Minggu, 21 Oktober 2018

Peluk Aku 2 Menit


Dulu, aku pernah bertanya, dapatkah manusia memiliki manusia lain, dalam ikatan pernikahan sekalipun? Well, sesungguhnya ini pertanyaan Ani dalam serial AAI, sinetron yang paling aku gandrungi karena esensinya tidak melulu soal romantika remaja, tetapi lebih banyak ke bagaimana seharusnya otak remaja bekerja.


Aku masih sepakat kalau manusia sejatinya tidak pernah memiliki apapun karena jabatan 'pemilik' hanya Tuhan yang berhak memilikinya. Baju yang kita pakai, kendaraan yang kita lajukan, buku dan kaset serta kitab-kitab yang kita beli dengan uang sendiri, bahkan anak-anak yang lahir dari rahim seorang ibu, itu semua hanya titipan yang pada waktunya harus dikembalikan kepada empunya: Tuhan.

Hari ini yang akan segera menjadi kemarin, aku berlagak seperti Tuhan: memiliki kehilangan. Saudaraku, teman sejak dalam kandungan barangkali, telah resmi menjadi istri. Awalnya aku tidak habis pikir, mengapa dia memutuskan menikah bahkan ketika dia masih kuliah. Apakah dia tidak memikirkan perasaan orang tuanya, yang sudah melahirkan dan membesarkan? Banyak pengorbanan yang sudah mereka curahkan. Ketika sudah menemukan tambatan hati, secepat itukah kita menerima penawaran untuk berlanjut ke pelaminan? Apakah kita tidak jahat, dari kecil dirawat orang tua, pas sudah besar langsung diambil jadi istri orang yang baru dikenal kemarin, sebulan yang lalu, atau setahun silam? Apakah kita tidak ingin membahagiakan orang tua terlebih dahulu? Dengan prestasi yang membanggakan di sekolah, dengan berbakti menjadi seorang anak di rumah, atau dengan cara-cara lain yang mengejutkan.

Sekilas, aku tidak sepakat dengan keputusannya. Namun, setelah aku berpikir panjang, ah, memang, agaknya aku keliru. Siapakah aku yang berhak menghakimi kesalahan seseorang dalam memutuskan? Dia memilih jalan menikah muda di usia kedua puluh satu pasti penuh pertimbangan. Aku jadi berpikir kalau apapun keadaan kita, sebagai seorang anak harus berbakti kepada orang tua. Ketika memilih menikah muda, artinya kita meringankan amanah yang dibebankan Tuhan kepada orang tua kita. Bukankah tugas terakhir mereka adalah menikahkan? Well, ketika sudah menjadi istri, tanggung jawab kita sepenuhnya kepada suami. Dan kita masih punya banyak cara lain untuk berbakti kepada orang tua, misalnya dengan menjadi istri yang berbakti kepada suami tanpa mengurangi rasa hormat kepada ibu dan bapak kita.

Sebulan lagi aku tepat meninggalkan singgasana dua puluh satu. Mungkin karena faktor usia setua itu, aku melupakan perhatianku kepada dia, yang mempersilakan aku dua minggu lebih dulu untuk melihat matahari. Aku kesal, kesal sekali mengapa aku tidak dikabari tanggal penting pernikahannya. Aku kecewa mengapa aku tahu kabar baik ini dari orang lain. Awalnya aku berang padanya. Namun, setelah berkontemplasi, seharusnya aku berang pada diriku sendiri, kesal dan kecewa kepada diriku sendiri. Mengapa aku tidak pernah menanyakan hal ini padahal kami pernah membahasnya jauh-jauh hari? Ke mana saja aku? Mengapa kesibukan duniaku melenakan aku terhadap orang yang telah menemaniku bermain sejak kecil? Aku jahat sekali ya, sungguh!

Aku merasa sangat kesulitan untuk memaafkan diriku sendiri. Aku tahu,menangisi semua ini tidak akan menyelesaikan masalah. Pun meminta maaf, rasa-rasanya tidak akan mengubah keadaan 'aku telah jahat sekali melupakan dia'. So, aku harus bagaimana? Ini sungguh menyiksa.
Pada prosesi akad, aku tidak datang. Namun, pada resepsi nanti, aku tidak ingin kehilangan momen lagi. Bagaimanapun, aku harus pulang. Daann, seperti dugaanku sebelumnya, aku tidak mampu membendung tangisku saat kesempatan mempertemukan kami. Sungguh, upayaku meminta maaf sama sekali tidak bisa mengurangi rasa bersalahku pada dia. Aku meminta diri untuk memeluknya, seketika tangisku makin pecah. Aku seakan tidak peduli dengan kalimat-kalimatnya yang berusaha menenangkanku. Pelukan kami yang tidak lebih dari seratus dua puluh detik, sudah cukup membuatku sedikit lebih baik.

Aku datang. Aku datang pada resepsinya dan menyerahkan waktuku padanya. Aku menceritakan semuanya. Tentang kejahatanku melupakan dia. Tentang marah dan kecewaku pada diriku sendiri. Pun tentang rasa sedih dan bahagia yang sempurna datang bersamaan. Di ruangannya, kami terbalut haru. Dan pelukan yang menguras emosi itu, telah meruntuhkan gemuruh kegelisahan di hati dan pikiran.
Selamat menempuh hidup baru. Semoga Tuhan memberikan berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan.


Malam yang senyap, 21 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar