Minggu, 10 Juni 2018

Ramadan ke-21


Senja menuju malam di Dermaji, pada Ramadan 1439 H.

Aku sudah mengikuti perjalanan spiritual Keenan yang membikinku iri. Sebuah perjalanan keluar dari rutinitas. Perjalanan menemukan ketenangan. Perjalanan yang sarat keharuan ketika bertemu dengan dengan orang-orang yang tak perlu banyak penjelasan bisa langsung terasa seperti saudara, seperti kenalan lama.


Kali ini, aku akan mengukir kisah sendiri yang tidak kalah seru dari Keenan. Ini semua masih tentang manusia.

Selama hidup seperlima abad, belum pernah ada momen Ramadan yang mampu menggantikan ramadanku dua belas tahun silam. Waktu itu aku baru kelas 4 esde dan kakakku Mas Yayan kelas 3 esempe. Kakak-adik goals tercipta saat itu. Sekarang, nyaris semuanya berubah. Mas Yayan sudah resmi menjadi orang tua. Pun aku sudah besar, sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, sudah tidak perlu selalu diawasi, sudah bisa menjaga diri tanpa perlindungan orang lain.

Sebelum memasuki Ramadan, aku menyempatkan berkunjung ke rumah eyang di Demak, sendirian. Ah, tidak. Aku ralat. Aku ke sana berdua, sama siapa lagi kalau bukan skuterku Alfa. Seperti biasa, perjalanan yang aku tempuh, sejauh dan selelah apapun, selalu aku rasai menyenangkan. Aku sepakat sama Keenan, ibadah dan perjalanan memiliki kemiripan yang otentik, sama-sama harus dilakukan dengan perasaan senang.

Perjalanan seru sendirian membawaku pada ungkapan syukur yang berlebihan karena bertemu manusia yang beragam dan ramah-ramah. Well, itulah alasan mengapa aku selalu suka dengan cerita tentang manusia. Selain karena keramahan hatinya, mereka juga penuh misteri dan aku menyukai pekerjaan menjelajah manusia.
*****
Sepuluh hari kedua Ramadan nyaris habis, aku baru dapat menyempatkan untuk pulang. Kalender waktu itu menunjukkan tanggal 2 Juni. Sekitar pukul empat sore aku beranjak meninggalkan Purwokerto. Menurut perhitungan, aku akan sampai di rumah pukul setengah enam, tepat waktu untuk berbuka puasa bareng umi di rumah. Sayangnya, kemacetan lalu lintas pada H-12 luput dari prediksi.

Alfa memotong jalur kompas, membelah hutan, menyusuri jalan-jalan desa. Sepanjang jalan menjelang magrib, Alfa disuguhi pemandangan manusia-manusia yang menghabiskan waktu untuk menunggu buka puasa dengan berbagai cara. Ada tua-tua yang berkumpul di depan rumah-rumah sambil merumpi. Ada muda-muda yang memadati trotoar jalan sambil bersiul-siul kalau ada cowok ganteng atau cewek cantik lewat. Ada juga anak-anak yang mengisi sore di surau sambil mengaji.

Dari sekian ragam aktivitas ngabuburit itu, ada satu sosok yang paling menyita perhatianku. Sosok ibu muda yang berkerudung handuk seperti baru mandi yang hendak menyeberang jalan dengan menyangga kudapan di tangannya. Tampaknya ia akan mengantarkan masakannya untuk tetangga. Ini salah satu yang aku suka dengan orang di kampung, kerukunannya kuat sekali. Suatu saat, kalau aku sudah punya rumah tangga, aku ingin tinggal di desa saja.

Alfa terus melaju kencang meninggalkan perkampungan. Tubuhku mulai menggigil kedinginan. Atmosfer belantara wana mulai terasa. Matahari sudah tenggelam sementara aku masih di jalanan.

Well, yang paling menarik dari perjalananku kemarin adalah ketika aku melewati magribku tepat di tengah hutan. Tidak ada tempat peristirahatan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sana. Semuanya gelap. Kanan dan kiriku hanya pohon-pohon besar dan tinggi yang menghalangi sinar rembulan jatuh ke tanah. Tidak ada penerangan jalan sama sekali. Sumber cahaya hanya berasal dari sorot lampu Alfa. Dalam situasi mencekam begitu, mana berani aku menghentikan laju kendaraanku. Alhasil, aku membatalkan puasa hanya dengan merapal doa buka puasa.

Kenekatan yang membahayakan masuk ke hutan sendirian malam-malam macam ini ialah kali kedua. Dia (seseorang yang tidak terlihat), adalah orang pertama yang menemani perjalanan pulangku malam-malam pada Ramadan setahun silam. Seandainya aku bercerita padanya tentang kenekatanku ini, aku memprediksi dia (seseorang yang tidak terlihat) akan marah-marah. Sebagai konsekuensi, paling-paling dia (seseorang yang tidak terlihat) akan mendiamkanku, tidak memberi atau menanyakan kabar. Sebulan atau dua bulan kemudian, kami akan terhubung lagi karena rindu barangkali. Aku memang egois dan kekanak-kanakan. Terkadang aku suka iba dengan orang-orang baik di sekitarku. Mereka yang menasihatiku ini dan itu semacam percuma, karena akhirnya caraku sendiri yang aku jalankan. Mwhaha..

Namaku pada Ramadan kemarin dan sekarang masih sama, belum ganti. Ragaku juga masih sama, kecil dan menggemaskan, mwhaha XD. Pun jiwaku masih sama, masih juga belum dewasa. Namun, ada yang kentara sekali berbeda dari Ramadan ke-21 dengan sebelumnya. Ramadan kali ini, aku tidak hanya puasa untuk menahan diri dari makan dan minum, puasa dari menahan curiga dan buruk sangka, atau puasa dari menahan emosi. Ada yang paling menyentuh dari Ramadan ke-21, ialah menyoal puasa menahan bicara dengannya.

3 komentar:

  1. Ramadhan esok masih sama, belum ganti, kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih sama, masih belum dewasa, masih suka nangis kalo makan enggak ditemenin.

      Hapus
    2. mwhaha, gitu aja terus

      Hapus