Mengutip dari wartawan BBC,
sebagian orang mengerti bahwa déjà vu adalah sensasi sekilas bahwa seseorang
pernah melewati suatu tempat atau melakukan sesuatu, padahal seseorang itu
tidak mungkin pernah di sana atau melakukan hal tersebut. Lebih jauh, kata déjà
vu sendiri berasal dari bahasa Prancis yang artinya “pernah merasa atau
melihat”. Masih menurut lansiran BBC, contoh yang paling gamblang akan perasaan ini diangkat dalam film “Groundhog
Day” yang dibintangi Bill Murray.
Well, aku hendak melunasi hutang
bercerita tentang Tokoh dari Cerpen Edgar
Allan Poe itu Ingin Membunuhku. Tulisan ini mungkin akan jadi tulisan
turunan sekunder dari cerpen The Tell Tale Heart.
Aku sudah membaca cerpen itu berulang sampai suatu ketika aku mengalami déjà
vu. Cerita yang nyata kualami persis sekali seperti dalam cerita Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin
Membunuhku.
Waktu itu, aku baru pulang
sekolah, sekitar pukul tiga sore. Seperti biasa, keluar dari gerbang sekolah
aku langsung berangkat lagi menuju tempat mengajar di bimbel. Murid-muridku di
sana sangat ramai dan menyenangkan. Kebanyakan dari mereka, senang sekali
bercerita, persis sama denganku. Bagiku, bertemu mereka seperti bertemu jodoh.
Aku senang bercerita, mereka juga. Aku senang menyimak cerita, mereka apalagi.
Di antara banyaknya topik, cerita horor selalu menjadi favorit kedua setelah
cerita tentang percintaan, mwhaha.
Selepas mengajar, sekitar pukul
tujuh malam, seseorang membuntutiku dalam perjalanan pulang bahkan sampai ke
ruang tidurku.
Déjà vu dimulai.
Sosok itu berjubah gelap, mukanya samar kulihat. Keberadaannya tidak jelas di sebelah manaku, namun, aku bisa merasakannya dengan hati dan segenap pikiran yang sarat akan ketakutan. Tubuhnya tambun, aku melihat dari bayangannya mengikutiku di balik dinding di lorong-lorong asrama. Ketika aku berjalan, bayangan itu ikut bergerak. Ketika aku berhenti, bayangan itu ikut diam. Sampai di depan pintu ruang tidur, bayangan itu menghilang. Seketika aku lega, dia lenyap begitu saja.
Déjà vu dimulai.
Sosok itu berjubah gelap, mukanya samar kulihat. Keberadaannya tidak jelas di sebelah manaku, namun, aku bisa merasakannya dengan hati dan segenap pikiran yang sarat akan ketakutan. Tubuhnya tambun, aku melihat dari bayangannya mengikutiku di balik dinding di lorong-lorong asrama. Ketika aku berjalan, bayangan itu ikut bergerak. Ketika aku berhenti, bayangan itu ikut diam. Sampai di depan pintu ruang tidur, bayangan itu menghilang. Seketika aku lega, dia lenyap begitu saja.
Aku mengeloskan tas di pundakku, bertukar ke meja
belajar. Pun jaket dan kaos kaki kutanggalkan. Dalam hitungan menit, aku sudah berganti
kostum. Hari ini begitu melelahkan sekaligus menegangkan. Dengan akas, aku melemparkan
tubuhku ke kasur. Aku lelah sekali.
Sepanjang hari, jendela kamar
memang tidak pernah kututup. Pagi, siang, malam, sampai ke pagi lagi, jendela
itu selalu terbuka. Hanya tirai putih saja yang suka bergerak-gerak sendiri
karena tersapu angin. Ketika malam akan tidur, sakelar lampu utama tidak pernah kuputus. Tidak ada yang aneh dengan kebiasaan ini. Tidak ada yang horor
selama tiga semester aku tinggal di asrama.
Sebelum tidur, aku mengecek
ponselku, membalas pesan-pesan temanku. Setelah selesai, aku berdoa dan mulai
menutup mata. Mekanisme tubuh memaksaku untuk beristirahat. Aku mengalah.
Namun, belum lagi genap satu menit memejamkan mata, seketika aku kembali
terjaga. Ada gerakan cepat sosok yang tak mampu kujangkau seperti mendekatiku, lebih tepatnya akan membunuhku. Kepalanya menyusup masuk lewat jendela, mengamatiku. Tidak ada
suara, gerakannya sangat halus, persis seperti dalam tokoh dari cerpen Edgar
Allan Poe yang ingin membunuh pria tua bermata biru pucat. Begitu aku membuka
mata, dia tidak ada. Dia menghilang sangat cepat. Setelah itu, aku berkeras
untuk tidak tidur semalaman. Beberapa kali aku mencoba memejamkan mata, sosok
itu mendekat lagi, siap dengan perangkatnya untuk menghabisiku. Oleh karena ketakutan yang berlebihan,
aku memutuskan untuk terjaga saja, menunggu pagi, seraya wawas diri kalau-kalau
sosok itu tiba-tiba memunculkan batang hidungnya.
Aku benar-benar ketakutan dan
rasa takut itu sangat menggangguku. Aku jadi sepakat dengan pertanyaan
bagaimana rasa takut dapat hadir ke dalam diri kita? Apakah dia mengambang di
sepanjang udara lalu kita menghirupnya dan merasuklah rasa takut itu ke dalam
diri kita? Aku jadi ikut benci merasakan ketakutan seperti ini. Ketakutan yang
diam-diam, seperti kematian. Aku memang tidak takut mati, tetapi aku takut
dengan kematian yang menyedihkan. Seperti halnya kematian tragis pria tua
bermata biru pucat itu, aku tidak mau.
Sebelum berangkat ke sekolah esok
hari, aku mampir ke kantor polisi. Adegan ini tepat seperti dalam cerita Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin Membunuhku. Aku melapor ke polisi kalau ada sosok yang
membuntutiku sejak kemarin sore. Aku menceritakan kejadian tadi malam yang
mencekam. Aku bercerita kalau aku memutuskan untuk tidak tidur karena sosok itu
hendak membunuhku saat aku terpejam. Polisi dengan tenang menerima laporanku
dan mencatatnya dalam daftar kasus. Bukannya menyurutkan kegelisahanku, dia
malah menyuruhku untuk mengambil sarapan. Katanya, wajahku begitu pucat, aku tampak
seperti orang sakit. Argh, kalimatnya begitu menusukku, seolah aku memberikan laporan
palsu. Seketika itu juga, aku pergi. Percuma, polisi tidak percaya denganku,
tidak percaya dengan cerita sosok yang sedang gentayangan menantiku lengah
untuk kemudian dia beraksi menghabisiku.
Aku menelan ludah kecewa sekali
pada polisi. Mengapa mereka tidak percaya kalau aku sedang dihantui sosok yang
hendak menggorok leherku, melenyapkanku? Ah sudahlah, mereka tidak tahu karena mereka tidak melihatnya dengan
mata. Padahal, dengan hati aku bisa merasakan kehidupanku sedang terancam. Aku
kembali sepakat bahwa dengan hati, aku selalu dapat melihat lebih banyak dari
apa yang dapat dilihat oleh mata. Seandainya semua manusia dapat melihat dengan
hati mereka, mungkin kita akan hidup dengan berbeda. Ah, Little Prince, ah
cerpen itu, aku benar-benar seperti hidup dalam cerita bikinan Edgar Allan Poe.
Well, déjà vu selesai.
Well, déjà vu selesai.
Pukul enam pagi, matahari sudah
bangkit, sinarnya mendarat sampai ke mataku. Seperti biasa, jendela kamar tidak
pernah kututup, matahari menerobos masuk lewat sana. Aku terbangun. Aku
membersihkan tubuhku agar kembali segar. Pukul tujuh tiga puluh, pelajaran mengarang akan kembali dimulai. Sore nanti, cerita tentang Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin Membunuhku pasti akan
jadi topik seruku dengan murid-murid di bimbel. Mereka selalu serius
memperhatikanku bercerita, apalagi kalau tentang cerita horor dan enigma.
Ditulis di Posko Magang, saat gelisah menguasai.
Diselesaikan di asrama, 21 Agustus 2018 ketika sosok itu memaksaku bangun pukul dua pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar