Kamis, 12 Juli 2018

Harga sebuah Pertemuan

"Seasyik-asyiknya berbincang dalam jaringan,
lebih bermakna sebuah pertemuan."

Awal bulan ketujuh tahun masehi amat biru. Perjalanan kembali untuk merantau menyisakan tangis yang mencekat nafas sepanjang marga Clp-Pwt. Itu tentang perpisahan anak-bapak yang bukan sebenarnya untuk berpisah, melainkan perpisahan untuk menciptakan kerinduan.


Mulanya, aku berpikir ini biru. Nyaris saja pixel in years aku warnai benar-benar biru yang pekat. Biru yang dekat dengan kedukaan. Namun, keadaan berubah setelah seorang teman lama menghubungiku dan mengajak bertemu. Singkatnya, kami pernah berada di satu almamater. Setahun belajar di ruang yang sama tidak membuat kami saling mengenal. Waktu itu kami masih anak-anak, belum mengerti esensi pertemanan. Yang kami tahu hanya main. Anak-anak memang suka bermain apa saja, dengan siapa saja. Sampai empat belas tahun kemudian, kami dipertemukan kembali dalam bingkai reuni. Ini yang membikinku berubah pikiran untuk memberi warna merah muda saja, di Juli pertama. Well, begini ceritanya.

Temanku datang ke Purwokerto untuk sebuah tujuan: singgah. Dia mengajakku untuk bertemu, dengan sedikit keraguan barangkali. Besok adalah hari pertamaku UAS. Aku berasumsi kalau dia takut mengganggu waktu belajarku dan remeh temen lain menjelang ujian pada umumnya. Aku bilang, ketemu saja. Aku sudah belajar kemarin, selama perkuliahan. 

Waktu dan tempat sudah ditentukan. Pertemuan terjadi. Segelas Thai Tea panas dan soda dingin hadir melengkapi. Segendang sepenarian, kami bercerita banyak. Mulai dari kesibukan masing-masing saat ini, berbagi kabar teman-teman masa kecil, cerita tentang buku dan film teraktual, juga tentang musik-musik yang enak didengar, berdebat kusir bagaimana mungkin seorang calon pelayar tidak bisa berenang, sampai ke topik yang agak berat tentang dunia politik dan pesta demokrasi yang sedang hangat-hangatnya: pilkada serentak, dan yang selalu membikin terharu: cerita tentang manusia yang lucu.

Kemarin yang lalu, aku pernah mengobrol dengan seorang teman, tentang bagaimana cara dia memandang manusia. Belum sempat mendengarkan jawabannya, dia malah menanyaiku balik. Kali ini, pertanyaanku masih sama, kutujukan kepada orang yang berbeda. Dia sepakat denganku kalau manusia itu menyenangkan sekaligus mengharukan, meski tidak selalu begitu.

Umpanku tepat sasaran. Seperti yang kuharapkan, dia bercerita. Suatu ketika, dia berkumpul bersama teman-temannya. Satu di antara yang lain ada yang sibuk sendiri membalas pesan atau entah sedang bermain apa di telepon pintarnya. Yang terlihat, jemarinya amat lihai mengetuk-ketuk monitor sentuh. Gusar melihat itu, seseorang berceletuk, "Kalau mau main hp di rumah aja, bisa sambil ngapain aja bebas." Maksudnya cukup jelas. Hargailah pertemuan yang tidak bisa setiap hari terjadi. Upayakanlah untuk berinteraksi, dengan orang-orang yang jelas ada di dekat kita, di hadapan kita, di kanan dan kiri kita. Ya. Sederhana, tetapi mengena. 

Aku menyeruput Thai Tea yang mulai dingin. Dia melanjutkan bercerita dan menurutku ini lebih seru, seperti dalam sinetron. Di suatu malam, dia dengan temannya sedang (kalau tidak salah) makan di kafe. Lalu, seorang anak kecil datang menawarkan dagangannya (aku lupa itu apa). Temannya membeli satu, lalu menyisipkan dua lembar uang entah berapa nominal tepatnya. 
"Ini (uang) buat bayar, yang ini buat jajan kamu," bisiknya ke anak kecil itu. Anak itu sontak menolak. Kata dia, kalau memang mau membeli dagangannya, dia mau menerima uangnya sebagai alat pembayaran. Kalau tidak membeli, ya uangnya tidak diterima. Aku terharu dengan kebaikan hati anak itu. Lebih jauh, aku terharu pada pasal bagaimana sang ibu mendidiknya. Aku ingin bertemu ibunya. Aku ingin belajar tentang bagaimana dia hidup dan memaknai kehidupan.

Setali tiga uang, mendengar kisah temanku itu seketika aku jadi teringat editor seniorku. Suatu siang, aku dan beberapa teman duduk di teras gedung sekretariat UKM jurnalistik yang menaungiku. Di tengah diskusi hangat, seorang anak perempuan (aku prediksi usianya 7 tahun) datang mengemis, meminta-minta, belum makan katanya. Aku tidak tega kalau membiarkan. Namun, sebelum aku hendak merogoh uang di saku, editorku bertanya padaku, 
"Apakah kamu punya permen?" 
Aku jawab tidak punya. Ya, memang tidak punya. Anak itu diam menunggu. Editorku menyuruhku untuk membeli makanan apa saja, risol atau kue terserah. Dengan ringan tangan, aku membeli gorengan. Aku menyerahkan gorengan ke anak itu dan dia langsung pergi setelah berterima kasih. Dalam hati aku memisuh sedikit kesal, kenapa tidak memberi uang saja? Simpel, kan? Tidak. Itu tidak mendidik, sama sekali tidak. Editorku bilang, anak itu belum makan, berikan dia makanan. Berhentilah menghargai segala hal dengan materi, dengan uang. Pun itu pelajaran buat dia. Bahwa untuk mendapatkan uang itu tidak semudah kita mengedipkan mata. Untuk mendapatkan uang perlu perjuangan, bukan sekadar meminta-minta. 

Well, aku senang bercerita dan berteman dengan orang-orang yang mau bercerita. Aku senang menyimak cerita dan berteman dengan orang-orang yang mau menyimak juga. Cerita itu penting dan berguna. Aku serius. Mulai sekarang, sejenak saja, cobalah tutup aplikasi di gawaimu, luangkan detik dalam sibukmu, lalu datangi temanmu. Berceritalah, cerita tentang apa saja. Jangan sampai kamu menyesal seperti temanku Kansa, di tulisan sebelumnya. 

Waktu mulai menunjukkan pukul dua puluh satu. Aku tahu, ada pesan Whatsapp di monitorku. Aku sengaja membiarkannya. Ada orang di dekatku yang jelas-jelas mengupayakan pertemuan. Kepada dia yang pesannya tidak kupedulikan beberapa saat, aku memprediksi dia akan marah-marah besok pagi, tepatnya ketika kami berjumpa. Mwhaha.

Sebelum pertemuan kami sudahi, aku punya pertanyaan lagi buat temanku itu. "Pernahkah kamu, tidak suka pada manusia?" Dia bilang, pernah. Aku tertarik dengan cerita selanjutnya. Nanti saja, ya. Akan kuposting setelah ini, semoga saja.

Pukul dua puluh satu lebih sekian menit, kami bertolak meninggalkan kafe, lalu ke terminal, mencari informasi bus untuk temanku. Besok pagi, dia akan berangkat ke Semarang.

Buat ke sekian kalinya, akhirnya aku dapat menikmati makna pertemuan lagi. Biasanya, aku bertemu dengan teman-teman, tanpa kesan. Beritual haha-hihi,  tanpa arti. Sedikit bicara, banyak menatap ponselnya. Kali ini, murni untuk bercerita, berbagi kisah. Ada yang kurang memang. Pertemuan kami luput dari dokumentasi. Namun, tidak ada masalah yang berarti bagi kami, toh semuanya sudah terjaga aman di pusat kesadaran. Dan aku lebih menghargai itu.

Keluar dari terminal, dia bilang akan mengantarku pulang. Kala itu, jarum jam pendek sudah meninggalkan angka sepuluh. Dia mengambil jalan berputar lebih jauh, bahkan melewati rumah singgahnya. Begitu tahu, aku meminta untuk pulang sendiri saja, setidaknya biar dia bisa menyiapkan amunisi untuk perjalanannya besok pagi. Dia menolak. Kata dia, "Aku sudah bilang akan mengantarmu pulang."

Purwokerto, 1 Juli 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar