Senin, 17 Agustus 2020

Menjelajah Manusia

Guru pamongku bilang, meneliti objek bergerak seperti manusia itu menyenangkan. Mereka bisa kita ajak bercerita tentang buku pelajaran atau sejarah nabi-nabi, jalan-jalan ke ladang atau sawah petani, nonton film di bioskop rumah-rumah, makan besar di kantin dekat pasar, dan masih banyak lagi kegiatan yang dapat dilakukan bersama-sama. 

Enam belas Agustus ialah hari kesekianku magang di salah satu sekolah di Kota P. Seperti yang sudah-sudah, bulan Agustus selalu jadi momentum lomba-lomba memeriahkan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali di sekolahku. Bercerita tentang sekolah, tentang cinta dan cita-cita, tentang peserta didik dan pendidik, tentang kantin dan perpustakaan, tentang lapangan olahraga yang membakar ari, atau sudut-sudut lainnya, selalu menjadi topik yang seru untuk diceritakan.

Suatu siang, aku dan seorang teman keluar dari sangkar—posko magang. Bersemedi di posko sambil nonton film memanglah sangat membosankan. Benar saja, baru beberapa langkah kaki meninggalkan posko, suatu insiden menyita perhatian. Lapangan olahraga yang semula ramai dipenuhi anak-anak bermain futsal saat jam istirahat seketika menjadi gaduh tidak terkondisikan. Ketidaksportifan salah seorang pemain memancing amarah lawan main. Istilah kerennya, “senggol dikit bacok”. Perkelahian pun tak terelakkan.

Semua pandang tertuju ke lapangan yang panas silaunya langsung dari terik matahari. Sudah panas begitu, perkelahian menambah suasana makin panas.

Aku menyaksikan insiden itu dari lantai dua gedung bercat dominan abu-abu. Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melerai. Bukannya aku tidak peduli, melainkan aku takut kalau-kalau niat baikku justru mencelakaiku. Rangkaian magangku masih panjang, aku harus sebisa mungkin menjaga diri agar jangan sampai sakit atau terluka. Jadi, aku diam saja, takzim sebagai penonton. Aku pikir, ini ialah kejadian yang sangat langka, ditayangkan secara langsung atas skenario Tuhan. Hehehe

Beberapa teman yang terlibat dalam pertandingan futsal mencoba melerai, sayangnya gagal. Kedua pemain yang berselisih tampak sama-sama kuat. Saling tonjok dan saling jorok terjadi. Dari arah ruang kesiswaan, seorang guru tampak berlari untuk memisahkan dua jagoan lapangan yang sedang bersitegang urat leher. Setelah mendapat teguran, keduanya melangkah mundur. Antartim menarik jagoan masing-masing, menggeretnya menuju kelas karena jam istirahat pun akan segera berakhir.

Lapangan kembali sepi. Namun, perkelahian ternyata tidak selesai di bawah terik matahari. Seorang jagoan dengan berjalan penuh amarah menghampiri kelas sang musuh. Merasa belum puas, perkelahian mereka lanjutkan dalam kelas. Lagi-lagi sang guru melerai. Sang jagoan didepak untuk kembali ke kelasnya. Bel pertanda jam pelajaran dimulai sempurna membisingi telinga.

Melihat anak-anak berduyun-duyun memasuki kelas masing-masing, aku beranjak turun menuju musala untuk menjalankan salat zuhur. Di perjalanan menyapa Tuhan, aku berceloteh dengan seorang teman.

“Aku tidak yakin perkelahian itu selesai begitu saja,” ujarku seraya menengok ke lokasi insiden.

“Di luar sekolah, boleh jadi akan berlanjut,” sahutnya menanggapi.

“Ternyata perkelahian anak esema tidak hanya ada di film saja, ya? Realitasnya benar-benar ada, bahkan dekat sekali dengan kita,” sambungku tersenyum sarat ironi.

Melihat kenyataan seperti itu, aku jadi merasa beruntung. Selama ini aku berada di lingkungan yang jauh dari gejala permusuhan yang melibatkan fisik atas amarah yang membuncah. Sekalinya bertemu, yang tampak olehku hanyalah percekcokan verbal, semacam adu mulut saling menghina satu sama lain, tidak sampai berdarah-darah. Di sini, pelajaran tentang masalah sosial yang kudapat dari kelas empat esde dulu, tentang salah satu dampak negatif globalisasi, hari ini benar-benar aku hadapi, dengan mataku sendiri.

Belum lagi selesai masalah perselisihan dalam futsal, dinamika lain lekat dalam bingkai apatisme dan individualisme. Selama dua minggu magang, aku tidak menemukan kelas yang kondusif. Beberapa kelas yang kuobservasi, selalu saja ada trouble maker, pembuat onar yang menguras emosi. Dia kuajak berdiskusi tidak mau. Diajak belajar minta nanti dulu, nanti lagi, nanti terus, sampai habis waktu pelajaran. Diajak serius selalu banyak alasan untuk bercanda. Menghadapi satu orang trouble maker rasanya begitu melelahkan. Satu saja capek, apalagi jika dua, tiga, banyak? Ah, betapa sulitnya mangajak untuk menjadi rajin kepada orang-orang yang sudah pasrah menerima takdir menjadi pemalas.

Belum lagi drama dengan guru pamong. Karena kesibukan beliau yang sedang menempuh studi lagi, beliau jadi sulit sekali untuk ditemui. Sekalinya bisa bertemu, cuma sebentar. Namun, sebentarnya pertemuan kami sangat berfaedah, fokus, dan bersasaran. Kemudahan dalam hal pemberian tugas juga tidak pernah membikinku merasa tertekan. Itu sungguh sangat membantuku. Selain itu, gaya mengajar beliau sangat memotivasi. Awalnya aku pesimis, tidak mungkin aku bisa mengajar siswa yang apatis bukan bikinan. Tidak mungkin aku sanggup mengajar di mimbar kelas seperti mengajar patung. Jangankan untuk membentuk karakter, mampu mengajak anak-anak untuk serius mengerjakan tugas saja itu sudah beruntung. Jangankan untuk berteman akrab dengan anak-anak, mampu mengajak mereka untuk berinteraksi saat pelajaran saja sudah alhamdulillah.

Memasuki minggu ketiga, ada satu kelas yang kuprediksi, aku akan jatuh hati pada penghuninya, pun semua atmosfer yang ada di dalamnya. Penghakiman pertamaku, kelas itu ialah kelas yang aku idamkan. Kelas yang kekompakannya terjaga. Kelas yang kepeduliannya terhadap teman sangat tinggi. Kelas yang supel, dapat menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan. Kelas yang dapat tenang pada tempatnya, berisik juga pada tempatnya. Kyaa, akhirnya, aku bertemu mereka juga.

Melihat mereka, aku seperti sedang hidup di masa sekolah. Kelas itu diketuai oleh seseorang yang dari kovernya tampak sangar. Penampilannya berhasil menipuku. Penilaian awalku padanya benar-benar keliru. Dia sosok yang cukup menyenangkan sebagai teman ngobrol dan sangat bisa diajak untuk bekerja sama. Gayanya yang sangar itu sempurna mengingatkanku pada ketua kelasku saat kelas sembilan dulu. Kalau dilihat dari penampilan, ketua yang akrab disapa kepala sukuku itu sangat tidak masuk perhitungan untuk dijadikan ketua kelas. Dia menerima takdir sebagai orang nomor satu juga karena memang teman-teman sekelas tidak memberinya pilihan untuk menolak. Hahaha

Kesolidan kelas sembilanku dulu akhirnya aku temukan lagi di sini, di tempat magang ini. Pada mulanya aku kesal, mengapa aku tidak ditempatkan di esempe yang mayoritas siswanya belum cukup dewasa, mudah dibentuk, dan bisa diajak main uno? Mengapa aku ditempatkan di esema yang mayoritas siswanya sudah sudah kental dengan individualisme, yang tingkat kepeduliannya hanya dengan kelompok-kelompok kecilnya saja? Namun, kekesalanku sudah terpatahkan oleh rasa syukur. Tanpa perkelahian yang membikin mataku terpicing, tanpa guru pamong yang mendorong semangatku untuk terus meneliti manusia, tanpa kesolidan kelas yang menggetarkan hatiku, aku tidak mungkin membikin catatan ini. 

Terima kasih, anak-anak yang dewasa! Terima kasih, guru pamong yang mendewasakan! Terima kasih! Aku akan tetap meneliti manusia, dari segala sudut pandang, yang baik, juga sisi buruknya.

 

Purwokerto, 16 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar