Malam telah hilang, dan pagi telah
menyapa dengan segala tingkahnya yang membawa keriangan. Kicau burung terdengar
di sana sini seiring mentari yang mulai menyusup ke celah-celah ruang kelasku
yang cukup besar. Kelasku yang baru, rumah kedua yang kuharap ramai dan
menyenangkan. Cosin one.
Sadar maupun tidak, aku sudah
berhasil melewati rangkaian proses yang cukup panjang. Tidak terasa aku sudah
duduk di bangku puncak perjuangan di esema. Aku semakin dekat dengan kelulusan.
Belum ujian
sudah menyinggung kelulusan. Hehehe... tidak masalah. Jika mereka
mengartikan ujian sebagai suatu kengerian, aku akan menafsirkannya sebagai
suatu kesenangan. Karena ujian adalah bagian dari proses. Ya. Proses demi
proses telah kulewati dengan mulus. Meski tidak sedikit yang melenceng dari
harapanku, meski tidak sedikit yang sempat mengecewakanku, aku yakin sesudah
kesulitan pasti ada kemudahan. Karena ilahku yang mengatakan langsung dalam firman-Nya.
Innama’al ‘usriyusraa (QS 94:6).
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Aku merasa sangat
bersyukur masih berkesempatan menghirup nafas secara cuma-cuma. Ah tidak, aku
harus membayar nikmat bernafas di bumi Allah ini dengan ketaatanku pada ilahku.
*****
Masa Orientasi Siswa. Masa yang
paling keren untuk mengawali perjalanan panjangku di sekolah baru. Tugas ini
dan itu, nasihat ini dan itu pula. Masih teringat begitu jelas dalam rekaman CPUku. Menyadarkanku bahwa aku ini bukan
lagi anak kecil. Seragamku bukan putih biru lagi. Artinya aku sudah menginjak
usia remaja. Itulah fakta yan harus kuterima. Dan di pagi yang begitu cerah di musim
kemarau, matahari terasa menyengat hingga mendarat di kulitku dan kembali
menghadirkan suasana masa orientasi siswa. “Wah, aku punya adik baru lagi.”
senyumku mengembang di tengah hiruk pikuk adik-adik pendatang baru kelas
sepuluh.
Aku jadi teringat tentang
kebimbanganku akan melanjutkan studiku kemana. Tentang bagaimana kecemasanku dengan
nilai yang tertera di lembar ijazahku. Tentang bagaimana ekspresiku saat
diterima di sekolah pilihanku. Senang, gelisah, dan bimbang bercampur menjadi
gado-gado. Lengkap dengan bumbu kegalauan yang seru. (penullis lebay :D mwhehe #plaakk)
Di white board itu, di sanalah
aku menemukan namaku tercantum begitu jelas dalam baris daftar nama siswa di
sebuah sekolah di sisi kampung tersunyi Pulau Jawa. Aku sangat berterima kasih
pada sekolah yang kucintai karena Allah yang telah mau menghadirkan namaku dalam
daftar absen harian. Perjuangan yang tidak mudah untuk bisa duduk bersama
teman-teman yang ramai dan menyenangkan dalam mencari ilmu pengetahuan. Lulu,
teman sebangkuku, soulmateku yang
polos bin gaje yang maksimal. Makhrus, atau lebih kerap kusapa maus, Pak Kades
dengan pembawaan yang lucu dan memang selalu bisa menghadirkan kelucuan. Dwi,
sosok akhwat yang telah dengan ikhlas menemaniku dalam proses pendaftaran siswa
yang sempat memunculkan pesimisme. Terima kasih sudah mengajarkanku arti
optimis dengan bismillah. Dan teman-teman lainnya yang tak bisa kusebutkan satu
satu karena terlalu banyak. Mereka telah kuanggap sebagai keluarga.
“Mba Izka, saya kok selalu ngerasa
sendiri ya? Padahal banyak sekali teman di samping saya.” Keluh seorang adik
kelasku tanpa basa-basi. Namanya Intan. Nama yang bagus menurutku. Karena mengandung
sebuah makna sesuatu yang berharga karena intan itu mahal. Hehehe... Tapi yang
membuatku merasa tabu, dia lebih senang bila dipanggil dengan sebutan Iwan. Hmm...
Bagaimana alasan logisnya aku tidak paham. (jadi
gini, kan Intan Rifiwanti. Ada beberapa yang manggilnya unik banget, diambil
dari rifIWANti. Kalau yang manggil sebutan intan kan sudah membludak :D whehe)
“Kenapa, kok gitu, Tan?” balasku pada
akhwat yang hobi memandangi pelangi itu.
“Intan iri pada cosin one, Mba. Intan iri pada setiap keramaian yang terjadi di
sana. Intan iri pada ketaatan cosin one dalam
menyambut seruan Allah, Mba.” Ucapnya
semakin to the point.
Astaghfirullah, apa yang terjadi padaku dulu ternyata terjadi pada adik
kelasku. Betapa sulitnya menggiring saudara seimanku untuk menyapa Allah saat
mendengar lantunan adzan dhuhur dikumandangkan. Namun hebatnya Tuhanku, hidayah
datang jauh dari hipotesaku. Kehangatan surau di ujung tenggara sekolahku mulai
dipenuhi sesak oleh saudara-saudaraku sejak status kami naik satu tingkat
menjadi pelajar kelas dua belas. Alhamdulilah.
***ikhwan sholeh***
Hijab yang menempel di kepalaku,
menunjukan identitas siapa diriku. Ketika ditanya oleh seorang akhwat, Intan yang
menyukai kelinci tapi tak punya kelinci itu, tentang adakah ikhwan di balik
kisah hijabku? Aku sempat terkejut dengan pertanyaan yang membuatku langsung jleb itu. Kujawab ada. Semakin lama
semakin dekat. Dan saling berkirim pesan singkat adalah cara yang paling
efektif dalam berkomunikasi. Saling berbagi ilmu. Saling berbagi kebaikan.
Semoga dapat saling memberikan manfaat. Namun seiring berjalannya waktu,
semakin bertambah pula ilmu pengetahuanku. Kuhentikan obrolan itu karena
kesadaran imanku.
“Tanyakan yang perlu saja, ya.”
Mungkin ungkapan ini lebih tepat.
Lama tidak berkirim pesan menimbulkan
kerinduan yang mendalam. Ku kembalikan pada hatiku. Pada niat mulaku berhijab adalah
karena Allah, bukan karena ikhwan yang insyaAllah sholeh itu. Belajar melupakan
sama saja sedang belajar mencintai. Sama-sama sulitnya. Namun sebenarnya, sungguh
mudahnya bila aku mau berusaha.
Ah, cinta. Satu kata yang takkan
habis dibicarakan sepanjang waktu. Kata yang akan terus laku dijual dalam dunia
cerita, dunia layar dan dunia nyata. Cinta itu tak bisa dilihat, namun nyata
bisa dirasakan (UPA:143). Sekali lagi
tentang cinta, adalah salah satu tanda kesempurnaan yang diberikan Allah kepada
manusia, selanjutnya manusia sendirilah yang menentukan, cinta itu akan
membawanya ke surga, atau justru menjerumuskannya ke neraka.
*****
Hijab, mulai melekat erat bersamaku
sejak aku duduk di bangku esema. Dan tidak ingin aku melepasnya lagi, kecuali
pada saatnya nanti. Banyak sekali kalimat agree
and dissagree berhasil mendarat di telingaku. Namun, ketidaksepakatan yang
muncul itu lantas tidak membuatku jatuh, justru menyadarkanku bahwa mereka
perhatian terhadapku.
“Rizka, ke sekolah pakai jilbab
dobel, pake leging kayak mau pengajian aja.” Desah suara terdengar samar.
“Rizka pake jilbab lebar banget,
kayak bu hajjah.” Kalimat diiringi senyum mengambang sarat kemirisan.
Segala perkataan dilabel sebagai doa.
Itulah salah satu ilmu yang kudapat dari berguru. Dan segala kata yang
mengarahkanku pada kebaikan aku balas aamiin. Ada perasaan tidak terima singgah
di CPUku. Tidak terima karena mereka
yang tak mendukung hijabku. Dan ibuku adalah tempat mengadu kedua setelah ilahku.
“Mi, ada yang
tidak respect pada hijabku. Banyak
yang mengatakan ini dan itu baik di belakang maupun face to face. Adakah yang salah dalam hijabku?” tanyaku tanpa ragu
pada mami, perempuan yang telah berjasa melahirkanku hingga aku bisa melihat
segala isi dunia ini.
“Karena mereka belum paham.” Balasnya
singkat.
Ah, mami. Aku tanyakan panjang hingga
dikalikan lebar sama dengan luas, engkau jawab titik. Sangat singkat. Tapi yang
singkat itu selalu mampu mendamaikan relungku. Ibu, satu kata yang kadang-kadang
tak bisa dicerna logika. Selalu tulus, menyentuh hati, dan menghangatkan raga. Kehadiran
setiap senyumnya mengandung cinta yang mengalir hingga ke dasar sumsum. Kasih
dan sayangnya bagai lingkaran yang tak berujung dan senantiasa meluas. Aku mencintainya karena Allah.
Dan kakakku, malaikat tempatku
mengadu setelah Allah dan wakil Allah di bumi ini. Aku lebih kerap memanggilnya
dengan sebutan mas. Pemuda yang
berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu mengajariku perlahan tentang makna
hijab.
“Kamu melangkah keluar rumah sedikit
saja sudah banyak sekali aurat yang mendatangkan dosa. Itu sebabnya Allah memerintahkanmu
mengenakan khimar. Itulah pelindungmu
sekaligus tanda pengenal bahwa kamu seorang muslimah.” Begitulah kalimat yang
semakin meyakinkanku pada hijab.
***Yuk,
berhijab!***
Segala
kesibukanku sebagai pengurus kerohanian islam mulai surut. Sudah banyak yang
mengantri untuk direkrut sebagai pengurus baru. Aku pun harus memfokuskan
diriku pada ujian yang lambat laun pasti datang. Intan, adik yang memiliki
kisah yang nyaris persis sepertiku, adalah akhwat yang memiliki style bicara yang sprint. Kalimat yang muncul dari indera pengucapannya selalu
ditirukan oleh classmateku. Lucu.
Mungkin ungkapan ini lebih tepat. Awal aku mengenalnya adalaha melalui kajian
islam. Semoga dari media perkenalan yang baik ini membawa pengaruh yang baik
pula. Aamiin.
“Mba, ada
inspirasi dadakan udah di pucuk banget. Ana tertarik untuk mengadopsi kisah mba
Izka jadi cerita pendek boleh ya?” pintanya sedikit memaksa. Ah, bukan hanya
sedikit memaksa, tapi memang benar-benar memaksa.
Aku mengiyakan
saja selama itu masih positif dan bisa mendatangkan ibrah. Ah, akhwat berkacamata astigmatisma itu memang kadang-kadang
melucukan, tetapi lebih banyak gajenya. (penulisnya
nda bohong lho, itu kata si tokoh aku beneran. #pembelaan diri :D) Kembali
aku dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari si penggila coretan pena itu.
Pertanyaan yang membutuhkan nilai panjang dikalikan dengan lebar dan tinggi
atau sama dengan rumus volume balok.
Wanita itu dikodratkan
oleh Allah sebagai makhluk yang lemah. Karena ia diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Karena kelemahan itu, mereka membutuhkan pelindung. Itulah sebabnya
mengapa Allah menyuruh wanita untuk berhijab. Allah teramat sayang pada kita.
Kita berhijab karena kita juga teramat sayang pada Allah. Jadi, kepada orang
yang benci dengan hijab, apakah mereka sayang pada Allah? Balaslah kasih sayang
Allah dengan kasih sayang pula, karena Allah senantiasa menyayangi kita. Bila
kita berhijab karena Allah, secara tidak langsung kita akan kelihatan cantik,
elegan, sopan, dan yang paling penting, aurat kita terjaga dan berjaya menundukkan
pandangan laki-laki ajnabi di luar
sana. Hijaab is not a piece of cloth in
your head. Its a way of life.
Kenapa akhwat
wajib menutup aurat dengan berhijab? Karena ia termaktub dalam firman Allah, “hendaklah mereka mengulurkan tudung ke seluruh tubuh mereka, supaya mereka lebih
dikenali orang, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS 33:59) Kecantikan
wanita menjadi tidak berarti tanpa akhlak dan perilaku yang mulia. Tetapkan
hati untuk melangkah dengan berhijab tanpa keraguan, karena langkah pertama
menentukan hasil berikutnya.
“Alhamdulillah,
pertanyaannya finish, Mba. Akan
segera diproses. Kalau boleh, nanti resultnya
ana posting di note social media, ya.” Pintanya lagi-lagi memaksa.
“Intan nda
pernah up date, sekali up date panjang banget. Judulnya
cerpen, tapi faktanya cerpan. Hehehe...” balasku menggerutu berusaha mencairkan
suasana yang semula tegang oleh deretan pertanyaan dari akhwat berkhimar tebal
itu.
“Ana suka
menulis, Mba. Menulis adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.”
Kedungreja,
11.12.13 pukul 14.15
intan, sukses, semoga jadi penulis yang hebat kamu motivatorku tan :)
BalasHapus