Artikel pertama dengan status sebagai mahasiswa ini adalah tuntutan sebuah tugas magang di Lembaga Pers Mahasiswa "Sketsa" Unsoed, new almamater. Ke depannya, (insyaAllah) akan banyak produk-produk tulisan yang terlahir dari coretan pena ini. Bismillah.
Mahasiswa Kura-Kura atau Kupu-Kupu?
Berbicara mengenai mahasiswa erat kaitannya dengan indeks
prestasi serta pengabdian masyarakat. Dalam konteks indeks prestasi atau lebih
akrab disapa dengan sebutan IP ini, sebagian besar mahasiswa dengan berbagai metode
maupun trik-trik jitu tertentu secara kreatif berusaha seoptimal mungkin untuk
meraih IP tinggi tersebut. Tidak dapat diingkari bahwa IP cumlaude telah menjadi salah satu ajang bergengsi bagi para mahasiswa.
Di sisi lain, mahasiswa yang statusnya sedang belajar di
sebuah perguruan tinggi digadang-gadang untuk
nantinya kembali mengabdikan diri ke lingkungan masyarakat yang telah membesarkan namanya. Hal ini dapat dijadikan sebagai implementasi pepatah Bahasa Indonesia yakni, “Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.” Dari pepatah tersebut, berpotensi melahirkan satu pertanyaan yang cukup signifikan yaitu, “Bekal apa saja kah yang diperlukan oleh seorang mahasiswa saat kembali ke masyarakat kelak? IP cumlaude? Nggak cukup.”
nantinya kembali mengabdikan diri ke lingkungan masyarakat yang telah membesarkan namanya. Hal ini dapat dijadikan sebagai implementasi pepatah Bahasa Indonesia yakni, “Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.” Dari pepatah tersebut, berpotensi melahirkan satu pertanyaan yang cukup signifikan yaitu, “Bekal apa saja kah yang diperlukan oleh seorang mahasiswa saat kembali ke masyarakat kelak? IP cumlaude? Nggak cukup.”
Prestasi akademik dengan pembuktian perolehan IP yang selangit
saja tidak cukup. Karena IP hanya sebatas pada patokan angka sebagai perwujudan
nyata seberapa besar kemampuan otak menyerap ilmu dari materi perkuliahan yang
disampaikan oleh sang dosen. Sementara softskills
dalam diri mahasiswa itu sendiri tidak dapat dijabarkan melalui status IP cumlaude tersebut. Padahal, softskills memiliki peran penting dalam
mengembangkan hardskills mahasiswa.
Secara makna, softskills
merupakan kemampuan atau keterampilan yang ada dalam diri manusia. Namun, softskills ini tidak serta merta ada
sejak lahir yang secara alamiah seperti halnya bakat, melainkan terlahir
melalui proses pembentukan. Dalam proses pembentukan softskills itu sendiri diperlukan suatu media. Di sini lah mahasiswa
memerlukan adanya peran kegiatan sosial layaknya organisasi atau unit-unit
kegiatan mahasiswa.
Setiap perguruan tinggi yang baik, tentunya menawarkan adanya
unit-unit kegiatan kemahasiswaan yang acap kali disapa UKM. Unit-unit kegiatan
mahasiswa ini diadakan dengan tujuan sebagai media pembentuk sekaligus sebagai
tempat berkembangnya kepribadian seorang mahasiswa yang kini disebut sebagai softskills. Unit-unit kegiatan
kemahasiswaan inilah yang kemudian menjadi salah satu prioritas mahasiswa di
samping tugas-tugas kuliahnya. Di UKM ini, mahasiswa diajak untuk berpikir
kritis, baik dalam ruang lingkup kecil maupun ruang lingkup yang lebih luas
yakni di luar UKM itu sendiri.
Setiap UKM memiliki struktur kepengurusan masing-masing yang
setidaknya terdiri dari seorang ketua, sekretaris, bendahara, serta
departemen-departemen. Tidak hanya struktur, UKM juga memiliki program kerja
baik harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan. Tidak jarang pula UKM menuntut
adanya pertemuan-pertemuan baik secara rutin maupun insidental. Hal ini yang
kemudian dalam UKM dikenal dengan istilah rapat.
Mahasiswa aktivis organisasi tentunya paham dengan
rapat-rapat yang diadakan oleh UKM. Hal ini memang dilakukan di luar jam
kuliah, namun tidak dapat dimungkiri bahwa kegiatan-kegiatan semacam rapat ini
dinilai cukup menyita waktu. Mahasiswa aktivis tidak menghabiskan waktunya sekadar
untuk kuliah, mendengarkan dosen, lalu pulang. Tetapi dia juga dituntut untuk
aktif di dalam UKM yang menaunginya. Istilahnya, rapat dulu, rapat lagi, rapat
terus. Dari istilah tersebut, melahirkan sebuah ungkapan baru sebagai bagian
dari tren masa kini yakni, “Mahasiswa Kura-Kura”. (baca: kuliah-rapat)
Sebaliknya, mahasiswa yang apatis terhadap UKM acap digelari dengan istilah
“Mahasiswa Kupu-Kupu”. (baca: kuliah-pulang)
Ada sisi positif juga negatif dari dua istilah baru itu.
Kelebihan kura-kura, ia lebih cerdas sosial daripada kupu-kupu. Tetapi
mitosnya, mahasiswa kura-kura lebih banyak dikenal lulus dengan durasi waktu
yang sedikit banyak lebih lama lantaran terlalu asyik bergelut dengan
kegiatan-kegiatan di luar kampus. Sedangkan kelebihan mahasiswa kupu-kupu, ia
lebih bisa fokus dengan konsentrasi jurusannya karena ia tidak memiliki agenda
rapat yang dapat menyita waktu belajarnya. Kelemahannya, ia sedikit banyak tertinggal
jauh dari interaksi sosial yang sesungguhnya berpotensi memberikan peluang
jaringan komunikasi yang akan dibutuhkan pascakuliah.
Setiap mahasiswa tentunya memiliki kepribadian yang
berbeda-beda. Ia memiliki kebebasan untuk memilih akan menjadi mahasiswa kura-kura
ataukah kupu-kupu. Tetapi yang pasti, setiap pilihan yang diambil, apapun itu,
tentunya memiliki konsekuensi masing-masing. Dan sebagai mahasiswa yang bijak,
sudah sepantasnya ia bertanggung jawab dengan setiap keputusan yang ia ambil.
Purwokerto, 8 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar