Pagi yang kelam menandakan cuaca yang tak bersemangat.
Seorang gadis periang mengendarai motornya menuju sekolah barunya. Baru saja ia
menuntaskan pendidikannya di SMP, kini ia melanjutkan studinya di SMA SEMAKIN
JAYA. Sahabat yang masih terus digandengnya sejak ia masih duduk di bangku SD
adalah Agni. Sedang dia sendiri, sebut saja Acha. Nama asli dari Acha
Ramadhani, sosok idola ketika ia duduk di bangku putih biru. Yang ia yakini, ia
telah menjadi remaja seutuhnya. Tidak bisa jika dikatakan anak-anak lagi.
Terlalu sempit kalimat ini jika diucapkan. Gadis pintar dan cantik ini masih
bertahan dengan style nya yang
sederhana. Itulah yang membuat orang lain kagum terhadapnya.
“Cha, kamu dicari oleh Bu Winda.” Ucap Agni, sahabat
sejati Acha.
“Bu Winda? Ada apa ya?” sahut Acha dengan tatapan
sangsinya.
“Nggak tahu deh, tapi Bu Winda sempat tanya-tanya tentang
hobi menyanyimu. Sepertinya kau akan diikutkan lomba menyanyi. J” jawab
Agni menjelaskan.
Acha hanya tersenyum mengangguk mengiyakan dan lekas pergi meninggalkan
Agni setelah ia mengucapkan terima kasih atas info yang diberikan oleh
sahabatnya itu.
Bergegas ia menuju ruangan Bu Winda, dan benar saja bahwa
ia akan segera mengikuti Festival Seni Surakarta sebagai wakil dari Semarang.
Dua minggu lagi. Sungguh terlalu singkat bukan? Tapi tidak bagi Acha. Sudah
terlalu sering ia mengikuti kompetisi layak ini. Dan sesering itu, tak sedikit trophy ia boyong mengharumkan nama
sekolah.
***festival seni***
Semangat dari sahabat dan orang-orang disekelilingnya
membuatnya yakin bahwa dia akan mampu menaklukan tantangan ini. Tidak perlu
perasaan nervest, ia sudah terbiasa
menghadapi lawan-lawan yang oke
bahkan mengerikan yang kadang tak pernah ia duga.
“Hmm, segar sekali udara pagi ini. Sesegar semangatku
melawan hari.” Gumam gadis manis pemilik nama Acha ini.
Ruangan yang cukup luas. Cukup jelas pula siapa saja
orang yang tengah berada disana. Bagaimana tidak? Pendopo itu terbuka, yang
menyebabkan orang akan dengan mudah melihat siapa saja yang ada di
sekelilingnya. Setiap titik ia nikmati dengan perasaan bangga bisa berdiri
bersama orang-orang hebat yang belum satu pun ia mengenalnya. Pemuda paruh baya
mendekat menghampiri sang gadis.
“Hey...?” sapa sang pemuda tampan memulai pembicaraan.
“Yah, kamu peserta menyanyi juga?” tanya Acha membalas
sapaan santun si pemuda yang belum ia ketahui namanya.
“Yep. Kamu dari mana?” tanya si pemuda berkulit kuning
itu.
“Semarang. Kamu?”
“Temanggung.” Jawabnya singkat.
Sound system yang nyaring terdengar agak keras membuat pembicaraan kedua sejoli ini
terputus. Acara akan segera dimulai. Ya, acara dimulai setelah alunan gong
dibunyikan pertanda pembukaan acara. Gadis manis ini memasang wajah tenangnya
dihadapan semua. Tak heran bila si pemuda ini tampak penasaran dan ingin
mengenalnya lebih dekat. Bagaimana caranya? Dengan melihat profil sang gadis
yang berada di tangan panitia. Berhasil. Pemuda ini sukses dengan usaha
nekatnya.
*****
“Gimana lombanya, Cha? Sukses?” tanya Agni penasaran
dengan hasil usaha Acha untuk mendapatkan juara.
“Kalah. Aku nomer 2. Yang jadi winner itu dari SMA SELALU JAYA Temanggung.” Ucapnya dengan
perasaan sedikit kecewa.
Agni hanya membalas “hmm” dan mencoba untuk terus memberikan semangat
pada sohibnya itu.
“Aku bertemu dengan seorang pemuda menawan disana. Dialah
pemenangnya.” Lanjut Acha semangat.
“Dan kamu suka padanya?” tanya Agni.
“Hmm, namanya saja tidak tahu. Sudahlah, lupakan.” Ujar
Acha pasti.
Sepertinya Agni tidak asing terhadap ungkapan sohibnya
barusaja. Dan ia teringat pada kerabatnya yang tinggal di Temanggung yang
pandai menyanyi pula. Kemudian ia urut-urutkan dengan cerita Acha tentang
pemuda asal Temanggung itu. Dan hasilnya, pemuda itu adalah kerabatnya ketika
ia tinggal bersama neneknya. Adanya raut bahagia yang muncul di senyum Acha.
Ingin rasanya ia menanyakan pemuda itu tapi ia sungkan. Ingin pula Agni
menceritakan sekilas tentang pemuda kerabatnya itu, tapi ia tak yakin. Yang
Agni takutkan, Acha tak bisa menerima kenyataan walau itu pahit. Karena ia
rasa, Acha suka pada pemuda itu.
***malam bintang***
Acha masih bertahan dengan pandangannya pada sosok pemuda
yang baru saja ia kenal. Tidak tahu siapa, yang pasti cukup membuat jantung
Acha bergetar lebih cepat jika mengingat pemuda asal kota bermaskot Temanggung
Bersenyum itu.
“Drrt...drrrt...” getar handphone Acha membuyarkan
lamunannya. Segera ia buka message di
ponselnya yang berbunyi, “hey...”
Acha mulai teringat kembali saat kali pertama berjumpa dengan pemuda
itu adalah sapaan “hey”. Ia mencoba membalas inbox itu, “sepertinya aku
mengenalmu...” jawabnya.
“darimana kau tahu?”
“engkau sendiri pernah mengatakannya padaku, bukan?”
“ingatanmu tajam juga!”
“hmm...”
“kau tidak menanyakan siapa namaku?”
“hmm, memangnya siapa? Ohya, congrats yah for your success J “
“terima kasih, Acha...suaramu bagus..bahkan sesungguhnya
kau jauh lebih baik dariku”
“kau tahu namaku?”
Pemuda itu tak membalas pesan singkat itu. Sepertinya
Acha tengah dibuat penasaran olehnya. Keesokkan paginya, ia ceritakan semua
yang terjadi malam itu pada Agni, sahabatnya. Dan Agni, hanya berperan sebagai
pendengar yang baik saja. Tak sepatah kata pun ia lontarkan, meskipun ia tahu
siapa pemuda itu. Ketakutannya benar-benar memaksa Agni untuk tidak
menceritakan sesuatu tentang pemuda itu pada Acha. Dan sesuai janji Agni
dahulu, bahwa ia tidak akan bercerita apapun, dan terhadap siapapun tentang
sosok menawan ini.
*****
Sekali lagi pesan masuk dari pemuda itu membawa semangat bagi Acha.
“Aku cinta orang-orang yang baik...”
“Sepertiku. Hahaha :p” balas Acha berhasil menoyornya.
“ya, itu benar..”
“maksudnya bagaimana? Aku hanya bercanda.”
“aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Tertawa dan
menangis bersamamu.”
Acha kembali menderita serangan jantung. Rasanya ia sedang bermimpi bisa
bercakap dengan pemuda yang benar mampu membuat hatinya luluh.
“suaramu bagus. Tulisanmu juga. Aku suka.” Puji si pemuda
terhadap gadisnya.
“kalau kau suka tulisanku, maka aku suka kalimatmu.
Sepertinya kau lebih pantas menjadi penyair saja.” Sambung Acha.
Terlalu jauh Acha berhubungan dengan orang yang baru saja ia kenal.
Tapi secepat itu pula pemuda itu berhasil masuk ke sebagian ruang hatinya.
***long distance***
Telah setahun lebih long
distance ini mereka jalani. Keduanya sama-sama mendapat semangat baru dalam
hidupnya. Sampai satu kompetisi lagi hadir yang membawa mereka pada pertemuan
singkat yang pernah mereka alami. Festival Seni Surakarta. Betapa senangnya
keduanya bertemu kembali.
“dulu mereka pernah
bertemu dalam keadaan yang baik-baik saja. Kali ini mereka dipertemukan kembali, masih di tempat yang
sama, yang tampak lebih indah dari setahun yang lalu.”
Gadis manis berdiri di sebuah stand, suara gesekan sepatu menyamai langkah terdengar mendekat.
Tampak dari arah belakang, sang pemuda menyentuh bahu Acha.
“Hey...” sapanya.
“Ahito...” ucap Acha girang melihat pemudanya yang lebih
dikenal dengan sapaan Ito, lalu ia lanjutkan “engkau tampak berbeda.” Ucapnya
pada pemilik hatinya itu.
“Lebih menawan, bukan?” ledeknya.
Keduanya sangat rindu saat pertama jumpa. Bagaimana Ito
memulai pembicaraan hingga berakhir saling memahat janji dalam hati mereka.
Calon penulis dan penyair saling memadu kasih di surga dunia yang amat luasnya.
Suatu hari... dikala kita
duduk di tepi pantai...
Dan memandang ombak di lautan
yang kian menepi
Burung camar... terbang
bermain di derunya air...
Suara alam ini hangatkan jiwa
kita
Sementara... sinar surya perlahan mulai menepi
Suara gitarmu...
mengalunkan melodi tentang cinta
Ada hati membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa tercurah saat itu
Kemesraan ini janganlah cepat
berlalu
Kemesraan ini ingin ku kenang
selalu
Hatiku damai jiwaku tenang di
sampingmu
Hatiku damai jiwaku tentram
bersamamu...
Ito, pemuda yang selama ini menjadi something
Acha, kali itu mengenakan kacamata myopi.
Jauh berbeda dengan saat pertama jumpa. Rasanya, ada yang disembunyikan Ito
terhadap gadisnya. Dan masih dengan nasib yang sama, lagi-lagi Ito memenangkan
kompetisi ini. Belum puas mereka bersama, waktu sudah memaksa mereka untuk
berpisah. Ini merupakan kali kedua perpisahan mereka hadapi.
“Acha, Ito benar-benar tak ingin berpisah lagi dengan
Acha. Terlanjur Ito menyayangi Acha
*****
“Cha, bagaimana pertemuan singkatnya?” tanya Agni ketika hari
sekolah sebelum bel masuk berdentang.
“Kok tidak kau tanyakan aku mendapat juara berapa sih,
Ag...?” celoteh Acha.
“Hahaha, aku tahu engkau pasti nomer 2, bukan? Masih
dengan hasil yang sama, bukan? Hahaha J sohibku yang di
Temanggung itu memang belum bisa kau saingi, Cha...! Tahun depan barangkali,
Cha...” celetuk Agni sukses membuat Acha bingung.
“Tahun depan? Ada apa dengan tahun depan? Ohya, Ag, Ito
sekarang mengenakan kacamata. Tetapi dia tampak lebih menawan menurutku.” Kata
Acha tersenyum gaje.
“Cha...”
“Iya, Ag...? What’s
wrong, Ag?” tanya Acha sedikit
memaksa Agni untuk jujur menjawab.
“Kacamata yang Ito kenakan kemarin,...” ucap Agni
menggantung.
“Dia bilang dia myopi,
Ag.”
“Ito sedang kritis, Ik... L kanker
nakal yang singgah di mata kanannya, sudah berhasil masuk ke sebagian otaknya.”
“Kanker? Nggak mungkin, Ag. Kemarin Ito baik-baik saja.
Mana mungkin sekarang ia kritis. Kau jangan bohong, Ag. Aku tidak suka
pembual...!” ujar Acha dengan ketusnya.
“Tahukah kamu, Ik? Setahun ini, Ito telah sukses
berperang melawan kelenjar nakal itu. Semua itu berkat kamu. Maaf karena aku
baru memberitahu hal ini. ”
Mendengar kepahitan itu, rasanya Acha benar-benar
terpuruk dan ingin segera menemui Ito. Apapun yang terjadi, ia ingin berjumpa
dengan pemudanya kali itu juga.
***di rumah sakit***
Sepulang sekolah, dengan modal nekat ia memberanikan diri
untuk meminta izin kepada kedua ayah dan bundanya untuk pergi ke tempat dimana Ito
sedang dirawat. Tak banyak kata izin ia lontarkan, ayah bundanya telah
memberikan restu. Restu orang tuanya ia genggam dengan sebuah janji bahwa ia
akan kembali dalam keadaan baik. Sesampainya di rumah sakit, ia jumpai keluarga
Ito tengah berkumpul di ruangan yang serba putih itu menantikan Ito agar segera
membuka kedua matanya. Kedatangan Acha dan Agni membawa pertanda baik bagi
keluarga Ito. Mereka sangat berharap agar Iito lekas terbangun dari tidurnya
yang sudah hampir dua puluh empat jam. Ranjang putih itu masih hangat oleh
tubuh Ito yang dipenuhi oleh alat-alat medis yang tak semua orang awam mengetahui
namanya.
“Bunnn...” ucap Ito dengan terbata-bata mulai sadar.
“Ito, Nak? Ini bunda sayang. Engkau sudah bangun, Nak... J” jawab
sang bunda seraya tersenyum melihat buah hatinya sadar.
Acha tampak begitu gembira melihat pemudanya kembali
dengan senyumnya yang menawan. Ingin rasanya ia peluk erat Ito. Dan tak ingin
ia lepaskan untuk yang ketiga kalinya.
“Oo...o..Acha, Bun?” kata Ito menanyakan kehadiran Acha.
Sang bunda hanya menjelaskan bahwa Acha tengah berada di
samping Ito. Dan segera ia tinggalkan ruangan itu beserta segenap keluarga
untuk membiarkan kedua sejoli ini bicara.
Keduanya masih diam tanpa saepatah kata pun, seiring dengan keheningan
suasana kali itu. Akhirnya Ito mulai membuka mulut kecilnya dan bicara.
“Maaf...”
“Kamu jahat.” Balas Acha dengan perasaan kecewa.
“Aku tidak ingin kamu menangis, Cha... jadi tersenyumlah
untukku. Seperseribu hatiku sudah dipenuhi sesak oleh namamu.” Gumam Ito manja
di hadapan gadisnya.
“Ito ini sedang sakit. Masih saja membual. Acha tak butuh
syair dari Ito. Yang Acha butuhkan adalah Ito sembuh.” Celoteh Acha berharap
Tuhan berpihak padanya.
“Tetapi aku tidak yakin bagaimana?” tanya Ito polos.
“Kalau Ito tidak yakin dengan diri Ito sendiri, bagaimana
Tuhan akan yakin dan percaya?” Pesan Acha membangkitkan semangat pemudanya.
“Seberapa besarkah sayangmu padaku, Cha?” tanya Ito lagi.
“Sebagian sayangku untuk Tuhanku. Sebagian lagi untuk
kedua ayah bundaku juga keluarga dan sahabat. Dan sisanya untuk Ito. Tapi yang
perlu Ito tahu, sayangnya Acha pada Ito itu lebih dari apa yang Ito kira.”
“Sekarang engkau yang jadi penyair.” Gumam Ito tertawa
puas.
“Itu kalimatmu sendiri. Ito pernah katakan itu
sebelumnya. Acha sih, hanya copas saja. Hehehe J” ujar
Acha membuyarkan suasana yang semula tegang.
Keduanya hanyut. Hingga tidak terasa panjang lebar kata
terucap di ruangan yang identik dengan obat itu.
“Ito, Acha ingat saat pertemuan pertama, sehingga Acha
mengenalmu. Butuh sehari saja aku mampu menyayangimu.” Ucap Acha seakan
bernostalgia. Ito tak kunjung membalas celotehan Acha barusaja.
“Dan aku juga ingat bagaimana kalimatmu yang membawa
semangat untukku melawan hari.” Ito tidak juga bergumam. Jangankan bicara,
bergerak saja tidak. Dan saat itulah Acha tersadar bahwa pemudanya telah pergi
meninggalakannya tanpa pamit. Tangis isak Acha terdengar dari arah luar dan
membawa keluarga Ito untuk masuk. Air mata sungguh tak bisa mereka bendung
lagi. Bagaimanapun,Ito telah tiada. Dan mereka harus ikhlas menerima kepahitan
ini.
*****
“Cha, yang sabar ya... aku yakin Ito tersenyum bahagia
disana. Menyaksikanmu bahagia disini.” Ucap Agni berusaha memberikan semangat
pada Acha.
Dengan pandangan kedepan yang tujuannya kemana, Acha
menjawab, “kemesraan adalah lagu terakhir yang pernah kunyanyikan bersama Ito.
Ternyata benar apa kata penyair itu (Ahito). Cinta itu datangnya tak diundang,
dan perginya nyelonong begitu saja.”
“Perpisahan memang suatu keharusan, Cha”
“Dan benar juga kalimat penyair itu... saat lahir, kita
menangis dan orang-orang di sekitar kita tersenyum. Penyair itu juga berpesan
agar kita selalu menebarkan semangat hingga ajal menjemput. Kita tersenyum dan
orang-orang sekitar kita menangis.” Gumam Acha sembari tersenyum menengadah ke
langit.
Kedungreja,
16 April 2013 16:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar