Mentari pagi
mulai menembus celah-celah jendela di ruang tidurku dan memaksaku untuk bangun.
Tak bisa kuhindari, aku memang harus bangkit dari kasurku yang lumayan empuk.
Jam wekker di meja belajarku juga sudah berbunyi beberapa kali. Terlihat jam
dinding di ruang tidurku menunjukan pukul enam pagi. Aku telat menyapa seruan Tuhanku.
Berulang kali kuucapkan kalimat istighfar memohon ampun pada Tuhanku atas
kekhilafanku dan segera melaksanakan kewajiban sholat subuh.
Namaku cukup
singkat. Sebut saja Acha. Aku adalah salah satu keturunan keluarga Gates. Yang
dulu sempat heboh saat Thomas Gates, kakekku menemukan kota emas di
Philadelphia, United State. Yah, sayangnya perkenalan singkatku itu hanya
khayalanku saja. Mungkin karena aku begitu gila dengan Big Movies yang
menakjubkan itu. Sehingga aku mengaku sebagai titisan Gates. Hahaha... Faktanya
aku hanya gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Tapi, aku banyak
diselimuti rasa syukur memiliki dua orang tua seperti ayah dan ibu yang tak
surut menyebut namaku dala setiap doa mereka, kakakku sekaligus temanku untuk
berkelahi, saudara, teman-teman juga guru yang tak henti menemaniku belajar.
Ya, belajar. Belajar tentang hidup. Belajar bagaimana aku bertahan. Belajar
bagaimana aku kembali pada Tuhanku dalam keadaan yang baik.
Saat ini aku
sudah bisa dikatakan bukan lagi anak kecil dengan segala tingkah kemanjaanku.
Seragamku sudah putih abu-abu. Artinya aku sudah menginjak usia remaja yang
katanya penuh dengan gejolak. Dan aku percaya itu, karena aku sendiri yang
mengalami. Ibuku adalah orang pertama yang menentangku untuk tidak bergaul
dengan laki-laki di luar sebagai teman. Katakan saja pacaran. Katanya sih,
pacaran hanya akan mengganggu sekolah saja. Tapi sebagian temanku mengatakan
pacaran itu sumber semangat. Aku kini berada di dua blok. Banyak waktuku berada
di rumah dari pada di sekolah. Jadi intensitas untuk sekadar ngobrol dengan
keluarga terutama ibuku jauh lebih sering. Dan sesering itu, obrolan kami pasti
ujung-ujungnya jangan pacaran. Aku sudah paham dengan orang yang telah berjasa
melahirkanku ini. Aku coba untuk menaati nasihat ibuku. Seberat apapun itu, aku
yakin ia bermaksud baik terhadapku.
Seseorang
pemuda pernah mendekatiku dan meminta padaku untuk menjadi teman dekatnya. Tapi
aku masih tetap pada pendirianku untuk tidak pacaran. Disinilah aku secara
sengaja maupun tidak telah menyakiti orang lain. Dan karena insiden ini, aku
jadi semakin paham mengapa ibu melarangku pacaran. Hmm... Belum jadi pacar saja
aku sudah berhasil membuat hati orang lain terluka, apalagi jika pacaran?
Hehehe... Hatiku memang satu. Tidak bertambah dan tidak akan berkurang. Kecuali
nanti, jika aku mati. Sebenarnya aku tidak tega bila harus menolak permintaan
pemuda itu. Aku rasa dia pemuda yang baik. Dan mungkin, seperti apa yang
teman-temanku katakan, dia bisa jadi sumber semangatku untuk mencetak prestasi
di sekolah. Tapi entahlah, aku lebih kuat dalam cintaku untuk Tuhanku dan untuk
ibuku.
Aku menjalani
semuanya tanpa pacaran. Dan rasanya enjoy
saja menurutku. Aku bebas dekat dengan siapapun tanpa harus patuh pada
kekasihku bila memang benar aku pacaran. Aku punya banyak teman lelaki, dan
sebanyak itu mereka semua baik terhadapku. Salah satu dari mereka ada yang
spesial menurutku. Sekitar dua tahun aku mengenalnya. Sepertinya aku memang
menyukainya. Dia baik dari yang lainnya menurutku. Mungkin kali ini aku baru
merasakan bagaimana jabtungku derdetak lebih cepat dari biasanya. Aku jatuh
cinta. Mungkin ungkapan ini lebih tepat. Aku mencintainya karena Tuhanku. Aku
mencintainya karena kesholehannya. Aku mencintainya karena kebaikannya. Aku
mencintainya karena islam. Aku mencintainya dalam diamku. Dalam ketulusan,
dalam kesucian hati, dan dalam cara tak biasa ini. Kata orang cinta itu dikejar,
jangan sampai lepas. Tapi aku tak ingin terlalu mengharapkannya. Karena
berharap hanya pantas pada Sang Pemberi nafas. Dan aku juga cukup paham dengan
pemuda ini. Aku cukup yakin bahwa dia juga tengah mengindar dari gejolak yang
satu itu, pacaran. Darinya aku seperti banyak berubah. Semenjak aku masuk SMA
dan aktif mengikuti kajian keislaman, aku baru sadar mengapa pemuda itu begitu
memberi jarak saat di dekatku. Mengapa dia tak pernah mengirimkan pesan singkat
untuk sekadar menanyakan kabar. Dan mengapa setiap pesan yang ia kirimkan
nyaris tak pernah berbau lelucon seperti teman laki-laki yang aku kenal
kebanyakan. Itu karena Rasulullah tak juga tak pernah melakukan hal yang
kebanyakan pemuda melakukan itu. Pemuda yang spesial ini memang mencontoh
teladan Rasulnya. Itu sebabnya aku care
dengannya dan menaruh seperberapa persen cintaku untuknya.
Diam-diam
ibuku membaca pesan-pesan yang muncul di inbox-ku.
Dan beberapa kali menanyakan pemuda itu. Ada sedikit kekecewaan tampak di raut
ibuku.
“Nak, berjuang
demi cinta bukan berarti mencari dan mengemis cinta. Ingatlah bahwasanya di
luar sana masih banyak yang akan memberimu cinta, tanpa harus kau minta.” Ibu
memberiku isyarat lagi. Aku tahu benar, maksudnya pasti agar aku tidak pacaran.
“Hmm... umi
terlalu berlebihan. Acha ingat kok.”
Balasku penuh keyakinan.
Ibu adalah
simbol cinta. Kasih sayangnya mengalir hingga ke dasar sum-sum. Segala
kebaikannya tak akan mampu terbalas oleh apapun. Ia selalu bisa menciptakan
sejuta alasan untuk tersenyum. Itu sebabnya aku bahkan mereka kebanyakan harus
patuh terhadapnya. Ya, pada ibu.
Kembali pada
pemuda mengagumkan itu. Pemuda yang aku sendiri bingung hendak memanggilnya
dengan sebutan apa. Ozy, ya, dia. Yang jelas, pemuda yang selalu acuh bila ku
kirimi pesan ya hanya dia. Dan di balik
sikap acuhnya itu selalu saja membuatku galau. Ah tidak. Galau itu adalah rekaan
makhluk sebangsa manusia. Manusia yang laik tak punya iman sehingga menumpahkan
kekesalan akibat sesuatu yang tak diharapkan terjadi dalam sebuah kata. Yaitu,
galau. Aku tak pantas ikut-ikutan peradaban itu. Karena Rasulku telah begitu
berjasa membawaku dan mereka umat islam dari zaman kegelapan ke zaman yang
terang benderang seperti sekarang ini. Aku tak boleh menyiakan kesempatan yang
baik ini untuk melakukan kebodohan dengan kata galau itu. Ya, itu adalah sebuah
keharusan.
Pemuda yang
menawan itu. Ah, nyaris aku kehilangan iman bila mengingat-ingat sosok itu.
Tapi tak bisa kupungkiri. Acuhnya dia justru membuatku semakin penasaran meski
aku sudah tahu alasan mengapa dia tak membalas pesanku. “Karena itu tidak
penting.” Baginya mungkin itu tak penting. Tapi bagiku itu penting. Karena aku
tak menginginkan komunikasi yang baik ini terputus. Apalagi dengan pemuda yang
satu ini. Hehehe... Aku senang bisa mengenalnya. Tak masalah meski kami tak
bisa setiap hari berjumpa, karena bila bertatap pun kami bingung akan berkata
apa. Sesekali bertemu, jangankan menyapa, tersenyum pun tidak. Itulah sikap
kami berdua. Hanya saling pandang, tersipu dan diam. Tak ada sepatah kata pun
muncul dari mulut yang sudah terbiasa ngoceh. Dengan pemuda itu memang suatu
keanehan. Bila bersama teman aku mampu berorasi hingga berbusa. Tapi bila
dengan pemuda ini, bisa jadi diam seribu bahasa. Membawa suasana kelam membisu.
Aku pernah berharap
bisa bertelephaty dengan memberi
isyarat bahwa aku merasakan rindu yang sangat. Sayangnya ternyata aku tak bisa
menerima balasan telephaty itu.
Artinya aku gagal. Tidak mengapa. Barangkali Tuhan belum menghendaki itu.
“Astaghfirullah...” sadar maupun tidak aku tengah mengharapkannya. Padahal
berharap itu hanya pantas kutujukan untuk illahku, yaitu Allah yang telah
menciptakanku juga pemuda yang sering singgah di benakku. Aku sedang menambah
daftar catatan dosaku. Aku harus selekas mungkin mengadukan semua ini pada
Tuhanku. Memohon ampunan, agar aku dapat menarik napas lega. Sesudahnya,
rasanya aku baru bisa merasa lepas dari beban yang berat. Pada-Nya aku mendapat
ketenangan. Itulah salah satu dari kehebatan Tuhanku.
*****
Seperti
malam-malam sebelumnya, phone cellku
hanya dipenuhi oleh pesan-pesan dari temanku yang selalu saja berisi pertanyaan
seputar pelajaran di sekolah. Entahlah apa alasan mereka menanyakan itu padaku.
Kupikir mereka percaya bila sms balasanku selalu membawa kepastian. Padahal segala
yang pasti itu berasal dari-Nya yang Maha Mengetahui. Malam telah sempurna
gelap. Aku masih asik dengan buku-buku yang berceceran di ranjangku. Dering phone cellku berdentum beberapa kali
pertanda pesan masuk. “Mungkinkah itu ...” pikirku menebak-nebak karena
nomornya yang biasa muncul di waktu seperti ini. Pukul sembilan kurang
seperempat. Katanya sih, itu waktu yang menyenangkan, waktu yang bebas untuk
melakukan hal-hal pengantar tidur seperti sms-an. Hehehe... tapi keraguanku
terlalu besar. Rasanya tak mungkin pemudaku yang mengirim pesan, karena masih
dengan alasan yang sama. Seperti yang sudah-sudah.
“Assalamu’alaikum... Acha, gmana kabar?” tanya
pemudaku terhadapku. Mungkin aku sedang bermimpi. Atau mungkin Tuhan sedang
berbaik hati padaku. Memberikan obat rinduku yang cukup dalam pada pemudaku.
Aku kembali menatap layar phone cellku.
Memastikan kebenaran itu dan ternyata memang benar. Tak salah lagi karena aku juga
mendapat bantuan kacamata miopi yang telah jarang kukenakan karena jemu. Aku
bingung dengan balasan apa yang harus kuberikan. Detak jantungku mulai tidak
teratur. Sedikit lebih cepat dari biasanya. Aku merasakan angin luar yang masuk
melalui celah-celah dinding ikut mengerti bagaimana suasana hatiku kala itu.
Apakah yang membawa pemudaku mengirimkan pesan tak biasa ini? Hmm... Rasa
kantukku dengan cepat berubah menjadi semangat baru.
“Wa’alaikumussalam...
baik. Bgmana sebaliknya? Tumben Ozy sms!” balasku sedikit ketus meski aku ragu
untuk membalas pesannya dengan nada itu.
“Hmm, tidak
apa-apa. Alhamdulillah. Anggap saja Ozy baik.” Balasnya lebih ketus tidak salah
dari dugaanku.
“Zy, kenapa
kamu nyaris tak pernah mengirim pesan. Menelponpun sama sekali belum pernah...
padahal kita teman satu angkatan. Banyak hal yang bisa kita perbincangkan. Yang
mungkin bisa membuat kita jadi lebih baik.” Tanyaku tak sabar menanti jawaban
Ozy.
“Membuat kita
jadi lebih baik?” balasnya mengandung pertanyaan. Ah, dia tak paham dengan
isyarat yang kusebutkan.
“Hmm, maksud
Acha membuat prestasi kita jadi lebih baik. Yaitu melalui perbincangan tentang
edukasi yang semestinya bisa kita lakukan.” Jawabku sedikit gugup meski hanya
melalui pesan singkat.
“Oh, itu to?
Sebenernya Ozy takut kalau kita terlalu sering berbincang berdua, meski hanya
sms, itu akan menjadi perangkap syetan antara kita.” Ucapnya pasti dan berhasil
membuatku tertegun.
“Terus, kenapa
Ozy tak pernah memuji Acha seperti kebanyakan teman laki-laki Acha?” tanyaku
lagi.
“Segala puji
hanya untuk Allah Yang Mahaesa, Acha.”
“Kenapa Ozy
terlalu tegas dan memberi jarak yang teramat dengan perempuan yang mencoba
kenal dengan Ozy?”
“Umar bin
Khattab seorang yang tegas. Ozy mau mencontohi beliau, Cha. Lelaki dan
perempuan ibarat magnet. Kalau Ozy memberi sikap terlalu mesra, nanti Acha dan
perempuan kebanyakan akan mengambil kesempatan atas kemesraan Ozy dan ini akan
menimbulkan satu harapan dalam hati mereka. Ozy ingin mencintai wanita dengan
indah, karena Ozy tidak mau mengecewakan wanita. Allah lebih mengerti.
Wassalam...”
“Allahu Akbar.
Ini kali pertama Acha mengenal lelaki seperti Ozy.”
Menjelang
tengah malam, segala keramaian menegangkan yang tercipta mulai surut. Sang
waktu telah menuntut mekanisme tubuhku untuk beristirahat. Aku menurut. Buku
yang semula berserakan di sana-sini telah selesai kubereskan. Ku hentikan
segala aktivitasku dan tenggelam dalam mimpi yang kuharapkan indah. Hatiku
tengah bergembira.
25
Jun. 13 20:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar