Jumat, 14 Juni 2013

Cerpen Pertama



Oik Cahya Ramadhani adalah nama lengkap dari sosok pecinta sastra di sekolahnya. Sebut saja Oik. Ia adalah salah satu siswa di SMP terfaforit di kotanya. Dan menulis adalah salah satu dari sekian banyak hobi yang ia suka. Sepertinya ada sedikit kemungkinan untuknya jadi seorang penulis.
Ia juga punya kekasih yang sangat perhatian dan selalu menerimanya apa adanya, yaitu Obiet Panggrahito..baginya, Obiet adalah bagian dari hidupnya. Selain pangeran, ia juga memiliki sahabat yang baik selalu padanya, yaitu Ify dan Rio. Mereka berempat  bersahabatan sudah cukup baik bak kancing & baju yang nyaris tak terpisahkan. Rio sudah sepasang dengan Ify, sedangkan ia dengan Obiet. Lengkaplah kebahagiaan gadis yang kerap disapa Oik. Kemanapun, mereka sering jalan bersama.
***
Sore ini waktunya untuk balajar kelompok. Meski mereka sering jalan tak jelas, tapi mereka tetap rajin belajar. Begitulah komitmen mereka agar prestasinya tak jatuh. Minggu ini jadwalnya di rumah Oik. Obiet datang sendiri, lalu Rio dan Ify atau lebih dekat dengan sebutan RiFy menyusul. Belajarpun dimulai. Obiet adalah guru gratis bagi Oik dan lainnya. Pintarnya luar biasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Begitu semangat pemuda itu mengajari gadisnya dan lainnya juga. Tapi gadisnya justru asik dengan penanya untuk menulis cerpen. Obiet mengetahui apa yang sedang gadisnya lakukan di tengah suasana belajar. Sebuah gertakan dengan manja Obiet berhasil mendarat di telinga  gadisnya,
“Oik, penanya diletakkan dulu yaa.” Ucap Obiet dengan lembut seakan bukan lagi menggertak, melainkan memperhatikan belajar sang gadis yang hobi menulis itu.
“iya mister.” Jawab sang gadis kaget. “Ternyata Obiet mengerti bahwa aku tidak memperhatikannya.” Lanjutnya dengan berbisik dalam hati.
ekkhhhm...” ledek Ify menyaksikan dua sejoli sahabatnya yang begitu bersahabat.
***
Belajar telah usai. Sekarang saatnya berbincang sambil menikmati hidangan yang sudah Oik persiapkan sebelumnya. Obiet dan Rio asyik dengan aktivitas gamenya. Sementara Oik dan Ify tampak seru membicarakan seputar coretan pena Oik.
If, ada info majalah terbaru enggak?” tanya Oik pada Ify.
Enggak tuh, mendingan tulisanmu itu di posting di FaceBook saja ik. Ngutak-atik FaceBook kan juga salah satu hobimu…hehe” gerutu Ify.
Benar juga yaa..! Okedeh.Balasnya girang tak sabar membuka gadgetnya.
Eh..eh..enggak boleh, nanti lah, kalau kita sudah pada pulang. Serius amet si!” ucap Ify ketus.
O..iya..maaf..hehe. semangat banget sih!” cengir Oik dengan wajah tanpa dosa.
”Hmm…betah ye, Obiet? Punye pacar kaye elu ik. haha..,” ledek Ify berhasil menoyor sahabatnya yang satu itu.
Enak saja kamu, If..aku kan anak baik :p ueeee” sembur Oik membalas toyoran Ify.
Di tengah suasana saling ejek antara Oik dan Ify, Rio dan Obiet muncul bergabung dengan gadisnya.
”Lagi ngomongin Obiet ya?” celetuk Obiet penuh percaya diri.
Uu, Ge-eR banget, ngomongin gue pasti” sahut Rio yakin.
“O,o kalian semua yang Ge-eR, kita sedang membicarakan cerpen Oik kok..ueee :ptoyor Ify kepada dua orang pemuda yang kali itu tepat berada di hadapannya.
Yah..malah cerpen. Obiet dipikirin, Ik, baru kalah versus Rio sang juara..wkwk”  ledek Rio.
Eh..enggak, tadi itu cuma kebetulan saja.  Lihat besok ya, Obiet pasti menang.” Ucap Obiet tak mau kalah.
Sudah-sudah..Yo, balik yukk..! Biet, mau barengan kita enggak?” Tanya Ify.
Oke, kalian depan, aku menyusul.” Ucap Obiet yang mulai memakai helmnya. Mereka segera pamitan pada Oik dan beranjak pulang.
Hati-hati ya bebz..” teriak Oik pada pemudanya, Obiet.
***
Hari telah berlalu. Gadis pecinta sastra masih dengan pena di jemarinya yang mengasyikkan. Sampai-sampai  ia tak menyadari deringan ponsel yang tak terlalu keras pertanda ada message dari Obiet berdentum berkali-kali.
Ini pesan pertamanya, “hai manis..”
Ini pesan kedua, “Oik…”
Ini pesan ketiga, “ik….”
Ia sama sekali tak mendengar ponselnya berbunyi.  Ia benar-benar sedang serius di meja belajarnya dengan pena di tangannya. Ia menghiraukan semua yang ada di sekitarnya, kecuali selembar kertas berisi kerangka cerpennya yang pertama. Dan dering sebuah pesan dari Obiet yang keempat dan terakhir yang juga ia hiraukan begitu saja.
Ik..aku paham kamu sekarang pasti sedang asyik dengan cerpenmu itu sehingga sama sekali tak membalas pesanku. Aku lelah, Ik, dengan sikapmu yang seolah tak memperhatikanku seperti dulu. Kamu sudah hidup dengan duniamu yang baru, dengan cerpenmu. Kamu bukanlah Oik yang aku kenal dulu.”
Ia sama sekali tak merasa gundah dengan isi pesan Obiet. Cerpen pertamanya telah selesai. Besok adalah hari bahagia Oik, tepatnya berusia lima belas tahun.  Harapannya, Obiet adalah orang pertama yang membacanya.
***
Ternyata, keesokan hari yang tak terduga. Tampak Obiet begitu sinis memandang gadisnya. Sepertinya dia serius dengan omongannya semalam. Ia mulai cemas dengan sikap Obiet.
Bel sekolah berdentum pertanda waktu istirahat dimulai. Seperti biasa, Obiet dan Rio selalu stand by di lapangan basket. Oik menghampirinya bersama Ify.
“Obieeeetttt…”  teriak sang gadis bersorak memberikan semangat.
Sejenak Obiet menghentikan permainannya dan menoleh kearah gadisnya. Oik tersenyum padanya bertujuan ingin meminta maaf. Dilemparkannya bola basket yang sedang berada di tangannya dan sukses mendarat di jidat Rio.
Aduh..loe gila ya, Biet..! Temen sendiri elu timpukin bola.” Rintih Rio kesakitan.
Mood Obiet seketika berubah setelah melihatku dan beranjak pergi meninggalkan semua yang ada di lapangan basket. Ify dengan cepat membantu Rio yang meringis terjatuh kesakitan dan berkata padanya.
“Obiet kenapa sih, Ik? Kalian sedang tak baik?” Tanya Ify.
Semalam aku menulis cerpen dan aku tak sadar kalau Obiet mengirim pesan , tapi karena sudah larut malam, ya tak aku balas. Aku pikir dia aka, If.” Ujar Oik dengan wajah penuh dosa.
Pantas saja, Ik, kamu yang keterlaluan sih..! Cerpen terus yang dipikirkan. Sampai lupa sama pacar sendiri.” Kata Rio menyalahkanku.
Aku tak yakin kalau akan seperti ini.” Jelasnya tampak memelas.
Aduh, Ik? Kenapa masih disini? Cepat kejar Obiet dan minta maaf.” Suruh Ify yang tak tega melihatku.
Segera ia berlari mengejar Obiet. Akhirnya sampai. Ia berhasil menghentikan langkahnya.
“Obiet.. Oik minta maaf ya, Oik harap Obiet mau memaafkan Oik.” Ucap sang gadis lirih dengan nada meminta.
Pengertian Obiet  juga ada batasnya, Oik..!” jawab Obiet.
Dengarkan Oik dulu, Obiet.. Sebenarnya cerpen Oik itu…” kata Oik terputus oleh Obiet.
Apa? Sudahlah,  Oik. Lupakan saja.” Ucap Obiet sembari pergi.
Obiet yang dipenuhi amarah, tak memperhatikan sekelilingnya. Tampak jelas sebuah mobil melaju kencang dan sukses membuatnya, “BRAAAKKKK”
Obiiiiieeeeetttt…….” Teriak Oik tak percaya bahwa ia telah gagal menyelamatkan pemudanya dari insiden itu.
Rio dan Ify pun ikut kaget. Segera menolong sahabatnya dan membawa Obiet ke rumah sakit. Oik merasa sangat bersalah. Bunda Obiet langsung datang dengan raut yang harap-harap cemas mendengar putranya kecelakaan.
“Oik, bagaimana keadaan Obiet?” Tanya beliau pada Oik yang kali itu berada di depan ruangan Obiet dirawat.
O..o..Obiet…?” Ia tak kuasa mengatakannya.
Tiba-tiba dokter yang dinantikan orang-orang yang khawatir dengan keadaan Obiet menampakkan diri di sekeliling keluarga Obiet.
 Bagaimana keadaan putra saya, Dok?” Tanya mambundaa Obiet histeris.
“Obiet, masih kritis, sekarang dia masih koma.” Ucap dokter.
“Obiet.. maafin Oik..!” teriak Oik dalam hati dipenuhi penyesalan yang belum juga berujung.
Sabar ya, Ik.” Ucap Ify mencoba menenangkan sahabatnya.
“Hari ini adalah hari ultahku, apakah ini hadiah yang Engkau berikan Tuhan..?” tanya Oik dalam hati.
***
Sudah genap dua hari Obiet belum juga sadar. Sampai akhirnya bunda Obiet berkata pada Oik, “Kata dokter, waktu  Obiet sudah tidak lama lagi. Kamu harus ikhlas.” ucapnya.
Tante jangan ngomong gitu dong, Tan..!” balas Oik tidak terima.
“Obiet sering cerita ke tante tentang kamu. Dan terakhir, dia menitipkan ini pada tante.”
Beliau memberiku sepucuk surat dari Obiet. Seperti inilah isinya :
“Oik, Obiet minta maaf ya, Obiet belum bisa menciptakan kebahagiaan buat Oik. Yang Oik perlu tahu, Obiet mencintai Oik lebih dari yang Oik kira, perempuan yang pernah ada dihati Obiet cuma dan hanya Oik. Seandainya ada yang lain, Obiet pasti akan memilih Oik. Suatu saat, Tuhan akan pertemukan kita di surga.”
Begitulah pesan terakhir Obiet yang kubaca perlahan di taman rumah sakit dimana Obiet dirawat. Kemudian ia teringat, sebuah kata bijak seorang penyair ternama, Kahlil Gibran,
Hal yang paling menyedihkan dalam hidup adalah ketika mereka tidak menghargai orang yang mencintai mereka dengan sepenuh hati, sehingga mereka kehilangannya. Dan pada saat itu, tiada guna penyesalan karena dia sudah tidak berkata lagi, & mereka harus membiarkanya pergi.”
Kejadian ini cukup membuat Oik sadar, bahwa ia terlalu egois. Tiba-tiba terdengar suara Obiet memanggil gadis yang dipenuhi kesenduan itu.
Ah..tak mungkin. Obiet masih belum juga sadar.” Pikirnya mereka-reka tak yakin.
“Oik…” suara itu kembali terdengar begitu jelas di telinga Oik. Ia mencoba menghapus air matanya dan menoleh kearah belakang.
“Obiieeettt….” Teriak Oik girang melihat Obiet sehat-sehat saja.
Jadi….yang di ruang itu…?” Tutur Oik menggantung kebingungan.
Bukan siapa-siapa, Ik, itu hanya akal-akalan Obiet saja kok.” Jelas Rio.
“Ahh….jahat. Tega banget sih kalian semua sama aku!  Ucapnya dengan nada tinggi.
Obiet minta maaf, Obiet sebel, kalau Oik egois gitu. Obiet ingin Oik yang dulu. Jadi maukan memaafkan Obiet?” ucap Obiet sedikit meminta pada Oik.
Oik setuju. Ia sangat berterima kasih pada mereka yang menyadarkannya betapa pentingnya kebersamaan.
***
Menulis memang hobi sang gadis. Dan menjadi penulis adalah sebagian kecil dari mimpi-mimpinya. Tapi ia sadar, menulis bukanlah segalanya. Ia masih punya orang-orang  yang menyayanginya yang juga memerlukan perhatiannya. Tanpa dukungan mereka, ia bukanlah apa-apa. Segera Oik mengambil cerpennya dalam tas dan menunjukkannya pada Obiet.
“Obiet, this is my first short story. All about us. And I want, you’re the first reader’s. Hope you like it.”

2 komentar: