Pernahkah kau bimbang, menemukan
arti sahabat? Kalau iya, berarti kau sama denganku.
Pernahkah kau bertanya, siapa
yang menjadi sahabatmu selama kau hidup? Kalau iya, berarti kau sama
denganku.
Pernahkah kau bertanya, mengapa
aku tak punya sahabat? Kalau iya, berarti kau sama denganku. Tetapi aku lekas
menukar pertanyaan itu dengan pertanyaan yang lain :: mengapa aku tak pernah
menyadari keberadaan sahabatku? Padahal ia begitu dekat.
Coretan pena sederhana ini adalah
pembelajaran untukku pribadi. Berkisah tentang realita yang dialami langsung olehku
(penulis). Yang membuahkan sebuah petikkan hikmah luar biasa bagi penulis. Coretan
ini
juga tidak bermaksud pamer, bukankah kisah hidup seseorang tidak juga harus
ditutup-tutupi? Ada banyak hikmah yang bisa diambil bagi orang-orang yang mau
berpikir. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Begini ceritanya..
Aku, sebut saja Int. Pernah
beberapa kali mengeluh karena merasa tak berteman. Aku punya banyak kenalan,
banyak juga yang mengenalku. Tetapi hanya sebatas mengenal. Tidak benar-benar
saling memahami. Kemudian pertanyaan sederhana menodongku, menuntut jawaban
yang ternyata perlu waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.
Waktu bergulir. Aku pernah merasa
bosan dengan kesendirian. Bagaimana pun juga, aku hanya manusia biasa yang disebut
sebagai makhluk sosial karena tidak bisa hidup sendiri. Aku membutuhkan
keberadaan orang lain.
Kesendirianku perlahan melebur
saat aku terjun dan tenggelam dalam sebuah organisasi intra di sekolah. Kesibukkan
ini dan itu membuatku lengah dan merasa ada banyak hal positif yang bisa aku
kerjakan ketimbang membiarkan diri galau tak berujung. Tetapi pada akhirnya,
setelah semuanya selesai, jabatan telah purna, segalanya kembali seperti
sediakala. Sendiri lagi.
Aku tidak pernah berpikir ingin
memiliki teman hati dalam artian pacar. Aha, tidak bisa aku hakimi seperti
demikian. Apakah kalimat tadi itu jujur atau bohong, aku sendiri ragu. Yang
pasti, ada Tuhan yang selalu mengawasiku. Dan bagiku, dikaruniai rasa suka
terhadap lawan jenis sudah cukup membuktikan bahwa aku normal seperti manusia
lainnya. Bisa merasakan perasaan yang hangat ini saja sudah cukup. Lagi pula,
apakah seseorang boleh memiliki seseorang yang lainnya? Dalam ikatan perkawinan
sekalipun? Lebih baik pertanyaan itu kusimpan untuk masa depan.
Sahabat. Satu kata banyak makna.
Karena arti sahabat menurut seseorang belum tentu sama menurut pengertian
seseorang yang lain.
Aku pernah berkeinginan memiliki
sahabat di esema. Tetapi Tuhanku tak kunjung mengirimkan delegasinya untuk
menjadi sahabatku. Nyaris habis masa esema, sahabat yang aku impikan tak lekas
aku dapatkan. Kemudian aku mengevaluasi diri. Kenapa bisa begitu? Adakah yang
salah dengan permintaan yang sederhana itu?
Setelah melalui perenungan yang
panjang, akhirnya aku menemukan kalimat yang tepat : Aku bukan hanya
menginginkan sahabat melainkan membutuhkan sahabat. Dan segala puji bagi Allah,
akhirnya sahabat yang aku butuhkan kini telah aku dapatkan. Kadangkala Tuhan
memang tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi selalu mencukupkan apa
yang kita butuhkan. Dan aku sudah membuktikannya.
Saat ini sudah lain ceritanya.
Aku menyadari bahwa aku masih cukup awam mengartikan kata sahabat. Setelah aku
mendapatkannya, aku bingung bagaimana menjaganya, bahkan bagaimana aku harus
bersikap di hadapan sahabatku, aku sendiri belum begitu paham. Apakah akan
lompat-lompat girang seperti zaman kecilku bermain bersama teman-teman? Atau
hanya tersenyum, cukup bersyukur dengan kehadirannya?
Aku terlahir di bumi ini cukup
nyentrik. Sejak SD sampai SMA tidak suka berdiam diri. Selalu mencari-cari
pekerjaan. Banyak orang mengataiku proaktif, tak tahu lelah. Hobi tersenyum.
Penggila merayu. Tetapi tidak suka sama sekali untuk menggoda. Aku tidak bisa
menciptakan tawa, mungkin karena terlalu serius dengan pekerjaanku. Pekerjaan
apa saja. Kecuali memasak. Hehehe.. sebagai imbasnya, setiap kali aku mencoba
memasak, apapun itu, rasanya selalu gado-gado alias campur aduk. Kurang ini dan
itu. Selalu begitu. Tidak tahu sepuluh tahun lagi apakah hasil masakanku masih
gado-gado atau barang kali aku sudah menjadi chef go internasional. Hehehe..
Aku tidak hobi meracik masakan,
tetapi hobi meracik kehidupan. Kehidupanku aku bumbui dengan senyum semangat.
Saat di dekatku ada kehadiran sahabat, rasanya semakin lengkap saja.
Dengan tidak mengurangi rasa
hormatku kepada Tuhan, sahabat bagiku adalah orang terdekat kedua setelah
keluarga. Dan Allah tiada duanya, selamanya Dia tetap yang terdekat, lebih
dekat dengan urat leherku. Dan Dia pula yang mendekatkanku pada
sahabat-sahabatku.
Sahabat. Sahabat adalah seseorang
yang mau diajak berbagi kisah. Suka duka canda riang dan tawa. Menemani di saat
senang. Membantu di saat sulit. Menopang saat terjatuh. Membangunkan agar lekas
bangkit. Menegur ketika salah. Memperingatkan bagaimana yang baik. Betapa
bahagianya jika semua itu ada pada sahabat kita. Dan semua itu hanya Allah yang
memilikinya. Tetapi ada manusia sebagai wakil Allah di bumi ini. dan betapa
indahnya persahabatan antar manusia yang didasari atas laa ilahaillallah itu.
Persahabatan yang membuat kita kian dekat dengan Allah. Persahabatan yang
saling mengingatkan dalam kebajikan.
Aku berpikir bahwa usia delapan
belas bukan lagi disebut masa kanak-kanak. Tetapi terkadang sikapku masih
seperti anak kecil. Yah, betapapun usia bukan satu-satunya penentu kedewasaan.
Setiap orang pasti akan mengalami tua, tetapi tidak semua orang bisa bersikap
dewasa.
Pernah aku tergoda dengan
kehadiran sahabat. Setelah sahabat sudah didapatkan, rasanya ingin selalu
bersama-sama. Ke mana saja, kapan saja. Menurutku ini adalah tabiat anak kecil,
bahkan lebih parah lagi anak kecil yang pemalu hebat. Tidak bisa bergerak jika
tidak ada yang menemani. Persis zaman kecilku dulu. Bahkan sampai aku disebut remaja,
tabiat itu tidak serta hilang. Karakter kekanakan sesekali muncul, tetapi sama
sekali tidak setiap hari.
Terhadap sahabat yang baru
didapatkan, kejadian seperti itu sering sekali terjadi. Merajuk ketika
permintaannya tidak dipenuhi. Dongkol ketika gurauannya tidak direspon dengan
baik. Kecewa ketika sahabatnya memberikan harapan palsu dengan janji-janji tak
bermutu. Bilangnya “aku akan datang ke pestamu”, kenyataannya tidak hadir.
Sebab-sebab itu yang berbahaya
karena dapat mengganggu persahabatan. Yang satu merasa benar, yang satunya lagi
merasa apa yang dilakukan sahabatnya sama sekali tidak dewasa.
Kalau dipikir-pikir, benar juga
si yang satu lagi. Memangnya dia itu siapa harus memenuhi permintaan sahabat
yang baru dikenalnya kemarin? Memenuhi permintaan ibu yang berjasa luar biasa
atas kehidupannya jauh lebih penting ketimbang memuaskan hati sahabat yang
manja.
Ya, sahabat bukan manja dan
dimanja. Sahabat memang identik “selalu ada dalam suka dan duka.” Tetapi
pernyataan itupun jangan sampai ditelan mentah-mentah. Selalu ada bukan berarti
setiap detik waktu ada untuk sahabat yang lain. Kalau benar terjadi seperti
itu, artinya persahabatan itu sama sekali tidak menghargai Tuhan yang
menciptakan kehidupan. Persahabatan yang seperti itu akan selalu menghadirkan
perasaan dan pemikiran bahwa dunia itu miliknya. Kalau sudah seperti itu
jatuhnya menjadi kufur nikmat.
Aku bersyukur, sahabatku acap
kali mengingatkanku untuk pandai menyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Aku
terhadapnya pun demikian. Saling mengingatkan dalam kebajikan. Meluruskan jalan
kalau langkahku mulai melenceng. Saling memaafkan ketika kekhilafan menguasai.
Sahabat yang baik adalah sahabat
yang ketika kita berada di dekatnya, membuat kita senantiasa ingat akan
keagungan Tuhan.
Mba Intan kalau nulis pake perasaan yah, mba? Mengalir gitu aja tapi ngena di hati, dan memang kaya kisah perasaan yang sering orang alami :))))))) /ehm/
BalasHapus*hening*
Menulis (insyaAllah) adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.. :)
BalasHapusIyaa, setuju banget sama MbaIntan :))) kadang emang tulisan lebih menyuarakan apa yang ingin kita bicarakan ^^
BalasHapus*duuh kok malah curcol*