Jumat, 03 Mei 2019

Pemalas yang Beruntung

Ada angin segar apa seorang Intan kembali bercerita? Ada peristiwa yang aku ingin ini abadi. Well, anggap saja beberapa jam lalu aku menunaikan ujian seminar proposal. Ya, seminar proposal. Ketika teman-teman di kampus lain sudah seminar hasil, ujian komprehensif, bahkan mungkin ada yang tinggal capcipcup bangku wisuda, aku masih di tahap ini: proposal. It doesn’t matter. Bukankah setiap orang punya waktunya sendiri? Ya, pun setiap orang punya ceritanya sendiri-sendiri, cerita yang membentuk siapa kita hari ini.

Seminar proposal meninggalkan banyak sekali kesan. Aku merinding sendiri menuliskan ini. Bulu kuduk yang mulai tegak merangsang air mata berjatuhan membasahi pipi. Ternyata aku telah melalaikan banyak sekali hal penting yang tidak bisa kujelaskan.

Kepada dosen pembimbing dan pengujiku, tiada kata lain selain permohonan maaf dan terima kasih yang tulus dari mahasiswa yang tinggi hati bukan bikinan. Sepandai apapun tupai melompat, akhirnya akan jatuh ke pelimbahan juga. Sepandai-pandai manusia menyimpan kebusukan, akhirnya akan tercium juga.

Kebusukan apa yang kusimpan? Kesombongan. Aku menyadari keburukan itu dan aku bangga. Sejujurnya aku tidak bermaksud demikian. Aku membusungkan dada itu hanya sebagai guyonan dengan teman-teman. Ya, standar bercanda kami memang beradu kesombongan, semata-mata untuk saling memotivasi. Tapi kali ini berbeda, aku sombong pada diriku sendiri dan aku sangat malu.

Pascaseminar, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Orang-orang terkasihku datang memberikan dukungan. Yang tidak datang ikut memeriahkan momen penting ini melalui kiriman semangat dan doa terbaik. Aku sombong sekali. Dalam hati aku berkata, betapa mudahnya ujian seminar ini. Teman-teman audiens (agaknya) kesulitan bertanya pada sesi tanya jawab. Konon, mereka menganggap penelitianku bukan ranah mereka. Padahal, dari seminar ini aku berekspektasi pada mereka agar memberikan masukan untukku.

Pada sesi tanya jawab dengan dosen, aku melewatinya tanpa kendala. Dalam keadaan ujian yang menentukan, aku tidak merasa gelisah sama sekali. Apakah aku sudah terlalu siap dengan penguasaan materi yang aku sendiri sampai bosan karena mengupasnya berkali-kali? Atau memang aku yang terlalu sombong karena (barangkali) punya nilai lebih di hadapan dosen?

Pagi buta setelah seminar aku terjaga, salat malam, bersyukur. Pada mulanya aku berniat untuk tidur lagi. Kupikir, mengerjakan revisi masih bisa besok lagi, toh mataku masih berat, tubuhku terus memaksa untuk beristirahat. Namun, tanganku gatal saat melihat draf proposal yang teronggok di meja belajar, bersebalahan dengan komputer jinjing.

Aku mengelus sampul usulan penelitianku. Di ujung kanan atas tercantum paraf dosen dan tanggal (tertulis 2/5 artinya 2 Mei). Seketika hatiku bergetar, melihat tulisan “telah diseminarkan”. Hari itu (2/5) bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Aku melewatkan satu bendera lagi dan aku merasa berduka.

Kekecewaan pada diri sendiri makin menjadi. Aku membuka proposalku dengan hati-hati. Kubuka lembar demi lembar dengan detail agar jangan sampai melewatkan yang terselip. Aku tahu ada banyak coretan di dalamnya. Seketika tangisku kembali pecah. Ini bukan tangis duka karena banyak revisi, melainkan karena aku bangga. Aku bangga pada dosen-dosenku.

Dari coretan-coretan dosen, aku ketahuan betapa pemalasnya aku. Tapi lagi-lagi aku dapat menyombongkan diri, “Aku bangga, aku pemalas yang beruntung karena mau berusaha.” Well, teori-teori baru harus kupelajari lagi untuk menggenapkan rantai keilmuan yang rumpang. Ini bukan masalah besar bagiku. Yang jelas, perasaan bersalahku pada dosen masih begitu kentara. Namun, bagiku tidak ada permohonan maaf yang gratis. Aku akan membayar kepercayaan dosen atas judul penelitian yang kuajukan dengan kesungguhan mengerjakan.

4 komentar:

  1. Sombong aja terus ya, sampai gak ada yang disombongkan lagi wkwkw well one step closer,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sang dosen bersabda, "Gak papa sombong kalo emang ada yang disombongin, buat memotivasi." wkw

      Hapus