Jumat, 21 September 2018

Kesabaranku Harus Naik Level

Kemarin aku bercerita pada Kansa. Mungkin, ini akan jadi cerita terpanjangku dengan dia. Begini, aku punya sepupu yang bebal sekali otaknya. Ini terjadi saat aku kelas dua esempe, dia kelas 5 esde. Kiraku, tak mungkin dia kekurangan vitamin. Kiraku, dia hanya kekurangan sentuhan kasih dan sayang kedua orang tua karena ibuku yang mengasuhnya dari kecil. Ke mana bapak ibunya? Aku
tidak bisa menceritakannya di sini.

Dia sangat pendiam. Dia tak mau bilang kalau dia tak paham dengan materi pelajaran. Aku pernah sampai nangis-nangis mengajarinya matematika gara-gara tujuh dikalikan delapan saja dia mikirnya lamaaaa sekali. Sering aku bicara padanya dengan nada tinggi, mendiamkannya, bahkan meninggalkannya saat pelajaran menghitung karena aku tidak cukup sabar menghadapinya.

Seperti biasa, penyesalan selalu datang belakangan. Aku lupa, orang tuanya tidak di sampingnya. Boro-boro menemani dia menghitung langkah ayamnya, pulang ke rumah saja bisa dihitung berapa kali dalam setahun. Well, aku merasa sangat berdosa. Aku semacam ingin menebus kesalahan itu tapi dengan cara apa?

Ceritaku belum selesai. Ternyata Tuhan mempertemukanku dengan seseorang yang menjadi jalanku memperbaiki kesalahan di masa silam. Aku memanfaatkan sisa waktu luang sekolahku untuk mengajar privat. Muridku kelas lima esde yang diasuh oleh bukan kedua orang tuanya.

Kepada dia, aku selalu berhati-hati dalam mengaktualisasikan pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Kepada dia, aku tidak berani menyinggung perihal orang tua apalagi bertanya tentang bapak ibunya. Dengan dia, aku belajar menahan diri yang ternyata sulit sekali. Ini kesempatan yang baik untuk memperbaiki kesalahan. Kesabaranku harus naik level. Hamdalah, bahasa Inggrisnya bagus, namun, lagi-lagi, kemampuan berhitungnya lamban. Well, dia sangat membutuhkan teman belajar yang penyabar.

Kansa tertegun mendengar ceritaku. Ternyata memang ada orang-orang yang beribu-bapak namun tak merasakan asuhan keduanya. Orang-orang macam itu, sangkaku akan lebih berkembang. Sepupuku, yang setelah lulus esde tak pernah bertemu denganku lagi, yang katanya selama esema sering berbuat onar di sekolahnya, tetiba mengabariku sudah diterima jadi mahasiswa Teknik Informatika di salah satu PTS terbaik di Jogja. 

LWell, mereka sudah diajarkan kerasnya hidup sejak bahkan masih belia. Kenakalan mereka, pendiamnya mereka, pun kepayahan belajar mereka, adalah kewajaran. Kita hanya perlu bersabar untuk jangan sampai membiarkan mereka pandir. Mereka harus cerdas. Mereka harus bisa hidup. Mereka harus berhasil menjadi orang tua di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar