Selasa, 21 Agustus 2018

Déjà Vu



Mengutip dari wartawan BBC, sebagian orang mengerti bahwa déjà vu adalah sensasi sekilas bahwa seseorang pernah melewati suatu tempat atau melakukan sesuatu, padahal seseorang itu tidak mungkin pernah di sana atau melakukan hal tersebut. Lebih jauh, kata déjà vu sendiri berasal dari bahasa Prancis yang artinya “pernah merasa atau melihat”. Masih menurut lansiran BBC, contoh yang paling gamblang akan perasaan ini diangkat dalam film “Groundhog Day” yang dibintangi Bill Murray.

Well, aku hendak melunasi hutang bercerita tentang Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin Membunuhku. Tulisan ini mungkin akan jadi tulisan turunan sekunder dari cerpen The Tell Tale Heart. Aku sudah membaca cerpen itu berulang sampai suatu ketika aku mengalami déjà vu. Cerita yang nyata kualami persis sekali seperti dalam cerita Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin Membunuhku.

Waktu itu, aku baru pulang sekolah, sekitar pukul tiga sore. Seperti biasa, keluar dari gerbang sekolah aku langsung berangkat lagi menuju tempat mengajar di bimbel. Murid-muridku di sana sangat ramai dan menyenangkan. Kebanyakan dari mereka, senang sekali bercerita, persis sama denganku. Bagiku, bertemu mereka seperti bertemu jodoh. Aku senang bercerita, mereka juga. Aku senang menyimak cerita, mereka apalagi. Di antara banyaknya topik, cerita horor selalu menjadi favorit kedua setelah cerita tentang percintaan, mwhaha.

Selepas mengajar, sekitar pukul tujuh malam, seseorang membuntutiku dalam perjalanan pulang bahkan sampai ke ruang tidurku.
Déjà vu dimulai.
Sosok itu berjubah gelap, mukanya samar kulihat. Keberadaannya tidak jelas di sebelah manaku, namun, aku bisa merasakannya dengan hati dan segenap pikiran yang sarat akan ketakutan. Tubuhnya tambun, aku melihat dari bayangannya mengikutiku di balik dinding di lorong-lorong asrama. Ketika aku berjalan, bayangan itu ikut bergerak. Ketika aku berhenti, bayangan itu ikut diam. Sampai di depan pintu ruang tidur, bayangan itu menghilang. Seketika aku lega, dia lenyap begitu saja.

Aku mengeloskan tas di pundakku, bertukar ke meja belajar. Pun jaket dan kaos kaki kutanggalkan. Dalam hitungan menit, aku sudah berganti kostum. Hari ini begitu melelahkan sekaligus menegangkan. Dengan akas, aku melemparkan tubuhku ke kasur. Aku lelah sekali.

Sepanjang hari, jendela kamar memang tidak pernah kututup. Pagi, siang, malam, sampai ke pagi lagi, jendela itu selalu terbuka. Hanya tirai putih saja yang suka bergerak-gerak sendiri karena tersapu angin. Ketika malam akan tidur, sakelar lampu utama tidak pernah kuputus. Tidak ada yang aneh dengan kebiasaan ini. Tidak ada yang horor selama tiga semester aku tinggal di asrama.

Sebelum tidur, aku mengecek ponselku, membalas pesan-pesan temanku. Setelah selesai, aku berdoa dan mulai menutup mata. Mekanisme tubuh memaksaku untuk beristirahat. Aku mengalah. Namun, belum lagi genap satu menit memejamkan mata, seketika aku kembali terjaga. Ada gerakan cepat sosok yang tak mampu kujangkau seperti mendekatiku, lebih tepatnya akan membunuhku. Kepalanya menyusup masuk lewat jendela, mengamatiku. Tidak ada suara, gerakannya sangat halus, persis seperti dalam tokoh dari cerpen Edgar Allan Poe yang ingin membunuh pria tua bermata biru pucat. Begitu aku membuka mata, dia tidak ada. Dia menghilang sangat cepat. Setelah itu, aku berkeras untuk tidak tidur semalaman. Beberapa kali aku mencoba memejamkan mata, sosok itu mendekat lagi, siap dengan perangkatnya untuk menghabisiku. Oleh karena ketakutan yang berlebihan, aku memutuskan untuk terjaga saja, menunggu pagi, seraya wawas diri kalau-kalau sosok itu tiba-tiba memunculkan batang hidungnya.

Aku benar-benar ketakutan dan rasa takut itu sangat menggangguku. Aku jadi sepakat dengan pertanyaan bagaimana rasa takut dapat hadir ke dalam diri kita? Apakah dia mengambang di sepanjang udara lalu kita menghirupnya dan merasuklah rasa takut itu ke dalam diri kita? Aku jadi ikut benci merasakan ketakutan seperti ini. Ketakutan yang diam-diam, seperti kematian. Aku memang tidak takut mati, tetapi aku takut dengan kematian yang menyedihkan. Seperti halnya kematian tragis pria tua bermata biru pucat itu, aku tidak mau.

Sebelum berangkat ke sekolah esok hari, aku mampir ke kantor polisi. Adegan ini tepat seperti dalam cerita Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin Membunuhku. Aku melapor ke polisi kalau ada sosok yang membuntutiku sejak kemarin sore. Aku menceritakan kejadian tadi malam yang mencekam. Aku bercerita kalau aku memutuskan untuk tidak tidur karena sosok itu hendak membunuhku saat aku terpejam. Polisi dengan tenang menerima laporanku dan mencatatnya dalam daftar kasus. Bukannya menyurutkan kegelisahanku, dia malah menyuruhku untuk mengambil sarapan. Katanya, wajahku begitu pucat, aku tampak seperti orang sakit. Argh, kalimatnya begitu menusukku, seolah aku memberikan laporan palsu. Seketika itu juga, aku pergi. Percuma, polisi tidak percaya denganku, tidak percaya dengan cerita sosok yang sedang gentayangan menantiku lengah untuk kemudian dia beraksi menghabisiku.

Aku menelan ludah kecewa sekali pada polisi. Mengapa mereka tidak percaya kalau aku sedang dihantui sosok yang hendak menggorok leherku, melenyapkanku? Ah sudahlah, mereka tidak tahu karena mereka tidak melihatnya dengan mata. Padahal, dengan hati aku bisa merasakan kehidupanku sedang terancam. Aku kembali sepakat bahwa dengan hati, aku selalu dapat melihat lebih banyak dari apa yang dapat dilihat oleh mata. Seandainya semua manusia dapat melihat dengan hati mereka, mungkin kita akan hidup dengan berbeda. Ah, Little Prince, ah cerpen itu, aku benar-benar seperti hidup dalam cerita bikinan Edgar Allan Poe.  
Well, déjà vu selesai.

Pukul enam pagi, matahari sudah bangkit, sinarnya mendarat sampai ke mataku. Seperti biasa, jendela kamar tidak pernah kututup, matahari menerobos masuk lewat sana. Aku terbangun. Aku membersihkan tubuhku agar kembali segar. Pukul tujuh tiga puluh, pelajaran mengarang akan kembali dimulai. Sore nanti, cerita tentang Tokoh dari Cerpen Edgar Allan Poe itu Ingin Membunuhku pasti akan jadi topik seruku dengan murid-murid di bimbel. Mereka selalu serius memperhatikanku bercerita, apalagi kalau tentang cerita horor dan enigma.


Ditulis di Posko Magang, saat gelisah menguasai.
Diselesaikan di asrama, 21 Agustus 2018 ketika sosok itu memaksaku bangun pukul dua pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar