Sabtu, 21 Juli 2018

Pernahkah Kamu?


Ketangkep basah akan ketidaksukaan kita pada orang lain nyatanya memang memalukan. Terlebih, ketidaksukaan itu berimbas pada meletusnya perang antarpersonal. Parahnya, meruntuhkan idealisme yang telah dibangun dengan kepayahan.

Aku akan membayar hutang. Semoga kamu masih ingat suatu kalimat di tulisanku sebelumnya. Ini masih tentang manusia. Masih dan akan terus. Sampai kamu mafhum, kepada siapa aku berpihak. Well, mari melanjutkan. 

Kenapa kita punya perasaan tidak suka, bahkan ke sesama manusia? Salahkah tidak suka pada manusia? Oke, cobalah kita mengasah kembali ingatan kita akan suatu peribahasa, tidak akan ada asap tanpa api, so, setali tiga uang dengan enggak suka pada sesuatu (seseorang—manusia) pasti ada penyebabnya. Apakah dia telah berlaku salah pada kita, merugikan kita, melukai kita, mencuri ide, menyinggung perasaan, meremehkan pandangan, menjengkelkan, berlaku kasar, atau apa?

Aku manusia biasa kok, tidak sebaik yang orang-orang pikir. Jangan kira aku tidak pernah tidak suka sama orang. Aku pernah juga, sekali. Yelah, sekali doang, dikit amat? Ya, ngapain banyak-banyak kalau habis itu sadar: enggak suka sama orang itu merugikan kita banget.

Ketika kita enggak suka sama orang, kecenderungan kita pasti negative thinking sama orang itu, kan? Semua yang dia lakukan tampak selalu salah di mata kita. Semua tentang dia, kita menutup mata, enggak mau tahu lagi apapun tentang dia. Itu yang bikin kita jadi tidak berkembang. Manalah kita tahu kalau dia bisa jadi jalan kesuksesan hidup kita di masa depan. 

So, hargai kesalahan yang orang lain telah perbuat. Berlaku salah itu penting, malah harus, mengapa? Karena ketika kita menemukan kesalahan, dalam waktu yang bersamaan, kita mengenal apa yang disebut benar. Bahkan, kata seorang teman, mumpung masih muda, lakukan kesalahan sebanyak-banyaknya. Jangan bikin kesalahan di masa tua, penyesalannya akan lebih membekas.

Sekalipun secara faktawi kesalahan orang lain kita nilai fatal dan tidak termaafkan, ah itu nonsense, asli, Tuhan Maha Pemaaf kok. Jangan jadi manusia yang menyebalkan dengan tidak mau maafkan kesalahan orang lain. Dalam hal ini, aku tertarik dengan ujaran temanku yang gemar sekali ceramah. Dia bilang, kalau kita tersakiti atas kesalahan seseorang, jangan pernah punya keinginan untuk membenci orang yang telah melukai kita itu. Lantas bagaimana sebaiknya kita bersikap? Cobalah ingat satu saja kebaikannya (misal dia pernah senyum ke kita), lalu maafkan dan lupakan semua kesalahannya. Ya, seperti orang Jawa pada umumnya: memaafkan dan melupakan. 

Kalimat-kalimat di atas, jangan ditelan mentah-mentah ya, wahai netizen yang budiman. Berlaku salah, meminta maaf, dan memaafkan memang penting. Namun, tetap perlu melihat konteks, ya. Ada satu cerita temanku yang pelupa tingkat keterlaluan. Dia pernah bersalah di lembaganya dan meminta maaf dengan dasar "lupa". Apa kesalahannya? Dia melalaikan pekerjaannya sehingga berimbas pada potensi citra buruk lembaganya. 

Well, urusan khilaf antarindividu dalam lingkungan apapun bisa saja termaafkan, malah harus. Akan tetapi urusan kesalahan yang fatal dalam pekerjaan, boleh jadi tidak ada toleransi. Ya, hidup memang keras sekali. Dan aku minta tolong padamu, tolong untuk jangan mendegradasi permohonan maaf dalam hal semacam ini, ya. Solusi atas tanggung jawab yang dilalaikan itu bukan soal akuan salah lalu minta maaf, melainkan selesaikan dengan cara dikerjakan. Sebagai penutup, kata seorang teman (yang namanya dirahasiakan), belajarlah untuk bertanggung jawab dan perbaikilah kesalahan yang sudah diperbuat, dengan tidak mengulanginya kembali.

Kafe Kampus, 21 Juli 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar