Selasa, 15 Mei 2018

Untuk 683.9 Kilometer Kita (1)


Rifiwanti, Intan kembali nge-blog? Ha-ha-ha
Ramadan tahun lalu, aku bertemu seorang kenalan lama. Dia bilang, dia menunggu catatanku di beranda facebook-nya. Rupanya dia tidak tahu kalau aku berhenti main fb karena berbagai keadaan. Sejalan, aku juga berhenti menulis kreatif. Ya, aku vakum dari aktivitas menulis. Terhitung sejak Desember 2016, tidak ada satupun tulisanku yang selesai dan utuh. Sejak itu, aku banting setir untuk
menulis ranah ilmiah, bukan lagi karangan bebas yang lebih banyak diminati pembacaku.


Itu sekilas. Kini, aku memosting ini bukan berarti aku sedang mengabarkan berita baik kembalinya marwah penulisan kreatif dalam diriku, melainkan aku menulis ini karena ada fakta empirik di dalamnya. Aku ingin ini abadi dalam sejarah. Ini kali pertamaku berjalan sejauh mata memandang, seluas alam terbentang. Perlu kalian tahu juga, aku melakukan perjalanan ini bukan buat gaya-gayaan yang berujung pujian “hebat”. Aku menulis ini karena perjalanan yang menyenangkan. Aku ingin kalian semua bisa ikut merasakannya.

Perjalanan ini dimulai dari ide yang tidak terduga datangnya: dari galeri foto. Aku jadi teringat Keenan yang pergi jauh mencari untuk menemukan inspirasi melalui untold story. Well, aku iri padanya dan sepertinya perjalanan ini ialah imitasi keseruan Keenan dengan project thank you-nya. Aku menamai ini sebagai untold project. Oke, buat ketiga kalinya, untold project ini terjadi lagi dan lagi-lagi Yogyakarta yang menjadi kota destinasiku. As always, mwhaha.

Oke, aku memulainya dari Yogyakarta, kota istimewa sejak dulu, kini, dan akan terus, semoga saja. Bagiku, Yogyakarta adalah kota singgah paling menyenangkan sekarang. Tidak tahu besok, kalau aku sudah sampai di ranah Pontianak, tempat Tugu Khatulistiwa berdiri, tempat yang paling ingin aku kunjungi di negeri ini selain Papua. Di Yogyakarta, selalu ada orang-orang yang ingin aku temui (lebih tepatnya aku repoti untuk menampungku satu atau dua malam). Buat kali kedua, Mbak Eva adalah tuan rumah terbaik yang aku kenal. “Terima kasih, Mbak. Aku sudah tentu akan merepotkanmu lagi nanti.” Hehehe.

Yogyakarta kali ini tidak terlalu meninggalkan banyak kesan. Aku bahkan tidak ada sekali 24 jam di sana. Namun, hangatnya kopi jos tetap yang paling tidak bisa aku lewatkan begitu saja. Kalau suatu saat kita berkunjung ke Jogja bersama, hal yang ingin aku tawarkan kepadamu adalah menikmati hidangan kopi jos di sepanjang jalan sebelah stasiun tugu. Mari ngopi dan bercerita banyak di sana.

Pagi, sekitar pukul tujuh aku beranjak ke perjalananku yang sesungguhnya: Kota Demak.

Telepon pintarku sudah terpasang dengan perangkat headset. Pun GPS sudah terhubung. Aku dan skuterku Alfa bergerak menjauh dari hiruk pikuk perkotaan. Beberapa kali aku kehilangan sinyal GPS. Aku berjalan lurus padahal seharusnya berbelok. Saat hendak balik arah tidak bisa karena overboden. Di situ aku merasa makhluk terpandir, mau keluar kota Jogja saja muter-muter dulu sampai nyaris sejam barangkali, mwhaha. Namun, tidak ada yang sia-sia. Dari bolak-balik salah arah aku belajar bahwa butuh tersesat dulu untuk mampu mampu membedakan jalan yang benar dan keliru.

Next trip, sebelum ke Demak, ada seseorang yang aku berjanji akan menemui dia kalau saja rute perjalananku melewati rumah keduanya setelah lulus esema: Magelang. Well, Alfa ketemu estu. Pada awalnya aku enggak nyangka bakal ketemu dia di kota orang. Namun, realitanya takdir mempertemukan kakak-beradik ini. Menyenangkan sekali, walaupun hanya sebentar singgah, bertegur sapa, lalu berjarak lagi.

Alfa terus melaju kencang, seperti biasanya. Aku masih setia menyimak GPS di telingaku seraya memperhatikan petunjuk jalan. Setelah Magelang, kata kunciku berikutnya ialah Bawen, Ungaran, Semarang, dan terakhir Demak.

Jalan yang aku tempuh sangat monoton, panas, penuh debu, dan kerasnya beton pengecor jalan begitu kentara. Kendati begitu, aku tetap berusaha untuk menikmatinya. Kali ini, aku memfokuskan perjalananku bukan pada pemandangan eksotis yang telah dan akan aku temukan, melainkan pada orang-orang yang terlibat di dalamnya: orang-orang yang aku dan Alfa temui, sepanjang perjalanan untold project ini.

Sekarang, aku sedang tidak tertarik untuk bercerita tentang pesona alam. Tanpa mengurangi rasa syukurku kepada Sang Pencipta segalanya, aku sedang ingin fokus pada bagaimana pemikir dahulu mengolah alam sedemikan rupa, pada bagaimana manusia sekarang berjuang mati-matian menjaga, mengembangkan, atau minimal tidak merusaknya. Terima kasih kepada mereka yang telah peduli membangun jalan, penerangan, akses pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Kalau sudah begini, rasanya terharu. Aku belum mempersembahkan apapun untuk negeri ini. Nanti dulu ya, akan kupikirkan lagi besok, hahaha. Skip.

Memasuki kota Semarang, aku pusing seperti yang sudah kuduga. Begitu banyak pilihan jalan dengan petunjuk yang beraneka ragam dan aku tidak tahu sama sekali nama-nama daerah itu. Sebelumnya aku sudah diperingatkan oleh suhuku untuk jangan mengambil jalan kota Semarang, ambil jalan kabupaten saja. Kata dia, kota Semarang lebih semrawut dari Yogyakarta. Ingat tho, ceritaku betapa aku kesulitan untuk keluar kota Jogja? Wkw, sudah tahu begitu, aku tidak kuasa menolak Alfa yang memaksa masuk ke wilayah kota. Oke, pepatah ‘malu bertanya sesat di jalan’ bekerja di sini.

Menyetel GPS saja tidak cukup bagiku dan Alfa. Kami tetap sesekali bertanya pada masyarakat sekitar yang kami temui. Pertama, pelayan SPBU yang ramah bukan bikinan. Mendengar informasi bahwa Alfa berada di jalan yang benar, aku kembali menyetir dia. Kali ini tidak terlalu kencang. Alfa bisa berkecepatan 40-60 km/jam di jalan-jalan kota saja sudah alhamdulillah. Hehehe.

GPS terus mengarahkan kami dan kami patuh. Namun, setiap setelah melewati lampu lalu lintas, aku selalu memberhentikan Alfa, mencari orang untuk bertanya memastikan jalan kami. Orang kedua, penjaja jeruk di mobil pinggir jalan. Dia sangat ramah juga. Selain itu, dia sangat menghormati tamu, terlihat dari unggah-ungguh gaya bicaranya menghadapi orang baru. Aku senang sekaligus terharu betapa di tengah pemberitaan banyak kejahatan di negeri ini, aku dengan mudah menemukan orang-orang baik di sini.

Orang ketiga, ialah tukang becak yang senyumnya meneduhkan. Aku jadi semakin mencintai budaya Jawa yang mengajariku arti menghargai tamu. Selesai bertanya benarkah aku sedang berjalan ke arah Demak, dia menanyaiku balik, “Dari Purwokerto ya, Mbak?” Seraya memperhatikan nomor kendaraan Alfa. Dia bertanya dengan dialek khas Semarang, aku menjawabnya dengan bahasa krama, untuk menghormati dia yang usianya jauh di atasku.

Sampai di bundaran terakhir, akhirnya Alfa dapat keluar dari kota Semarang, melintas jalan-jalan kabupaten hingga sampai di gapura bertuliskan ‘Selamat Datang di Demak Kota Wali’. Pengin teriak dong. Tidak lama lagi aku akan sampai di rumah eyang. Ohya, perjalananku kali ini, seperti yang sudah kubilang di muka, ini bukan soal keren-kerenan. Sebenarnya, perjalanan ini ialah perjalanan seorang cucu yang sedang berusaha mengobati rindu yang berkualitas dengan eyangnya. Sudah empat tahun keduanya tidak bersua. Gara-gara melihat foto eyang di galeri foto milik umi, aku mengajak Alfa berkelana ke sini, ke kota Demak, kota lahir eyangku, yang tanpa perantara dia, ayahku tidak akan ada begitu juga aku.

Tiba di rumah eyang, umi menyambutku. Ya, umi mengadakan perjalanan juga untuk menemaniku berkunjung ke rumah eyang. Berbedanya, dia menggunakan jasa travel, sedangkan aku berdua saja dengan Alfa.

Aku masuk, mencari eyang. Seketika kami berhadapan, kami hanya saling tatap. Eyang belum menyadari keberadaanku, cucunya. Eyang hanya menatapku lamat-lamat seraya mengingat-ingat wajahku. Saat aku menyebut namaku di hadapannya, dia langsung memelukku, erat sekali. Sungguh, ini adalah pelukan paling berkualitas setelah pelukan umi saat aku kali pertama mendapat rangking satu, empat belas tahun yang lalu.

“Mata eyang sudah gelap, Nduk,” itu kalimat pertama eyang dalam bahasa Jawa.
“Kapan menikah?” Itu kalimat kedua, berupa pertanyaan yang sangat wajar karena usiaku yang tak lagi muda.
“Eyang sudah enggak kuat jalan jauh, Nduk,” itu kalimat ketiga, masih dalam bahasa jawa.
“Eyang pengin melihat genduk megar kembange,” itu kalimat keempat, tetap berbahasa Jawa. Mataku mulai berkaca-kaca, tetapi tidak sampai mengeluarkan air mata.
“Intan kangen eyang, kangen banget,” balasku ringkas. Eyang perlahan melepas pelukannya, padahal aku masih ingin tinggal.

Bersyukur banget bisa ketemu eyang lagi. Capeknya lima jam perjalanan tanpa istirahat sangat terbayar lunas dengan pertemuan ini, pun rangkaian proses menuju ke sini. Orang-orang yang aku dan Alfa temui juga turut menjadi keharuan tersendiri. Senang sekali, Tuhan mendekatkanku dengan orang-orang baik seperti mereka.
*****
Malam pertama di rumah eyang begitu panjang. Aku tidak bisa tidur. Badanku menggigil. Kepalaku pusing bukan bikinan. Aku membangunkan tidur umi. Dia cemas melihatku sekarat. Hidungku tidak berfungsi, mampet. Aku bilang pada umi, aku lelah bernafas menggunakan mulut. Pada saat yang sama mataku tidak mampu terbuka. Telapak tangan dan kakiku dingin sementara keningku demam tinggi. Umi semakin cemas. Aku seperti orang mau mati. Keadaanku sangat kritis.
Well, beginiliah aku kalau sakitku kumat, mencemaskan banyak orang. Dalam hati aku berbisik, seandainya ini malam terakhirku, ….
Bersambung.

Sudah malam, ragaku mengisyaratkan agar aku mengistirahatkan organ tubuhku yang kelelahan dalam 683.9 kilometer selama 4 hari ini. Oke, sampai jumpa tubin, semoga saja aku tidak lupa jalan ceritanya. Yang pasti, masih tentang cerita orang-orang yang aku dan Alfa temui sepanjang jalan. Bagaimana kelanjutan aku bisa mengendarai Alfa setelah sekarat semalaman juga besok saja, ya.

Pwt-Yk-Dmk, dari 10-13 Mei 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar