Selasa, 26 Februari 2013

Long Distance

Pagi yang kelam menandakan cuaca yang tak bersemangat. Seorang gadis periang mengendarai motornya menuju sekolah barunya. Baru saja ia menuntaskan pendidikannya di SMP, kini ia melanjutkan studinya di SMA SEMAKIN JAYA. Sahabat yang masih terus digandengnya sejak ia masih duduk di bangku SD adalah Agni. Sedang dia sendiri, sebut saja Acha. Nama asli dari Acha Ramadhani, sosok idola ketika ia duduk di bangku putih biru. Yang ia yakini, ia telah menjadi remaja seutuhnya. Tidak bisa jika dikatakan anak-anak lagi. Terlalu sempit kalimat ini jika diucapkan. Gadis pintar dan cantik ini masih bertahan dengan style nya yang sederhana. Itulah yang membuat orang lain kagum terhadapnya.
“Cha, kamu dicari oleh Bu Winda.” Ucap Agni, sahabat sejati Acha.
“Bu Winda? Ada apa ya?” sahut Acha dengan tatapan sangsinya.

“Nggak tahu deh, tapi Bu Winda sempat tanya-tanya tentang hobi menyanyimu. Sepertinya kau akan diikutkan lomba menyanyi. J” jawab Agni menjelaskan.
Acha hanya tersenyum mengangguk mengiyakan dan lekas pergi meninggalkan Agni setelah ia mengucapkan terima kasih atas info yang diberikan oleh sahabatnya itu.
Bergegas ia menuju ruangan Bu Winda, dan benar saja bahwa ia akan segera mengikuti Festival Seni Surakarta sebagai wakil dari Semarang. Dua minggu lagi. Sungguh terlalu singkat bukan? Tapi tidak bagi Acha. Sudah terlalu sering ia mengikuti kompetisi layak ini. Dan sesering itu, tak sedikit trophy ia boyong mengharumkan nama sekolah.
***festival seni***
Semangat dari sahabat dan orang-orang disekelilingnya membuatnya yakin bahwa dia akan mampu menaklukan tantangan ini. Tidak perlu perasaan nervest, ia sudah terbiasa menghadapi lawan-lawan yang oke bahkan mengerikan yang kadang tak pernah ia duga.
“Hmm, segar sekali udara pagi ini. Sesegar semangatku melawan hari.” Gumam gadis manis pemilik nama Acha ini.
Ruangan yang cukup luas. Cukup jelas pula siapa saja orang yang tengah berada disana. Bagaimana tidak? Pendopo itu terbuka, yang menyebabkan orang akan dengan mudah melihat siapa saja yang ada di sekelilingnya. Setiap titik ia nikmati dengan perasaan bangga bisa berdiri bersama orang-orang hebat yang belum satu pun ia mengenalnya. Pemuda paruh baya mendekat menghampiri sang gadis.
“Hey...?” sapa sang pemuda tampan memulai pembicaraan.
“Yah, kamu peserta menyanyi juga?” tanya Acha membalas sapaan santun si pemuda yang belum ia ketahui namanya.
“Yep. Kamu dari mana?” tanya si pemuda berkulit kuning itu.
“Semarang. Kamu?”
“Temanggung.” Jawabnya singkat.
Sound system yang nyaring terdengar agak keras membuat pembicaraan kedua sejoli ini terputus. Acara akan segera dimulai. Ya, acara dimulai setelah alunan gong dibunyikan pertanda pembukaan acara. Gadis manis ini memasang wajah tenangnya dihadapan semua. Tak heran bila si pemuda ini tampak penasaran dan ingin mengenalnya lebih dekat. Bagaimana caranya? Dengan melihat profil sang gadis yang berada di tangan panitia. Berhasil. Pemuda ini sukses dengan usaha nekatnya.
*****
“Gimana lombanya, Cha? Sukses?” tanya Agni penasaran dengan hasil usaha Acha untuk mendapatkan juara.
“Kalah. Aku nomer 2. Yang jadi winner itu dari SMA SELALU JAYA Temanggung.” Ucapnya dengan perasaan sedikit kecewa.
Agni hanya membalas “hmm” dan mencoba untuk terus memberikan semangat pada sohibnya itu.
“Aku bertemu dengan seorang pemuda menawan disana. Dialah pemenangnya.” Lanjut Acha semangat.
“Dan kamu suka padanya?” tanya Agni.
“Hmm, namanya saja tidak tahu. Sudahlah, lupakan.” Ujar Acha pasti.
Sepertinya Agni tidak asing terhadap ungkapan sohibnya barusaja. Dan ia teringat pada kerabatnya yang tinggal di Temanggung yang pandai menyanyi pula. Kemudian ia urut-urutkan dengan cerita Acha tentang pemuda asal Temanggung itu. Dan hasilnya, pemuda itu adalah kerabatnya ketika ia tinggal bersama neneknya. Adanya raut bahagia yang muncul di senyum Acha. Ingin rasanya ia menanyakan pemuda itu tapi ia sungkan. Ingin pula Agni menceritakan sekilas tentang pemuda kerabatnya itu, tapi ia tak yakin. Yang Agni takutkan, Acha tak bisa menerima kenyataan walau itu pahit. Karena ia rasa, Acha suka pada pemuda itu.
***malam bintang***
Acha masih bertahan dengan pandangannya pada sosok pemuda yang baru saja ia kenal. Tidak tahu siapa, yang pasti cukup membuat jantung Acha bergetar lebih cepat jika mengingat pemuda asal kota bermaskot Temanggung Bersenyum itu.
“Drrt...drrrt...” getar handphone Acha membuyarkan lamunannya. Segera ia buka message di ponselnya yang berbunyi, “hey...”
Acha mulai teringat kembali saat kali pertama berjumpa dengan pemuda itu adalah sapaan “hey”. Ia mencoba membalas inbox itu, “sepertinya aku mengenalmu...” jawabnya.
“darimana kau tahu?”
“engkau sendiri pernah mengatakannya padaku, bukan?”
“ingatanmu tajam juga!”
“hmm...”
“kau tidak menanyakan siapa namaku?”
“hmm, memangnya siapa? Ohya, congrats yah for your success J
“terima kasih, Acha...suaramu bagus..bahkan sesungguhnya kau jauh lebih baik dariku”
“kau tahu namaku?”
Pemuda itu tak membalas pesan singkat itu. Sepertinya Acha tengah dibuat penasaran olehnya. Keesokkan paginya, ia ceritakan semua yang terjadi malam itu pada Agni, sahabatnya. Dan Agni, hanya berperan sebagai pendengar yang baik saja. Tak sepatah kata pun ia lontarkan, meskipun ia tahu siapa pemuda itu. Ketakutannya benar-benar memaksa Agni untuk tidak menceritakan sesuatu tentang pemuda itu pada Acha. Dan sesuai janji Agni dahulu, bahwa ia tidak akan bercerita apapun, dan terhadap siapapun tentang sosok menawan ini.
*****
Sekali lagi pesan masuk dari pemuda itu membawa semangat bagi Acha.
“Aku cinta orang-orang yang baik...”
“Sepertiku. Hahaha :p” balas Acha berhasil menoyornya.
“ya, itu benar..”
“maksudnya bagaimana? Aku hanya bercanda.”
“aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Tertawa dan menangis bersamamu.”
Acha kembali menderita serangan jantung. Rasanya ia sedang bermimpi bisa bercakap dengan pemuda yang benar mampu membuat hatinya luluh.
“suaramu bagus. Tulisanmu juga. Aku suka.” Puji si pemuda terhadap gadisnya.
“kalau kau suka tulisanku, maka aku suka kalimatmu. Sepertinya kau lebih pantas menjadi penyair saja.” Sambung Acha.

Terlalu jauh Acha berhubungan dengan orang yang baru saja ia kenal. Tapi secepat itu pula pemuda itu berhasil masuk ke sebagian ruang hatinya.
***long distance***
Telah setahun lebih long distance ini mereka jalani. Keduanya sama-sama mendapat semangat baru dalam hidupnya. Sampai satu kompetisi lagi hadir yang membawa mereka pada pertemuan singkat yang pernah mereka alami. Festival Seni Surakarta. Betapa senangnya keduanya bertemu kembali.
“dulu mereka pernah bertemu dalam keadaan yang baik-baik saja. Kali ini mereka dipertemukan kembali, masih di tempat yang sama, yang tampak lebih indah dari setahun yang lalu.”
Gadis manis berdiri di sebuah stand, suara gesekan sepatu menyamai langkah terdengar mendekat. Tampak dari arah belakang, sang pemuda menyentuh bahu Acha.
“Hey...” sapanya.
“Ahito...” ucap Acha girang melihat pemudanya yang lebih dikenal dengan sapaan Ito, lalu ia lanjutkan “engkau tampak berbeda.” Ucapnya pada pemilik hatinya itu.
“Lebih menawan, bukan?” ledeknya.
Keduanya sangat rindu saat pertama jumpa. Bagaimana Ito memulai pembicaraan hingga berakhir saling memahat janji dalam hati mereka. Calon penulis dan penyair saling memadu kasih di surga dunia yang amat luasnya.
Suatu hari... dikala kita duduk di tepi pantai...
Dan memandang ombak di lautan yang kian menepi
Burung camar... terbang bermain di derunya air...
Suara alam ini hangatkan jiwa kita
                Sementara... sinar surya perlahan mulai menepi
                Suara gitarmu...  mengalunkan melodi tentang cinta
                Ada hati membara erat bersatu
                Getar seluruh jiwa tercurah saat itu
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin ku kenang selalu
Hatiku damai jiwaku tenang di sampingmu
Hatiku damai jiwaku tentram bersamamu...
Ito, pemuda yang selama ini menjadi something Acha, kali itu mengenakan kacamata myopi. Jauh berbeda dengan saat pertama jumpa. Rasanya, ada yang disembunyikan Ito terhadap gadisnya. Dan masih dengan nasib yang sama, lagi-lagi Ito memenangkan kompetisi ini. Belum puas mereka bersama, waktu sudah memaksa mereka untuk berpisah. Ini merupakan kali kedua perpisahan mereka hadapi.
“Acha, Ito benar-benar tak ingin berpisah lagi dengan Acha. Terlanjur Ito menyayangi Acha
*****
“Cha, bagaimana pertemuan singkatnya?” tanya Agni ketika hari sekolah sebelum bel masuk berdentang.
“Kok tidak kau tanyakan aku mendapat juara berapa sih, Ag...?” celoteh Acha.
“Hahaha, aku tahu engkau pasti nomer 2, bukan? Masih dengan hasil yang sama, bukan? Hahaha J sohibku yang di Temanggung itu memang belum bisa kau saingi, Cha...! Tahun depan barangkali, Cha...” celetuk Agni sukses membuat Acha bingung.
“Tahun depan? Ada apa dengan tahun depan? Ohya, Ag, Ito sekarang mengenakan kacamata. Tetapi dia tampak lebih menawan menurutku.” Kata Acha tersenyum gaje.
“Cha...”
“Iya, Ag...? What’s wrong, Ag?” tanya Acha sedikit memaksa Agni untuk jujur menjawab.
“Kacamata yang Ito kenakan kemarin,...” ucap Agni menggantung.
“Dia bilang dia myopi, Ag.”
“Ito sedang kritis, Ik... L kanker nakal yang singgah di mata kanannya, sudah berhasil masuk ke sebagian otaknya.”
“Kanker? Nggak mungkin, Ag. Kemarin Ito baik-baik saja. Mana mungkin sekarang ia kritis. Kau jangan bohong, Ag. Aku tidak suka pembual...!” ujar Acha dengan ketusnya.
“Tahukah kamu, Ik? Setahun ini, Ito telah sukses berperang melawan kelenjar nakal itu. Semua itu berkat kamu. Maaf karena aku baru memberitahu hal ini. ”
Mendengar kepahitan itu, rasanya Acha benar-benar terpuruk dan ingin segera menemui Ito. Apapun yang terjadi, ia ingin berjumpa dengan pemudanya kali itu juga.
***di rumah sakit***
Sepulang sekolah, dengan modal nekat ia memberanikan diri untuk meminta izin kepada kedua ayah dan bundanya untuk pergi ke tempat dimana Ito sedang dirawat. Tak banyak kata izin ia lontarkan, ayah bundanya telah memberikan restu. Restu orang tuanya ia genggam dengan sebuah janji bahwa ia akan kembali dalam keadaan baik. Sesampainya di rumah sakit, ia jumpai keluarga Ito tengah berkumpul di ruangan yang serba putih itu menantikan Ito agar segera membuka kedua matanya. Kedatangan Acha dan Agni membawa pertanda baik bagi keluarga Ito. Mereka sangat berharap agar Iito lekas terbangun dari tidurnya yang sudah hampir dua puluh empat jam. Ranjang putih itu masih hangat oleh tubuh Ito yang dipenuhi oleh alat-alat medis yang tak semua orang awam mengetahui namanya.
“Bunnn...” ucap Ito dengan terbata-bata mulai sadar.
“Ito, Nak? Ini bunda sayang. Engkau sudah bangun, Nak... J” jawab sang bunda seraya tersenyum melihat buah hatinya sadar.
Acha tampak begitu gembira melihat pemudanya kembali dengan senyumnya yang menawan. Ingin rasanya ia peluk erat Ito. Dan tak ingin ia lepaskan untuk yang ketiga kalinya.
“Oo...o..Acha, Bun?” kata Ito menanyakan kehadiran Acha.
Sang bunda hanya menjelaskan bahwa Acha tengah berada di samping Ito. Dan segera ia tinggalkan ruangan itu beserta segenap keluarga untuk membiarkan kedua sejoli ini bicara.
Keduanya masih diam tanpa saepatah kata pun, seiring dengan keheningan suasana kali itu. Akhirnya Ito mulai membuka mulut kecilnya dan bicara.
“Maaf...”
“Kamu jahat.” Balas Acha dengan perasaan kecewa.
“Aku tidak ingin kamu menangis, Cha... jadi tersenyumlah untukku. Seperseribu hatiku sudah dipenuhi sesak oleh namamu.” Gumam Ito manja di hadapan gadisnya.
“Ito ini sedang sakit. Masih saja membual. Acha tak butuh syair dari Ito. Yang Acha butuhkan adalah Ito sembuh.” Celoteh Acha berharap Tuhan berpihak padanya.
“Tetapi aku tidak yakin bagaimana?” tanya Ito polos.
“Kalau Ito tidak yakin dengan diri Ito sendiri, bagaimana Tuhan akan yakin dan percaya?” Pesan Acha membangkitkan semangat pemudanya.
“Seberapa besarkah sayangmu padaku, Cha?” tanya Ito lagi.
“Sebagian sayangku untuk Tuhanku. Sebagian lagi untuk kedua ayah bundaku juga keluarga dan sahabat. Dan sisanya untuk Ito. Tapi yang perlu Ito tahu, sayangnya Acha pada Ito itu lebih dari apa yang Ito kira.”
“Sekarang engkau yang jadi penyair.” Gumam Ito tertawa puas.
“Itu kalimatmu sendiri. Ito pernah katakan itu sebelumnya. Acha sih, hanya copas saja. Hehehe J” ujar Acha membuyarkan suasana yang semula tegang.
Keduanya hanyut. Hingga tidak terasa panjang lebar kata terucap di ruangan yang identik dengan obat itu.
“Ito, Acha ingat saat pertemuan pertama, sehingga Acha mengenalmu. Butuh sehari saja aku mampu menyayangimu.” Ucap Acha seakan bernostalgia. Ito tak kunjung membalas celotehan Acha barusaja.
“Dan aku juga ingat bagaimana kalimatmu yang membawa semangat untukku melawan hari.” Ito tidak juga bergumam. Jangankan bicara, bergerak saja tidak. Dan saat itulah Acha tersadar bahwa pemudanya telah pergi meninggalakannya tanpa pamit. Tangis isak Acha terdengar dari arah luar dan membawa keluarga Ito untuk masuk. Air mata sungguh tak bisa mereka bendung lagi. Bagaimanapun,Ito telah tiada. Dan mereka harus ikhlas menerima kepahitan ini.
*****
“Cha, yang sabar ya... aku yakin Ito tersenyum bahagia disana. Menyaksikanmu bahagia disini.” Ucap Agni berusaha memberikan semangat pada Acha.
Dengan pandangan kedepan yang tujuannya kemana, Acha menjawab, “kemesraan adalah lagu terakhir yang pernah kunyanyikan bersama Ito. Ternyata benar apa kata penyair itu (Ahito). Cinta itu datangnya tak diundang, dan perginya nyelonong begitu saja.”
“Perpisahan memang suatu keharusan, Cha”
“Dan benar juga kalimat penyair itu... saat lahir, kita menangis dan orang-orang di sekitar kita tersenyum. Penyair itu juga berpesan agar kita selalu menebarkan semangat hingga ajal menjemput. Kita tersenyum dan orang-orang sekitar kita menangis.” Gumam Acha sembari tersenyum menengadah ke langit.
                                                                                                                                Kedungreja, 16 April 2013 16:44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar