Sabtu, 14 Desember 2013

Yuk, Berhijab !



Malam telah hilang, dan pagi telah menyapa dengan segala tingkahnya yang membawa keriangan. Kicau burung terdengar di sana sini seiring mentari yang mulai menyusup ke celah-celah ruang kelasku yang cukup besar. Kelasku yang baru, rumah kedua yang kuharap ramai dan menyenangkan. Cosin one.
Sadar maupun tidak, aku sudah berhasil melewati rangkaian proses yang cukup panjang. Tidak terasa aku sudah duduk di bangku puncak perjuangan di esema. Aku semakin dekat dengan kelulusan. Belum ujian
sudah menyinggung kelulusan. Hehehe... tidak masalah. Jika mereka mengartikan ujian sebagai suatu kengerian, aku akan menafsirkannya sebagai suatu kesenangan. Karena ujian adalah bagian dari proses. Ya. Proses demi proses telah kulewati dengan mulus. Meski tidak sedikit yang melenceng dari harapanku, meski tidak sedikit yang sempat mengecewakanku, aku yakin sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Karena ilahku yang mengatakan langsung dalam firman-Nya. Innama’al ‘usriyusraa (QS 94:6). Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Aku merasa sangat bersyukur masih berkesempatan menghirup nafas secara cuma-cuma. Ah tidak, aku harus membayar nikmat bernafas di bumi Allah ini dengan ketaatanku pada ilahku.
*****
Masa Orientasi Siswa. Masa yang paling keren untuk mengawali perjalanan panjangku di sekolah baru. Tugas ini dan itu, nasihat ini dan itu pula. Masih teringat begitu jelas dalam rekaman CPUku. Menyadarkanku bahwa aku ini bukan lagi anak kecil. Seragamku bukan putih biru lagi. Artinya aku sudah menginjak usia remaja. Itulah fakta yan harus kuterima. Dan di pagi yang begitu cerah di musim kemarau, matahari terasa menyengat hingga mendarat di kulitku dan kembali menghadirkan suasana masa orientasi siswa. “Wah, aku punya adik baru lagi.” senyumku mengembang di tengah hiruk pikuk adik-adik pendatang baru kelas sepuluh.
Aku jadi teringat tentang kebimbanganku akan melanjutkan studiku kemana. Tentang bagaimana kecemasanku dengan nilai yang tertera di lembar ijazahku. Tentang bagaimana ekspresiku saat diterima di sekolah pilihanku. Senang, gelisah, dan bimbang bercampur menjadi gado-gado. Lengkap dengan bumbu kegalauan yang seru. (penullis lebay :D mwhehe #plaakk)
Di white board  itu, di sanalah aku menemukan namaku tercantum begitu jelas dalam baris daftar nama siswa di sebuah sekolah di sisi kampung tersunyi Pulau Jawa. Aku sangat berterima kasih pada sekolah yang kucintai karena Allah yang telah mau menghadirkan namaku dalam daftar absen harian. Perjuangan yang tidak mudah untuk bisa duduk bersama teman-teman yang ramai dan menyenangkan dalam mencari ilmu pengetahuan. Lulu, teman sebangkuku, soulmateku yang polos bin gaje yang maksimal. Makhrus, atau lebih kerap kusapa maus, Pak Kades dengan pembawaan yang lucu dan memang selalu bisa menghadirkan kelucuan. Dwi, sosok akhwat yang telah dengan ikhlas menemaniku dalam proses pendaftaran siswa yang sempat memunculkan pesimisme. Terima kasih sudah mengajarkanku arti optimis dengan bismillah. Dan teman-teman lainnya yang tak bisa kusebutkan satu satu karena terlalu banyak. Mereka telah kuanggap sebagai keluarga.
“Mba Izka, saya kok selalu ngerasa sendiri ya? Padahal banyak sekali teman di samping saya.” Keluh seorang adik kelasku tanpa basa-basi. Namanya Intan. Nama yang bagus menurutku. Karena mengandung sebuah makna sesuatu yang berharga karena intan itu mahal. Hehehe... Tapi yang membuatku merasa tabu, dia lebih senang bila dipanggil dengan sebutan Iwan. Hmm... Bagaimana alasan logisnya aku tidak paham. (jadi gini, kan Intan Rifiwanti. Ada beberapa yang manggilnya unik banget, diambil dari rifIWANti. Kalau yang manggil sebutan intan kan sudah membludak :D whehe)
“Kenapa, kok gitu, Tan?” balasku pada akhwat yang hobi memandangi pelangi itu.
“Intan iri pada cosin one, Mba. Intan iri pada setiap keramaian yang terjadi di sana. Intan iri pada ketaatan cosin one dalam menyambut seruan  Allah, Mba.” Ucapnya semakin to the point.
Astaghfirullah, apa yang terjadi padaku dulu ternyata terjadi pada adik kelasku. Betapa sulitnya menggiring saudara seimanku untuk menyapa Allah saat mendengar lantunan adzan dhuhur dikumandangkan. Namun hebatnya Tuhanku, hidayah datang jauh dari hipotesaku. Kehangatan surau di ujung tenggara sekolahku mulai dipenuhi sesak oleh saudara-saudaraku sejak status kami naik satu tingkat menjadi pelajar kelas dua belas. Alhamdulilah.
***ikhwan sholeh***
Hijab yang menempel di kepalaku, menunjukan identitas siapa diriku. Ketika ditanya oleh seorang akhwat, Intan yang menyukai kelinci tapi tak punya kelinci itu, tentang adakah ikhwan di balik kisah hijabku? Aku sempat terkejut dengan pertanyaan yang membuatku langsung jleb itu. Kujawab ada. Semakin lama semakin dekat. Dan saling berkirim pesan singkat adalah cara yang paling efektif dalam berkomunikasi. Saling berbagi ilmu. Saling berbagi kebaikan. Semoga dapat saling memberikan manfaat. Namun seiring berjalannya waktu, semakin bertambah pula ilmu pengetahuanku. Kuhentikan obrolan itu karena kesadaran imanku.
“Tanyakan yang perlu saja, ya.” Mungkin ungkapan ini lebih tepat.
Lama tidak berkirim pesan menimbulkan kerinduan yang mendalam. Ku kembalikan pada hatiku. Pada niat mulaku berhijab adalah karena Allah, bukan karena ikhwan yang insyaAllah sholeh itu. Belajar melupakan sama saja sedang belajar mencintai. Sama-sama sulitnya. Namun sebenarnya, sungguh mudahnya bila aku mau berusaha.
Ah, cinta. Satu kata yang takkan habis dibicarakan sepanjang waktu. Kata yang akan terus laku dijual dalam dunia cerita, dunia layar dan dunia nyata. Cinta itu tak bisa dilihat, namun nyata bisa dirasakan (UPA:143). Sekali lagi tentang cinta, adalah salah satu tanda kesempurnaan yang diberikan Allah kepada manusia, selanjutnya manusia sendirilah yang menentukan, cinta itu akan membawanya ke surga, atau justru menjerumuskannya ke neraka.
*****
Hijab, mulai melekat erat bersamaku sejak aku duduk di bangku esema. Dan tidak ingin aku melepasnya lagi, kecuali pada saatnya nanti. Banyak sekali kalimat agree and dissagree berhasil mendarat di telingaku. Namun, ketidaksepakatan yang muncul itu lantas tidak membuatku jatuh, justru menyadarkanku bahwa mereka perhatian terhadapku.
“Rizka, ke sekolah pakai jilbab dobel, pake leging kayak mau pengajian aja.” Desah suara terdengar samar.
“Rizka pake jilbab lebar banget, kayak bu hajjah.” Kalimat diiringi senyum mengambang sarat kemirisan.
Segala perkataan dilabel sebagai doa. Itulah salah satu ilmu yang kudapat dari berguru. Dan segala kata yang mengarahkanku pada kebaikan aku balas aamiin. Ada perasaan tidak terima singgah di CPUku. Tidak terima karena mereka yang tak mendukung hijabku. Dan ibuku adalah tempat mengadu kedua setelah ilahku.
“Mi, ada yang tidak respect pada hijabku. Banyak yang mengatakan ini dan itu baik di belakang maupun face to face. Adakah yang salah dalam hijabku?” tanyaku tanpa ragu pada mami, perempuan yang telah berjasa melahirkanku hingga aku bisa melihat segala isi dunia ini.
“Karena mereka belum paham.” Balasnya singkat.
Ah, mami. Aku tanyakan panjang hingga dikalikan lebar sama dengan luas, engkau jawab titik. Sangat singkat. Tapi yang singkat itu selalu mampu mendamaikan relungku. Ibu, satu kata yang kadang-kadang tak bisa dicerna logika. Selalu tulus, menyentuh hati, dan menghangatkan raga. Kehadiran setiap senyumnya mengandung cinta yang mengalir hingga ke dasar sumsum. Kasih dan sayangnya bagai lingkaran yang tak berujung dan senantiasa meluas. Aku mencintainya karena Allah.
Dan kakakku, malaikat tempatku mengadu setelah Allah dan wakil Allah di bumi ini. Aku lebih kerap memanggilnya dengan sebutan mas. Pemuda yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu mengajariku perlahan tentang makna hijab.
“Kamu melangkah keluar rumah sedikit saja sudah banyak sekali aurat yang mendatangkan dosa. Itu sebabnya Allah memerintahkanmu mengenakan khimar. Itulah pelindungmu sekaligus tanda pengenal bahwa kamu seorang muslimah.” Begitulah kalimat yang semakin meyakinkanku pada hijab.

***Yuk, berhijab!***
Segala kesibukanku sebagai pengurus kerohanian islam mulai surut. Sudah banyak yang mengantri untuk direkrut sebagai pengurus baru. Aku pun harus memfokuskan diriku pada ujian yang lambat laun pasti datang. Intan, adik yang memiliki kisah yang nyaris persis sepertiku, adalah akhwat yang memiliki style bicara yang sprint. Kalimat yang muncul dari indera pengucapannya selalu ditirukan oleh classmateku. Lucu. Mungkin ungkapan ini lebih tepat. Awal aku mengenalnya adalaha melalui kajian islam. Semoga dari media perkenalan yang baik ini membawa pengaruh yang baik pula. Aamiin.
“Mba, ada inspirasi dadakan udah di pucuk banget. Ana tertarik untuk mengadopsi kisah mba Izka jadi cerita pendek boleh ya?” pintanya sedikit memaksa. Ah, bukan hanya sedikit memaksa, tapi memang benar-benar memaksa.
Aku mengiyakan saja selama itu masih positif dan bisa mendatangkan ibrah. Ah, akhwat berkacamata astigmatisma itu memang kadang-kadang melucukan, tetapi lebih banyak gajenya. (penulisnya nda bohong lho, itu kata si tokoh aku beneran. #pembelaan diri :D) Kembali aku dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari si penggila coretan pena itu. Pertanyaan yang membutuhkan nilai panjang dikalikan dengan lebar dan tinggi atau sama dengan rumus volume balok.
Wanita itu dikodratkan oleh Allah sebagai makhluk yang lemah. Karena ia diciptakan dari tulang rusuk Adam. Karena kelemahan itu, mereka membutuhkan pelindung. Itulah sebabnya mengapa Allah menyuruh wanita untuk berhijab. Allah teramat sayang pada kita. Kita berhijab karena kita juga teramat sayang pada Allah. Jadi, kepada orang yang benci dengan hijab, apakah mereka sayang pada Allah? Balaslah kasih sayang Allah dengan kasih sayang pula, karena Allah senantiasa menyayangi kita. Bila kita berhijab karena Allah, secara tidak langsung kita akan kelihatan cantik, elegan, sopan, dan yang paling penting, aurat kita terjaga dan berjaya menundukkan pandangan laki-laki ajnabi di luar sana. Hijaab is not a piece of cloth in your head. Its a way of life.
Kenapa akhwat wajib menutup aurat dengan berhijab? Karena ia termaktub dalam firman Allah, “hendaklah mereka mengulurkan tudung  ke seluruh tubuh mereka, supaya mereka lebih dikenali orang, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS 33:59) Kecantikan wanita menjadi tidak berarti tanpa akhlak dan perilaku yang mulia. Tetapkan hati untuk melangkah dengan berhijab tanpa keraguan, karena langkah pertama menentukan hasil berikutnya.
“Alhamdulillah, pertanyaannya finish, Mba. Akan segera diproses. Kalau boleh, nanti resultnya ana posting di note social media, ya.” Pintanya lagi-lagi memaksa.
“Intan nda pernah up date, sekali up date panjang banget. Judulnya cerpen, tapi faktanya cerpan. Hehehe...” balasku menggerutu berusaha mencairkan suasana yang semula tegang oleh deretan pertanyaan dari akhwat berkhimar tebal itu.
“Ana suka menulis, Mba. Menulis adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.”
                                                                                    Kedungreja, 11.12.13 pukul 14.15

1 komentar:

  1. intan, sukses, semoga jadi penulis yang hebat kamu motivatorku tan :)

    BalasHapus