Senin, 05 Agustus 2013

Ketika hidayah datang, genggam!



Pukul enam tiga puluh di terminal  bus sidareja masih diselimuti kabut yang cukup tebal. Terbukti dengan melihat apa-apa yang ada di depan akan tampak samar. Tak seiring suasana yang seharusnya masih sepi. Orang-orang telah ramai dengan berbagai cuap-cuap mereka menanti keberangkatan bus menuju beragam tujuan masing-masing. Gemuruh suara para calo terdengar nyaring sampai di telinga. Menawarkan jasanya kepada para calon penumpang bus. Rata-rata dari mereka berwajah sangar dengan jenggot tipis
yang sudah mulai banyak berubah warna karena usia yang semakin tua disertai pakaian yang serba biru. Kompak sekali para calo itu. Lain halnya dengan pengasong. Ramai-ramai mereka lalu lalang menjajakan dagangannya. Dari berjualanlah mereka kebanyakan menggantungkan hidup. Mengharap kedatangan rezeki tuhannya. Tampak pula para montir yang sibuk memamerkan keterampilan tangannya untuk memberi pernyataan kepada kondektur bahwa bus telah siap digunakan. Banyak noda disana-sini mengotori seragam kerja montir akibat berhubungan langsung dengan oli. Buruk sekali. Tetapi begitulah profesi mereka. Nikmat Allah yang harus disyukuri.
“tan, Intan...!!” Seru seseorang dari belakang sedikit berteriak mengagetkan.
“oh, mba.. Gasik mba?” Sahut Intan pada teman perjalanannya. Ia kira, dirinya adalah orang pertama yang sampai di terminal, faktanya ada yang mendahuluinya. Ah, tak masalah. Apa yang perlu diperdebatkan? Pertama atau keberapapun mereka akan berangkat bersama dengan delapan teman lainnya yang sampai saat itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Matahari mulai menampakkan ronanya dari ufuk timur. Membawa sembilan pelajar islam bangkit dari kursi tunggu dan beranjak memasuki bus. Intan duduk ditemani oleh Farida, teman seangkatannya yang baru naik ke kelas yang setingkat lebih tinggi. Keduanya duduk di bangku kedua, tepatnya dekat dekat dengan pintu.
“ini adalah kali pertamaku naik bis bareng temen-temen.” Ucap Farida memulai pembicaraan.
“hahaha... :d payah, ah!” Balas gadis pemilik nama Intan yang kerap disapa dengan sebutan “mba” walaupun teman sebaya sekalipun.
Sang sopir mulai memutar kontak dan langsung saja tancap gas pertanda bus akan segera melaju. Tak lama dari itu, kondektur mulai bersiap dengan gaya khasnya berteriak, “arisan..arisan..” Satu per satu kondektur menarik balas jasa kepada para penumpang. Hmm, subsidi naik, semuanya jadi naik. Tak luput pada tarif bus menuju cilacap. Ya, cilacap. Intan dan kesepuluh temannya termasuk kakak kelas hendak mengikuti silaturahmi rohis se-kabupaten cilacap. Rohis adalah  wadah bagi pelajar muslim untuk menambah wawasan keislaman. Yap, tepat sekali.
Perjalanan yang terbilang cukup lama itu berhasil membuat sebagian besar penumpang terus beristighfar. Jalan raya sidareja-cilacap sudah sangat jauh berbeda dari beberapa waktu sebelumnya. Sangat menyebalkan. Seperti berjalan di tengah samudera. Berombak dan bergelombang karena disana-sini banyak lubang. Kalau musim kemarau diselimuti debu, sedang di musim penghujan banyak air menggenang. Tidak. Bukan menggenang, tapi seperti air mancur. Banyaknya kendaraan yang lalu lalang terutama mobil besar sudah pasti membuat pengendara roda dua terus menghela nafas kesal bila mereka kecipratan air kotor itu. Hahaha...
Baru melewati perbatasan pertama, mba tri, salah satu dari delegasi kedungreja termasuk Intan harus mengalah berdiri demi orang tua yang memang sudah cukup sepuh. Dan di perbatasan keempat, kini Intan yang meikhlaskan tempat duduknya untuk pak tua. Sudah sepuh sekali. Tapi badannya masih terlihat bugar seperti tidak memiliki penyakit tua yang kebanyakan nenek dan kakek punya. Wah, pahala. Itulah yang termuat dibenak gadis kecil yang memang bertubuh kecil, Intan. Lebih singkatnya int. Hehehe...
Baru sampai di tujuan, rasanya senang sekali. Int menarik napas lega. Alam sepertinya memang memerintahkan int untuk datang. Dan ikut dalam suasana yang sepertinya akan membuat mereka kebanyakan tertarik untuk ikut lagi. Berkumpul dengan orang-orang baik memang menyenangkan. Dengannya bisa membawa mereka hanyut dalam kebaikan yang serupa. Disana int juga rekan-rekannya mendapat banyak teman baru, pengalaman baru, dan terutama wawasan yang lebih luas tentang islam.
“Aku sudah satu tahun duduk di bangku SMA. Sekarang sudah naik ke kelas sebelas. Rasanya berhijab itu ngena banget sampe ke dasar sumsum. Apalagi di rohis, seperti hidayah datang kepadaku meski aku sempat menjauh dari rohis karena sesuatu hal. Nyaris aku kehilangan hidayah itu, tapi aku siap untuk jadi aktivis di rohis lagi. Dengannya aku berharap mendapat syafaat Allah untuk mengkaji islam secara kaffah. Ditambah lagi ikut acara silaturahmi ini semakin yakin aku akan keislamanku. Wah, senengnya.. Temen Intan jadi tambah banyak. J” batin Int penuh khidmat mendalami acara yang hendak dilaluinya bersama teman barunya maupun rekannya. Tak hanya itu, bersama sahabat lamapun mereka  bertemu. Acara itu tak sekadar silaturahmi, ternyata juga bisa dijadikan sebagai ajang reuni. Hehehe...
“Afi, bersamanya tak banyak hal yang kami bicarakan. Bisa bertatap saja sudah sangat senang. Dulu aku dan afi sering bersama di dalam tempat yang baik. Perpisahan menyakitkan yang tak pernah diharapkan membuat kami tak bisa menikmati kebersamaan yang begitu hangat setiap hari. Dan sekarang kami dipertemukan kembali, insyaAllah di tempat yang lebih baik. Karena kami bertemu karena Allah.”
Seperti yang tercantum dalam susunan acara, ada satu kegiatan yang mungkin menjadi salah satu alasan untuk ikut di silaturahmi ini. Outbond. Ya, ya. Apalagi di pantai. Wah, sebelum menyambut ramadhan mengisi waktu untuk tadabur alam. Sangat menyenangkan. Barangkali memang hanya ungkapan itu yang paling tepat. Outbond persahabatan yang penuh keriangan. Bermain-main di pantai selatan atau hanya sekadar mengambil gambar sebagai dokumentasi di akhir-akhir bulan sya’ban setelah bermuhasabah di malam sebelumnya. Muhasabah yang membikin jiwa ini tersentak merasa diri yang penuh dosa. Astaghfirullah. Begitulah faktanya. Bagaimanakah tingkah laku kita selama ini. Kemanakah pandangan ini kita arahkan. Apa sajakah yang telah didengar oleh telinga ini. Kemana sajakah kaki ini melangkah. Ke jalan Allah kah? Atau kemanakah? Kadang-kadang kita bersedih. Tapi kesedihan itu bukan karena kita merasa betapa kerdilnya kita dihadapan Allah. Gara-gara kesedihan tak berujung itu, air yang manis menjadi terasa pahit. Makanan yang lezat terasa hambar. Bunga mawar yang mekar mewangi kembali layu. Lalu pantaskah kesedihan itu terus bersemayam di hati? Padahal kesedihan itu bukan datang dari Allah. SubhanAllah, muhasabah itu benar-benar mengajarkan bagaimana untuk selalu berfikir positif. Manusia tidak mengetahui segalanya, tapi Allah tahu semuanya.
Int, akhwat yang hobi menulis, tak luput untuk membuat pengalaman ini sebagai karya coretan penanya yang keempat belas. Ia perhatikan mantap bagaimana gagasan utama, latar serta alur. Sampai tiba di konflik ia mengalami kebuntuan ide. Bagaimana dengan konflik ceritanya? Karena apa yang ia alami memang berjalan lurus. Tak ada kehadiran konflik dalam rangkaian acara silaturahmi itu.
“mosok cerpen ga ada konfliknya sih?” Desahnya membatin dalam perasaan sedikit menyiksa.
“bismillah...” Celotehnya berusaha berfikir kembali. Ah, ya. Tak ada satu idepun mampir dalam otak kebanggaannya. Bingung. Mungkin ungkapan itu lebih tepat.
“ya, Allah, jan” keluhnya penuh kekesalan. 
“konflik, dimana kamu? Aku membutuhkanmu.. O,o? Ada yang jualan ide nggak yah? Aku mau beli deh. Hehehe” celetuknya seperti tak punya iman.
Hmm, akhirnya ia putuskan: kebuntuan ide adalah konfliknya. Pernyataan yang sebenar-benarnya karena memang betul tak satupun ide konflik ditemukan. Hahaha... Ternyata mudah untuk menarik kesimpulan di tengah kesusahan dalam masalah kebuntuan ide itu. Ya, itu dia. Kebuntuan ide adalah konflik yang dicari-cari. Mau mencari sampai ke ujung lingkaranpun tak akan terlihat. Itu karena lingkaran tak punya ujung. Hahaha... Lingkaran itu berputar meluas dan bukan memanjang seperti besi yang mempunyai ujung. Sama seperti hidup. Hidup seperti besi. Ujung akhir dari hidup tampak begitu nyata, yaitu kematian. Wow, serem banget kalau sudah membicarakan maut. Ah, sudah. Pada intinya, cerita yang berjalan lurus itu menjadikan int semakin yakin. Hidayah telah datang kepadanya. Seperti kata pepatah bijak, hidayah itu di cari. Ketika sudah di dapatkan, maka genggam! Jangan sampai lepas. Seperti halnya menyalakan lilin itu mudah, yang sulit itu adalah menjaganya agar tetap menyala. Memberi penerangan di tengah kegelapan. Begitu juga dengan hidayah. Apa itu hidayah? Yaitu ketika kita bisa melakukan segala sesuatu penuh perhitungan, dan perhitungan adalah Allah. Ya, selalu ingat hanya kepada rabbi. Rasa takut hanya tertuju pada rabb Sang Pemilik Arsy. SubhalAllah...

Kedungreja, 9 juli 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar