Sabtu, 26 Mei 2018

Untuk 683.9 Kilometer Kita (2)



Seandainya Bell masih hidup, aku menebak dia pasti akan geleng-geleng kepala melihat penemuannya berkembang seperti sekarang. Orang-orang mayoritas hari ini punya kebutuhan baru, gaya hidup yang baru: menunduk. Aku salah satu yang gila dengan teknologi masa kini. Kendati begitu, aku selalu berusaha sebijak mungkin dalam penggunaan teknologi yang semakin hari semakin
berkembang. Contoh sederhananya ialah kehadiran GPS.

Dalam urusan perjalanan, selain mengandalkan petunjuk dari Tuhan, GPS adalah piranti paling oke yang dapat difungsikan untuk menjadi teman perjalanan. Dia tahu apa yang ada di depan. Dia tahu kapan aku harus berbelok, berjalan lurus, bahkan menyetir untuk berjalan pelan hingga kebut-kebutan. Hebat, ya! Mereka, orang-orang yang ada di belakang layar sana, adalah orang-orang yang sangat berjasa. Terima kasih.

Minggu, 13 Mei 2018 menjadi hari terakhir untold project. Bagaimanapun, besok—Senin—aku harus kembali ke sekolah

Aku kesulitan mengatur waktuku untuk melanjutkan dokumentasi untold project bareng Alfa. Keadaan hectic seperti sekarang, memaksaku untuk menyimpan semua momen di sini (menunjuk kepala). Singkatnya saja, ya, begini..

Selesai mengantar umi ke perhentian bus, aku dan Alfa berbelok arah ke simpang lima kota Demak. Aku menyetir Alfa menuju Masjid Agung Demak, salah satu peninggalan bersejarah kota ini. Terakhir sebelum sekarang, aku berkunjung ke The Great Mosque of Demak ketika aku kelas dua esempe. Kini, dari segi bangunan tidak banyak yang berubah. Pun atmosfernya masih kentara. Yang berbeda adalah, kini aku sudah besar, sudah bisa berinteraksi dengan orang-orang dewasa pada umumnya. 

Memasuki alun-alun, aku melirik ke arloji, masih pukul enam pagi, matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Kendati hari masih agak gelap, orang-orang telah ramai memadati pinggiran alun-alun. Tua-muda, laki-perempuan, mereka ramai-ramai melakukan ritual jogging. Aku memarkirkan Alfa di salah satu sisi jalan. Aku hanya perlu mengeluarkan selembar uang dua ribuan untuk biaya parkir Alfa. Murah bukan bikinan. Sudah murah, dapat bonus berjumpa tukang parkir yang menggemaskan. Dia gendut sekali. Hehehe

Melihat Alfa menjadi minoritas, aku buru-buru mengabadikan momen. Aku terharu. Buat kali pertama, Alfa dikelilingi oleh plat H. Betapapun dia minoritas, orang-orangnya tidak memandang dia dengan sorot mata yang tajam. Kadang-kadang, selama di sana, aku sedikit banyak tidak percaya dapat mengajak Alfa berekskursi sampai ke sini. Banyak ketakutan dan kecemasan sebelumnya. Namun, aku meyakinkan Alfa bahwa dia diciptakan untuk menantang kerasnya jalanan, bukannya diam di kandang.
Skip.
Ada banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan selama di Masjid Agung Demak. Semuanya bersumber dari orang-orang yang aku temui.

Aku berkeliling mengabadikan momen. Aku melihat ada anak-anak yang berkejar-kejaran di pelataran utama masjid. Mereka tampak menikmatinya. Aku senang menyaksikan anak-anak berlari-larian mengejar dan dikejar, lalu berteriak-teriak saat tertangkap. Aku senang memperhatikan anak-anak berinteraksi dengan teman-temannya secara nyata, bukan via layar telepon saja.

Di sudut lain, aku menemukan jam besar di dekat pintu utama masuk ke masjid. Ada dua, di sisi kanan dan kiri. Sekilas, jam itu tampak mewah. Aku perkirakan harganya mahal. Namun, ada yang lebih mahal di balik jam itu. Aku melihat ada seseorang bersembunyi di sana, dalam kekhusukan sujud. 

Beranjak dari sujud-sujud di balik jam, aku berjalan memutar seraya memperhatikan arsitektur masjid. Mataku menjelajah ke semua penjuru. Sampai di satu titik, lagi-lagi aku dibuat terharu. Di balik tiang penyangga utama masjid, aku menemukan pemandangan spiritual yang menguras rasa syukur bisa berkunjung ke sini dan menyaksikan ketaatan beragama umat manusia. Dalam terpejam, seseorang berkomat-kamit melantunkan ayat-ayat suci.

Ada lagi cerita tentang menara Demak dan orang-orang yang beristirahat di bawahnya. Aku senang melihat orang-orang ngobrol, terlepas dari isi obrolan mereka. Rasa hangat saja, bisa melihat interaksi nyata. Well, dunia nyata memang jauh lebih menyenangkan daripada dunia virtual yang sarat dengan kebohongan.

Selain Demak, kota Temanggung juga memberi warna lain dalam perjalanan untold project. Aku tidak ingin bercerita bagaimana kegagalanku mengejar Sindoro dan Sumbing. Aku sangat terkesan dengan bocah di depan minimarket tempat Alfa rehat saat aku kelaparan. Akan aku unggah dalam bentuk sajak nanti, setelah ini. Ada juga kisah tentang petani tembakau dan orang-orang di warung kopi di tepi jalan. Mereka semua mengagumkan. Well, yang aku sukai dari negeri ini selain pesona alam dan budayanya, tidak lain memang keramahan dan kebaikan hati orang-orangnya. 

Itu dulu, ya. Next project, mungkin aku akan mengajak kamu. Nanti, kapan-kapan. Sekarang, aku masih ingin berduaan, intim sama Alfa. Aku sudah mulai merasakan single traveler itu asyik dan menyenangkan banget. Yap, karena travelling sendirian itu bebas. Lebih dari itu, kita jadi bisa merasakan diri sendiri.
Pwt-Yk-Dmk from 10-13 Mei 2018.

Ps buat Alfa: main kamu kurang jauh, Alf. Masih lintas kota, belum lintas pulau, apalagi benua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar