Minggu, 12 Mei 2019

Jam ke-25


Aku ingin, Tuhan memberiku tambahan waktu satu jam saja setiap harinya, agar aku bisa mengerjakan skripsi lebih lama, menyiapkan materi pelajaran untuk anak-anak lebih matang, bermain bersama teman lebih puas, beribadah lebih khusuk, pun tidur nyenyak lebih paripurna.

Aku ingin, sehari dua puluh lima jam, setiap pagi matahari terbit dari timur, setiap siang teriknya mengeringkan pakaian basah, setiap sore hujan jatuh ke tanah menyuburkan, setiap malam bulan dan bintang bermesraan.

Aku ingin, bumi berotasi melambat, bulan bergerak menjauhi bumi tapi tetap setia mengelilinginya, 200 tahun lagi segera menjadi kenyataan: sehari dua puluh lima jam.

Seandainya kemarin, seandainya sekarang, seandainya besok, seandainya seandainya.

Agenda rutin ini dan itu membikinku tidak punya waktu untuk menikmati diri sendiri. Padahal, sesungguhnya, jam kedua puluh lima dapat dengan mudah aku ciptakan sendiri, tidak perlu menunggu pembuktian butuh 200 tahun lagi. Cukup dengan bangun pagi tepat waktu, datang menepati janji lebih awal, menyubtitusi piranti manual dengan digital, mengerjakan kewajiban dengan satu kunci: fokus. Ya, fokus, biar tidak lupa dan mengecewakan orang lain. Namun, semuanya berpotensi gagal berantakan hanya karena ego memenangkan kemalasan. Ayo malas terus, lalu lihat konsekuensinya apa: tidak akan pernah ada jam ke-25. Aku hanya ingin dan selamanya ingin, tidak lebih.


Purwokerto, 12 Mei 2019, ketika skripsi ingin segera dirampungkan tetapi lebih memilih menulis beginian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar