Pukul
enam tiga puluh di terminal bus sidareja
masih diselimuti kabut yang cukup tebal. Terbukti dengan melihat apa-apa yang
ada di depan akan tampak samar. Tak seiring suasana yang seharusnya masih sepi.
Orang-orang telah ramai dengan berbagai cuap-cuap mereka menanti keberangkatan
bus menuju beragam tujuan masing-masing. Gemuruh suara para calo terdengar nyaring
sampai di telinga. Menawarkan jasanya kepada para calon penumpang bus.
Rata-rata dari mereka berwajah sangar dengan jenggot tipis
yang sudah mulai
banyak berubah warna karena usia yang semakin tua disertai pakaian yang serba
biru. Kompak sekali para calo itu. Lain halnya dengan pengasong. Ramai-ramai
mereka lalu lalang menjajakan dagangannya. Dari berjualanlah mereka kebanyakan
menggantungkan hidup. Mengharap kedatangan rezeki tuhannya. Tampak pula para
montir yang sibuk memamerkan keterampilan tangannya untuk memberi pernyataan
kepada kondektur bahwa bus telah siap digunakan. Banyak noda disana-sini
mengotori seragam kerja montir akibat berhubungan langsung dengan oli. Buruk
sekali. Tetapi begitulah profesi mereka. Nikmat Allah yang harus disyukuri.
“tan,
Intan...!!” Seru seseorang dari belakang sedikit berteriak mengagetkan.
“oh,
mba.. Gasik mba?” Sahut Intan pada teman perjalanannya. Ia kira, dirinya adalah
orang pertama yang sampai di terminal, faktanya ada yang mendahuluinya. Ah, tak
masalah. Apa yang perlu diperdebatkan? Pertama atau keberapapun mereka akan
berangkat bersama dengan delapan teman lainnya yang sampai saat itu belum juga
menunjukkan batang hidungnya.
Matahari
mulai menampakkan ronanya dari ufuk timur. Membawa sembilan pelajar islam
bangkit dari kursi tunggu dan beranjak memasuki bus. Intan duduk ditemani oleh
Farida, teman seangkatannya yang baru naik ke kelas yang setingkat lebih
tinggi. Keduanya duduk di bangku kedua, tepatnya dekat dekat dengan pintu.
“ini
adalah kali pertamaku naik bis bareng temen-temen.” Ucap Farida memulai
pembicaraan.
“hahaha...
:d payah, ah!” Balas gadis pemilik nama Intan yang kerap disapa dengan sebutan
“mba” walaupun teman sebaya sekalipun.
Sang
sopir mulai memutar kontak dan langsung saja tancap gas pertanda bus akan
segera melaju. Tak lama dari itu, kondektur mulai bersiap dengan gaya khasnya
berteriak, “arisan..arisan..” Satu per satu kondektur menarik balas jasa kepada
para penumpang. Hmm, subsidi naik, semuanya jadi naik. Tak luput pada tarif bus
menuju cilacap. Ya, cilacap. Intan dan kesepuluh temannya termasuk kakak kelas
hendak mengikuti silaturahmi rohis se-kabupaten cilacap. Rohis adalah wadah bagi pelajar muslim untuk menambah
wawasan keislaman. Yap, tepat sekali.
Perjalanan
yang terbilang cukup lama itu berhasil membuat sebagian besar penumpang terus
beristighfar. Jalan raya
sidareja-cilacap sudah sangat jauh berbeda dari beberapa waktu sebelumnya.
Sangat menyebalkan. Seperti berjalan di tengah samudera. Berombak dan
bergelombang karena disana-sini banyak lubang. Kalau musim kemarau diselimuti
debu, sedang di musim penghujan banyak air menggenang. Tidak. Bukan menggenang,
tapi seperti air mancur. Banyaknya kendaraan yang lalu lalang terutama mobil
besar sudah pasti membuat pengendara roda dua terus menghela nafas kesal bila
mereka kecipratan air kotor itu. Hahaha...
Baru
melewati perbatasan pertama, mba tri, salah satu dari delegasi kedungreja
termasuk Intan harus mengalah berdiri demi orang tua yang memang sudah cukup
sepuh. Dan di perbatasan keempat, kini Intan yang meikhlaskan tempat duduknya
untuk pak tua. Sudah sepuh sekali. Tapi badannya masih terlihat bugar seperti
tidak memiliki penyakit tua yang kebanyakan nenek dan kakek punya. Wah, pahala.
Itulah yang termuat dibenak gadis kecil yang memang bertubuh kecil, Intan.
Lebih singkatnya int. Hehehe...
Baru
sampai di tujuan, rasanya senang sekali. Int menarik napas lega. Alam
sepertinya memang memerintahkan int untuk datang. Dan ikut dalam suasana yang
sepertinya akan membuat mereka kebanyakan tertarik untuk ikut lagi. Berkumpul
dengan orang-orang baik memang menyenangkan. Dengannya bisa membawa mereka
hanyut dalam kebaikan yang serupa. Disana int juga rekan-rekannya mendapat
banyak teman baru, pengalaman baru, dan terutama wawasan yang lebih luas
tentang islam.
“Aku
sudah satu tahun duduk di bangku SMA. Sekarang sudah naik ke kelas sebelas.
Rasanya berhijab itu ngena banget sampe ke dasar sumsum. Apalagi di rohis,
seperti hidayah datang kepadaku meski aku sempat menjauh dari rohis karena
sesuatu hal. Nyaris aku kehilangan hidayah itu, tapi aku siap untuk jadi
aktivis di rohis lagi. Dengannya aku berharap mendapat syafaat Allah untuk
mengkaji islam secara kaffah.
Ditambah lagi ikut acara silaturahmi ini semakin yakin aku akan keislamanku.
Wah, senengnya.. Temen Intan jadi tambah banyak. J” batin Int penuh khidmat mendalami acara yang hendak dilaluinya
bersama teman barunya maupun rekannya. Tak hanya itu, bersama sahabat lamapun
mereka bertemu. Acara itu tak sekadar
silaturahmi, ternyata juga bisa dijadikan sebagai ajang reuni. Hehehe...
“Afi,
bersamanya tak banyak hal yang kami bicarakan. Bisa bertatap saja sudah sangat
senang. Dulu aku dan afi sering bersama di dalam tempat yang baik. Perpisahan
menyakitkan yang tak pernah diharapkan membuat kami tak bisa menikmati
kebersamaan yang begitu hangat setiap hari. Dan sekarang kami dipertemukan
kembali, insyaAllah di tempat yang lebih baik. Karena kami bertemu karena
Allah.”
Seperti
yang tercantum dalam susunan acara, ada satu kegiatan yang mungkin menjadi
salah satu alasan untuk ikut di silaturahmi ini. Outbond. Ya, ya. Apalagi di
pantai. Wah, sebelum menyambut ramadhan mengisi waktu untuk tadabur alam.
Sangat menyenangkan. Barangkali memang hanya ungkapan itu yang paling tepat.
Outbond persahabatan yang penuh keriangan. Bermain-main di pantai selatan atau
hanya sekadar mengambil gambar sebagai dokumentasi di akhir-akhir bulan sya’ban
setelah bermuhasabah di malam
sebelumnya. Muhasabah yang membikin jiwa ini tersentak merasa diri
yang penuh dosa. Astaghfirullah.
Begitulah faktanya. Bagaimanakah tingkah laku kita selama ini. Kemanakah
pandangan ini kita arahkan. Apa sajakah yang telah didengar oleh telinga ini.
Kemana sajakah kaki ini melangkah. Ke jalan Allah kah? Atau kemanakah?
Kadang-kadang kita bersedih. Tapi kesedihan itu bukan karena kita merasa betapa
kerdilnya kita dihadapan Allah. Gara-gara kesedihan tak berujung itu, air yang
manis menjadi terasa pahit. Makanan yang lezat terasa hambar. Bunga mawar yang
mekar mewangi kembali layu. Lalu pantaskah kesedihan itu terus bersemayam di
hati? Padahal kesedihan itu bukan datang dari Allah. SubhanAllah, muhasabah
itu benar-benar mengajarkan bagaimana untuk selalu berfikir positif. Manusia
tidak mengetahui segalanya, tapi Allah tahu semuanya.
Int,
akhwat yang hobi menulis, tak luput untuk membuat pengalaman ini sebagai karya
coretan penanya yang keempat belas. Ia perhatikan mantap bagaimana gagasan
utama, latar serta alur. Sampai tiba di konflik ia mengalami kebuntuan ide.
Bagaimana dengan konflik ceritanya? Karena apa yang ia alami memang berjalan
lurus. Tak ada kehadiran konflik dalam rangkaian acara silaturahmi itu.
“mosok
cerpen ga ada konfliknya sih?” Desahnya membatin dalam perasaan sedikit
menyiksa.
“bismillah...”
Celotehnya berusaha berfikir kembali. Ah, ya. Tak ada satu idepun mampir dalam
otak kebanggaannya. Bingung. Mungkin ungkapan itu lebih tepat.
“ya,
Allah, jan” keluhnya penuh kekesalan.
“konflik,
dimana kamu? Aku membutuhkanmu.. O,o? Ada yang jualan ide nggak yah? Aku mau
beli deh. Hehehe” celetuknya seperti tak punya iman.
Hmm,
akhirnya ia putuskan: kebuntuan ide adalah konfliknya. Pernyataan yang
sebenar-benarnya karena memang betul tak satupun ide konflik ditemukan.
Hahaha... Ternyata mudah untuk menarik kesimpulan di tengah kesusahan dalam
masalah kebuntuan ide itu. Ya, itu dia. Kebuntuan ide adalah konflik yang
dicari-cari. Mau mencari sampai ke ujung lingkaranpun tak akan terlihat. Itu
karena lingkaran tak punya ujung. Hahaha... Lingkaran itu berputar meluas dan
bukan memanjang seperti besi yang mempunyai ujung. Sama seperti hidup. Hidup
seperti besi. Ujung akhir dari hidup tampak begitu nyata, yaitu kematian. Wow,
serem banget kalau sudah membicarakan maut. Ah, sudah. Pada intinya, cerita yang
berjalan lurus itu menjadikan int semakin yakin. Hidayah telah datang
kepadanya. Seperti kata pepatah bijak,
hidayah itu di cari. Ketika sudah di dapatkan, maka genggam! Jangan sampai
lepas. Seperti halnya menyalakan lilin itu mudah, yang sulit itu adalah
menjaganya agar tetap menyala. Memberi penerangan di tengah kegelapan. Begitu
juga dengan hidayah. Apa itu hidayah? Yaitu ketika kita bisa melakukan
segala sesuatu penuh perhitungan, dan perhitungan adalah Allah. Ya, selalu
ingat hanya kepada rabbi. Rasa takut hanya tertuju pada rabb Sang Pemilik Arsy.
SubhalAllah...
Kedungreja,
9 juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar