional. Hehehe..
Aku tidak hobi meracik masakan, tetapi hobi meracik kehidupan. Kehidupanku aku bumbui dengan senyum semangat. Saat di dekatku ada kehadiran sahabat, rasanya semakin lengkap saja.
Dengan tidak mengurangi rasa hormatku kepada Tuhan, sahabat bagiku adalah orang terdekat kedua setelah keluarga. Dan Allah tiada duanya, selamanya Dia tetap yang terdekat, lebih dekat dengan urat leherku. Dan Dia pula yang mendekatkanku pada sahabat-sahabatku.
Sahabat. Sahabat adalah seseorang yang mau diajak berbagi kisah. Suka duka canda riang dan tawa. Menemani di saat senang. Membantu di saat sulit. Menopang saat terjatuh. Membangunkan agar lekas bangkit. Menegur ketika salah. Memperingatkan bagaimana yang baik. Betapa bahagianya jika semua itu ada pada sahabat kita. Dan semua itu hanya Allah yang memilikinya. Tetapi ada manusia sebagai wakil Allah di bumi ini. dan betapa indahnya persahabatan antar manusia yang didasari atas laa ilahaillallah itu. Persahabatan yang membuat kita kian dekat dengan Allah. Persahabatan yang saling mengingatkan dalam kebajikan.
Aku berpikir bahwa usia delapan belas bukan lagi disebut masa kanak-kanak. Tetapi terkadang sikapku masih seperti anak kecil. Yah, betapapun usia bukan satu-satunya penentu kedewasaan. Setiap orang pasti akan mengalami tua, tetapi tidak semua orang bisa bersikap dewasa.
Pernah aku tergoda dengan kehadiran sahabat. Setelah sahabat sudah didapatkan, rasanya ingin selalu bersama-sama. Ke mana saja, kapan saja. Menurutku ini adalah tabiat anak kecil, bahkan lebih parah lagi anak kecil yang pemalu hebat. Tidak bisa bergerak jika tidak ada yang menemani. Persis zaman kecilku dulu. Bahkan sampai aku disebut remaja, tabiat itu tidak serta hilang. Karakter kekanakan sesekali muncul, tetapi sama sekali tidak setiap hari.
Terhadap sahabat yang baru didapatkan, kejadian seperti itu sering sekali terjadi. Merajuk ketika permintaannya tidak dipenuhi. Dongkol ketika gurauannya tidak direspon dengan baik. Kecewa ketika sahabatnya memberikan harapan palsu dengan janji-janji tak bermutu. Bilangnya “aku akan datang ke pestamu”, kenyataannya tidak hadir.
Sebab-sebab itu yang berbahaya karena dapat mengganggu persahabatan. Yang satu merasa benar, yang satunya lagi merasa apa yang dilakukan sahabatnya sama sekali tidak dewasa.
Kalau dipikir-pikir, benar juga si yang satu lagi. Memangnya dia itu siapa harus memenuhi permintaan sahabat yang baru dikenalnya kemarin? Memenuhi permintaan ibu yang berjasa luar biasa atas kehidupannya jauh lebih penting ketimbang memuaskan hati sahabat yang manja.
Ya, sahabat bukan manja dan dimanja. Sahabat memang identik “selalu ada dalam suka dan duka.” Tetapi pernyataan itupun jangan sampai ditelan mentah-mentah. Selalu ada bukan berarti setiap detik waktu ada untuk sahabat yang lain. Kalau benar terjadi seperti itu, artinya persahabatan itu sama sekali tidak menghargai Tuhan yang menciptakan kehidupan. Persahabatan yang seperti itu akan selalu menghadirkan perasaan dan pemikiran bahwa dunia itu miliknya. Kalau sudah seperti itu jatuhnya menjadi kufur nikmat.
Aku bersyukur, sahabatku acap kali mengingatkanku untuk pandai menyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Aku terhadapnya pun demikian. Saling mengingatkan dalam kebajikan. Meluruskan jalan kalau langkahku mulai melenceng. Saling memaafkan ketika kekhilafan menguasai.

Sahabat yang baik adalah sahabat yang ketika kita berada di dekatnya, membuat kita senantiasa ingat akan keagungan Tuhan.

3 komentar:

  1. Mba Intan kalau nulis pake perasaan yah, mba? Mengalir gitu aja tapi ngena di hati, dan memang kaya kisah perasaan yang sering orang alami :))))))) /ehm/
    *hening*

    BalasHapus
  2. Menulis (insyaAllah) adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.. :)

    BalasHapus
  3. Iyaa, setuju banget sama MbaIntan :))) kadang emang tulisan lebih menyuarakan apa yang ingin kita bicarakan ^^
    *duuh kok malah curcol*

    BalasHapus