Kamis, 08 Oktober 2015

Mahasiswa Kura-Kura atau Kupu-Kupu?



Artikel pertama dengan status sebagai mahasiswa ini adalah tuntutan sebuah tugas magang di Lembaga Pers Mahasiswa "Sketsa" Unsoed, new almamater. Ke depannya, (insyaAllah) akan banyak produk-produk tulisan yang terlahir dari coretan pena ini. Bismillah.
Mahasiswa Kura-Kura atau Kupu-Kupu?
Berbicara mengenai mahasiswa erat kaitannya dengan indeks prestasi serta pengabdian masyarakat. Dalam konteks indeks prestasi atau lebih akrab disapa dengan sebutan IP ini, sebagian besar mahasiswa dengan berbagai metode maupun trik-trik jitu tertentu secara kreatif berusaha seoptimal mungkin untuk meraih IP tinggi tersebut. Tidak dapat diingkari bahwa IP cumlaude telah menjadi salah satu ajang bergengsi bagi para mahasiswa.
Di sisi lain, mahasiswa yang statusnya sedang belajar di sebuah perguruan tinggi digadang-gadang untuk
nantinya kembali mengabdikan diri ke lingkungan masyarakat yang telah membesarkan namanya. Hal ini dapat dijadikan sebagai implementasi pepatah Bahasa Indonesia yakni, “Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.” Dari pepatah tersebut, berpotensi melahirkan satu pertanyaan yang cukup signifikan yaitu, “Bekal apa saja kah yang diperlukan oleh seorang mahasiswa saat kembali ke masyarakat kelak? IP cumlaude? Nggak cukup.”
Prestasi akademik dengan pembuktian perolehan IP yang selangit saja tidak cukup. Karena IP hanya sebatas pada patokan angka sebagai perwujudan nyata seberapa besar kemampuan otak menyerap ilmu dari materi perkuliahan yang disampaikan oleh sang dosen. Sementara softskills dalam diri mahasiswa itu sendiri tidak dapat dijabarkan melalui status IP cumlaude tersebut. Padahal, softskills memiliki peran penting dalam mengembangkan hardskills mahasiswa.
Secara makna, softskills merupakan kemampuan atau keterampilan yang ada dalam diri manusia. Namun, softskills ini tidak serta merta ada sejak lahir yang secara alamiah seperti halnya bakat, melainkan terlahir melalui proses pembentukan. Dalam proses pembentukan softskills itu sendiri diperlukan suatu media. Di sini lah mahasiswa memerlukan adanya peran kegiatan sosial layaknya organisasi atau unit-unit kegiatan mahasiswa.
Setiap perguruan tinggi yang baik, tentunya menawarkan adanya unit-unit kegiatan kemahasiswaan yang acap kali disapa UKM. Unit-unit kegiatan mahasiswa ini diadakan dengan tujuan sebagai media pembentuk sekaligus sebagai tempat berkembangnya kepribadian seorang mahasiswa yang kini disebut sebagai softskills. Unit-unit kegiatan kemahasiswaan inilah yang kemudian menjadi salah satu prioritas mahasiswa di samping tugas-tugas kuliahnya. Di UKM ini, mahasiswa diajak untuk berpikir kritis, baik dalam ruang lingkup kecil maupun ruang lingkup yang lebih luas yakni di luar UKM itu sendiri.
Setiap UKM memiliki struktur kepengurusan masing-masing yang setidaknya terdiri dari seorang ketua, sekretaris, bendahara, serta departemen-departemen. Tidak hanya struktur, UKM juga memiliki program kerja baik harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan. Tidak jarang pula UKM menuntut adanya pertemuan-pertemuan baik secara rutin maupun insidental. Hal ini yang kemudian dalam UKM dikenal dengan istilah rapat.
Mahasiswa aktivis organisasi tentunya paham dengan rapat-rapat yang diadakan oleh UKM. Hal ini memang dilakukan di luar jam kuliah, namun tidak dapat dimungkiri bahwa kegiatan-kegiatan semacam rapat ini dinilai cukup menyita waktu. Mahasiswa aktivis tidak menghabiskan waktunya sekadar untuk kuliah, mendengarkan dosen, lalu pulang. Tetapi dia juga dituntut untuk aktif di dalam UKM yang menaunginya. Istilahnya, rapat dulu, rapat lagi, rapat terus. Dari istilah tersebut, melahirkan sebuah ungkapan baru sebagai bagian dari tren masa kini yakni, “Mahasiswa Kura-Kura”. (baca: kuliah-rapat) Sebaliknya, mahasiswa yang apatis terhadap UKM acap digelari dengan istilah “Mahasiswa Kupu-Kupu”. (baca: kuliah-pulang)
Ada sisi positif juga negatif dari dua istilah baru itu. Kelebihan kura-kura, ia lebih cerdas sosial daripada kupu-kupu. Tetapi mitosnya, mahasiswa kura-kura lebih banyak dikenal lulus dengan durasi waktu yang sedikit banyak lebih lama lantaran terlalu asyik bergelut dengan kegiatan-kegiatan di luar kampus. Sedangkan kelebihan mahasiswa kupu-kupu, ia lebih bisa fokus dengan konsentrasi jurusannya karena ia tidak memiliki agenda rapat yang dapat menyita waktu belajarnya. Kelemahannya, ia sedikit banyak tertinggal jauh dari interaksi sosial yang sesungguhnya berpotensi memberikan peluang jaringan komunikasi yang akan dibutuhkan pascakuliah.
Setiap mahasiswa tentunya memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Ia memiliki kebebasan untuk memilih akan menjadi mahasiswa kura-kura ataukah kupu-kupu. Tetapi yang pasti, setiap pilihan yang diambil, apapun itu, tentunya memiliki konsekuensi masing-masing. Dan sebagai mahasiswa yang bijak, sudah sepantasnya ia bertanggung jawab dengan setiap keputusan yang ia ambil.

Purwokerto, 8 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar