Aku ingin, Tuhan memberiku
tambahan waktu satu jam saja setiap harinya, agar aku bisa mengerjakan skripsi
lebih lama, menyiapkan materi pelajaran untuk anak-anak lebih matang, bermain
bersama teman lebih puas, beribadah lebih khusuk, pun tidur nyenyak lebih
paripurna.
Aku ingin, sehari dua puluh lima
jam, setiap pagi matahari terbit dari timur, setiap siang teriknya mengeringkan
pakaian basah, setiap sore hujan jatuh ke tanah menyuburkan, setiap malam bulan
dan bintang bermesraan.
Aku ingin, bumi berotasi
melambat, bulan bergerak menjauhi bumi tapi tetap setia mengelilinginya, 200
tahun lagi segera menjadi kenyataan: sehari dua puluh lima jam.
Seandainya kemarin, seandainya
sekarang, seandainya besok, seandainya seandainya.
Agenda rutin ini dan itu
membikinku tidak punya waktu untuk menikmati diri sendiri. Padahal, sesungguhnya, jam kedua puluh
lima dapat dengan mudah aku ciptakan sendiri, tidak perlu menunggu pembuktian
butuh 200 tahun lagi. Cukup dengan bangun pagi tepat waktu, datang menepati
janji lebih awal, menyubtitusi piranti manual dengan digital, mengerjakan
kewajiban dengan satu kunci: fokus. Ya, fokus, biar tidak lupa dan mengecewakan
orang lain. Namun, semuanya berpotensi gagal berantakan hanya karena ego memenangkan
kemalasan. Ayo malas terus, lalu lihat konsekuensinya apa: tidak akan pernah
ada jam ke-25. Aku hanya ingin dan selamanya ingin, tidak lebih.
Purwokerto, 12 Mei 2019, ketika skripsi ingin
segera dirampungkan tetapi lebih memilih menulis beginian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar