Jumat, 23 Agustus 2013

Imaji Liar 21



Mentari pagi mulai menembus celah-celah jendela di ruang tidurku dan memaksaku untuk bangun. Tak bisa kuhindari, aku memang harus bangkit dari kasurku yang lumayan empuk. Jam wekker di meja belajarku juga sudah berbunyi beberapa kali. Terlihat jam dinding di ruang tidurku menunjukan pukul enam pagi. Aku telat menyapa seruan Tuhanku. Berulang kali kuucapkan kalimat istighfar memohon ampun pada Tuhanku atas kekhilafanku dan segera melaksanakan kewajiban sholat subuh.
Namaku cukup singkat. Sebut saja Acha. Aku adalah salah satu keturunan keluarga Gates. Yang
dulu sempat heboh saat Thomas Gates, kakekku menemukan kota emas di Philadelphia, United State. Yah, sayangnya perkenalan singkatku itu hanya khayalanku saja. Mungkin karena aku begitu gila dengan Big Movies yang menakjubkan itu. Sehingga aku mengaku sebagai titisan Gates. Hahaha... Faktanya aku hanya gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Tapi, aku banyak diselimuti rasa syukur memiliki dua orang tua seperti ayah dan ibu yang tak surut menyebut namaku dala setiap doa mereka, kakakku sekaligus temanku untuk berkelahi, saudara, teman-teman juga guru yang tak henti menemaniku belajar. Ya, belajar. Belajar tentang hidup. Belajar bagaimana aku bertahan. Belajar bagaimana aku kembali pada Tuhanku dalam keadaan yang baik.
Saat ini aku sudah bisa dikatakan bukan lagi anak kecil dengan segala tingkah kemanjaanku. Seragamku sudah putih abu-abu. Artinya aku sudah menginjak usia remaja yang katanya penuh dengan gejolak. Dan aku percaya itu, karena aku sendiri yang mengalami. Ibuku adalah orang pertama yang menentangku untuk tidak bergaul dengan laki-laki di luar sebagai teman. Katakan saja pacaran. Katanya sih, pacaran hanya akan mengganggu sekolah saja. Tapi sebagian temanku mengatakan pacaran itu sumber semangat. Aku kini berada di dua blok. Banyak waktuku berada di rumah dari pada di sekolah. Jadi intensitas untuk sekadar ngobrol dengan keluarga terutama ibuku jauh lebih sering. Dan sesering itu, obrolan kami pasti ujung-ujungnya jangan pacaran. Aku sudah paham dengan orang yang telah berjasa melahirkanku ini. Aku coba untuk menaati nasihat ibuku. Seberat apapun itu, aku yakin ia bermaksud baik terhadapku.
Seseorang pemuda pernah mendekatiku dan meminta padaku untuk menjadi teman dekatnya. Tapi aku masih tetap pada pendirianku untuk tidak pacaran. Disinilah aku secara sengaja maupun tidak telah menyakiti orang lain. Dan karena insiden ini, aku jadi semakin paham mengapa ibu melarangku pacaran. Hmm... Belum jadi pacar saja aku sudah berhasil membuat hati orang lain terluka, apalagi jika pacaran? Hehehe... Hatiku memang satu. Tidak bertambah dan tidak akan berkurang. Kecuali nanti, jika aku mati. Sebenarnya aku tidak tega bila harus menolak permintaan pemuda itu. Aku rasa dia pemuda yang baik. Dan mungkin, seperti apa yang teman-temanku katakan, dia bisa jadi sumber semangatku untuk mencetak prestasi di sekolah. Tapi entahlah, aku lebih kuat dalam cintaku untuk Tuhanku dan untuk ibuku.
Aku menjalani semuanya tanpa pacaran. Dan rasanya enjoy saja menurutku. Aku bebas dekat dengan siapapun tanpa harus patuh pada kekasihku bila memang benar aku pacaran. Aku punya banyak teman lelaki, dan sebanyak itu mereka semua baik terhadapku. Salah satu dari mereka ada yang spesial menurutku. Sekitar dua tahun aku mengenalnya. Sepertinya aku memang menyukainya. Dia baik dari yang lainnya menurutku. Mungkin kali ini aku baru merasakan bagaimana jabtungku derdetak lebih cepat dari biasanya. Aku jatuh cinta. Mungkin ungkapan ini lebih tepat. Aku mencintainya karena Tuhanku. Aku mencintainya karena kesholehannya. Aku mencintainya karena kebaikannya. Aku mencintainya karena islam. Aku mencintainya dalam diamku. Dalam ketulusan, dalam kesucian hati, dan dalam cara tak biasa ini. Kata orang cinta itu dikejar, jangan sampai lepas. Tapi aku tak ingin terlalu mengharapkannya. Karena berharap hanya pantas pada Sang Pemberi nafas. Dan aku juga cukup paham dengan pemuda ini. Aku cukup yakin bahwa dia juga tengah mengindar dari gejolak yang satu itu, pacaran. Darinya aku seperti banyak berubah. Semenjak aku masuk SMA dan aktif mengikuti kajian keislaman, aku baru sadar mengapa pemuda itu begitu memberi jarak saat di dekatku. Mengapa dia tak pernah mengirimkan pesan singkat untuk sekadar menanyakan kabar. Dan mengapa setiap pesan yang ia kirimkan nyaris tak pernah berbau lelucon seperti teman laki-laki yang aku kenal kebanyakan. Itu karena Rasulullah tak juga tak pernah melakukan hal yang kebanyakan pemuda melakukan itu. Pemuda yang spesial ini memang mencontoh teladan Rasulnya. Itu sebabnya aku care dengannya dan menaruh seperberapa persen cintaku untuknya.
Diam-diam ibuku membaca pesan-pesan yang muncul di inbox-ku. Dan beberapa kali menanyakan pemuda itu. Ada sedikit kekecewaan tampak di raut ibuku.
“Nak, berjuang demi cinta bukan berarti mencari dan mengemis cinta. Ingatlah bahwasanya di luar sana masih banyak yang akan memberimu cinta, tanpa harus kau minta.” Ibu memberiku isyarat lagi. Aku tahu benar, maksudnya pasti agar aku tidak pacaran.
“Hmm... umi terlalu berlebihan. Acha  ingat kok.” Balasku penuh keyakinan.
Ibu adalah simbol cinta. Kasih sayangnya mengalir hingga ke dasar sum-sum. Segala kebaikannya tak akan mampu terbalas oleh apapun. Ia selalu bisa menciptakan sejuta alasan untuk tersenyum. Itu sebabnya aku bahkan mereka kebanyakan harus patuh terhadapnya. Ya, pada ibu.
Kembali pada pemuda mengagumkan itu. Pemuda yang aku sendiri bingung hendak memanggilnya dengan sebutan apa. Ozy, ya, dia. Yang jelas, pemuda yang selalu acuh bila ku kirimi pesan ya hanya  dia. Dan di balik sikap acuhnya itu selalu saja membuatku galau. Ah tidak. Galau itu adalah rekaan makhluk sebangsa manusia. Manusia yang laik tak punya iman sehingga menumpahkan kekesalan akibat sesuatu yang tak diharapkan terjadi dalam sebuah kata. Yaitu, galau. Aku tak pantas ikut-ikutan peradaban itu. Karena Rasulku telah begitu berjasa membawaku dan mereka umat islam dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini. Aku tak boleh menyiakan kesempatan yang baik ini untuk melakukan kebodohan dengan kata galau itu. Ya, itu adalah sebuah keharusan.
Pemuda yang menawan itu. Ah, nyaris aku kehilangan iman bila mengingat-ingat sosok itu. Tapi tak bisa kupungkiri. Acuhnya dia justru membuatku semakin penasaran meski aku sudah tahu alasan mengapa dia tak membalas pesanku. “Karena itu tidak penting.” Baginya mungkin itu tak penting. Tapi bagiku itu penting. Karena aku tak menginginkan komunikasi yang baik ini terputus. Apalagi dengan pemuda yang satu ini. Hehehe... Aku senang bisa mengenalnya. Tak masalah meski kami tak bisa setiap hari berjumpa, karena bila bertatap pun kami bingung akan berkata apa. Sesekali bertemu, jangankan menyapa, tersenyum pun tidak. Itulah sikap kami berdua. Hanya saling pandang, tersipu dan diam. Tak ada sepatah kata pun muncul dari mulut yang sudah terbiasa ngoceh. Dengan pemuda itu memang suatu keanehan. Bila bersama teman aku mampu berorasi hingga berbusa. Tapi bila dengan pemuda ini, bisa jadi diam seribu bahasa. Membawa suasana kelam membisu.
Aku pernah berharap bisa bertelephaty dengan memberi isyarat bahwa aku merasakan rindu yang sangat. Sayangnya ternyata aku tak bisa menerima balasan telephaty itu. Artinya aku gagal. Tidak mengapa. Barangkali Tuhan belum menghendaki itu. “Astaghfirullah...” sadar maupun tidak aku tengah mengharapkannya. Padahal berharap itu hanya pantas kutujukan untuk illahku, yaitu Allah yang telah menciptakanku juga pemuda yang sering singgah di benakku. Aku sedang menambah daftar catatan dosaku. Aku harus selekas mungkin mengadukan semua ini pada Tuhanku. Memohon ampunan, agar aku dapat menarik napas lega. Sesudahnya, rasanya aku baru bisa merasa lepas dari beban yang berat. Pada-Nya aku mendapat ketenangan. Itulah salah satu dari kehebatan Tuhanku.
*****
Seperti malam-malam sebelumnya, phone cellku hanya dipenuhi oleh pesan-pesan dari temanku yang selalu saja berisi pertanyaan seputar pelajaran di sekolah. Entahlah apa alasan mereka menanyakan itu padaku. Kupikir mereka percaya bila sms balasanku selalu membawa kepastian. Padahal segala yang pasti itu berasal dari-Nya yang Maha Mengetahui. Malam telah sempurna gelap. Aku masih asik dengan buku-buku yang berceceran di ranjangku. Dering phone cellku berdentum beberapa kali pertanda pesan masuk. “Mungkinkah itu ...” pikirku menebak-nebak karena nomornya yang biasa muncul di waktu seperti ini. Pukul sembilan kurang seperempat. Katanya sih, itu waktu yang menyenangkan, waktu yang bebas untuk melakukan hal-hal pengantar tidur seperti sms-an. Hehehe... tapi keraguanku terlalu besar. Rasanya tak mungkin pemudaku yang mengirim pesan, karena masih dengan alasan yang sama. Seperti yang sudah-sudah.
 “Assalamu’alaikum... Acha, gmana kabar?” tanya pemudaku terhadapku. Mungkin aku sedang bermimpi. Atau mungkin Tuhan sedang berbaik hati padaku. Memberikan obat rinduku yang cukup dalam pada pemudaku. Aku kembali menatap layar phone cellku. Memastikan kebenaran itu dan ternyata memang benar. Tak salah lagi karena aku juga mendapat bantuan kacamata miopi yang telah jarang kukenakan karena jemu. Aku bingung dengan balasan apa yang harus kuberikan. Detak jantungku mulai tidak teratur. Sedikit lebih cepat dari biasanya. Aku merasakan angin luar yang masuk melalui celah-celah dinding ikut mengerti bagaimana suasana hatiku kala itu. Apakah yang membawa pemudaku mengirimkan pesan tak biasa ini? Hmm... Rasa kantukku dengan cepat berubah menjadi semangat baru.
“Wa’alaikumussalam... baik. Bgmana sebaliknya? Tumben Ozy sms!” balasku sedikit ketus meski aku ragu untuk membalas pesannya dengan nada itu.
“Hmm, tidak apa-apa. Alhamdulillah. Anggap saja Ozy baik.” Balasnya lebih ketus tidak salah dari dugaanku.
“Zy, kenapa kamu nyaris tak pernah mengirim pesan. Menelponpun sama sekali belum pernah... padahal kita teman satu angkatan. Banyak hal yang bisa kita perbincangkan. Yang mungkin bisa membuat kita jadi lebih baik.” Tanyaku tak sabar menanti jawaban Ozy.
“Membuat kita jadi lebih baik?” balasnya mengandung pertanyaan. Ah, dia tak paham dengan isyarat yang kusebutkan.
“Hmm, maksud Acha membuat prestasi kita jadi lebih baik. Yaitu melalui perbincangan tentang edukasi yang semestinya bisa kita lakukan.” Jawabku sedikit gugup meski hanya melalui pesan singkat.
“Oh, itu to? Sebenernya Ozy takut kalau kita terlalu sering berbincang berdua, meski hanya sms, itu akan menjadi perangkap syetan antara kita.” Ucapnya pasti dan berhasil membuatku tertegun.
“Terus, kenapa Ozy tak pernah memuji Acha seperti kebanyakan teman laki-laki Acha?” tanyaku lagi.
“Segala puji hanya untuk Allah Yang Mahaesa, Acha.”
“Kenapa Ozy terlalu tegas dan memberi jarak yang teramat dengan perempuan yang mencoba kenal dengan Ozy?”
“Umar bin Khattab seorang yang tegas. Ozy mau mencontohi beliau, Cha. Lelaki dan perempuan ibarat magnet. Kalau Ozy memberi sikap terlalu mesra, nanti Acha dan perempuan kebanyakan akan mengambil kesempatan atas kemesraan Ozy dan ini akan menimbulkan satu harapan dalam hati mereka. Ozy ingin mencintai wanita dengan indah, karena Ozy tidak mau mengecewakan wanita. Allah lebih mengerti. Wassalam...”
“Allahu Akbar. Ini kali pertama Acha mengenal lelaki seperti Ozy.”
Menjelang tengah malam, segala keramaian menegangkan yang tercipta mulai surut. Sang waktu telah menuntut mekanisme tubuhku untuk beristirahat. Aku menurut. Buku yang semula berserakan di sana-sini telah selesai kubereskan. Ku hentikan segala aktivitasku dan tenggelam dalam mimpi yang kuharapkan indah. Hatiku tengah bergembira.

                                                                                                                25 Jun. 13 20:30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar