Jumat, 23 Agustus 2013

Sang Inspirator



Kesunyian malam nyaris lenyap. Tiba saatnya Sang Surya yang berkuasa.  Pun mentari pagi mulai menembus celah-celah jendela di ruang tidurku dan memaksaku untuk bangun. Kali ini aku tak bisa menghindar, aku menyerah. Aku memang harus bangkit dari kasurku yang lumayan empuk. Terlihat remang-remang waktu menunjukan pukul lima pagi. Lekas aku beranjak mandi dan melaksanakan kewajiban. Ohya, nyaris terlupa. Kata orang tuaku, namaku Nadia. Aku merasa bahagia dikelilingi orang-orang yang baik selalu kepadaku. Aku sangat beruntung memiliki dua orang terkasihku, ialah ayah dan ibu yang aku yakini mereka tidak pernah lupa menghadirkan namaku dalam setiap doa mereka. Juga kakak yang selalu setia
menemaniku berkelahi. Aku lebih kerap menyapanya dengan sebutan Mba Nindy. Setiap waktu yang kami lewati selalu berujung perkelahian hebat laik perang dunia. Tapi itu semua kujadikan sebagai bagian dari bahagiaku.  Dan aku mulai merasa kesepian ketika Mba’ku itu masuk kuliah. Tak ada keramaian yang tercipta seperti biasanya. Intensitas perkelahian antara aku dan Mba Nindy sudah pasti berkurang drastis. Bahkan nyaris tidak pernah lagi kualami. Kecuali kalau gadis si pemilik nama Nindya Rahma itu mudik. Lain pula dengan sahabat. Aku punya sahabat yang baik banget terhadapku. Aku mengenalnya sejak aku duduk di bangku SMP. Dia baik dan setia. Selalu mengerti aku,  mendengarkan ceritaku, dan menyimpan rahasiaku. Dia selalu ada, walau sebenarnya nggak ada. Hehehe...  Dan bagian dari hidupku yang lainnya adalah teman hatiku. Azka namanya. Dia adalah sosok pemuda yang baik menurutku, manis, dan terutama sholeh. Aku mencintainya karena Allah.
 Aku tidak bisa lagi disapa dengan sebutan anak kecil. Sudah dua lembar ijazah yang berhasil ku genggam saat ini. Aku baru saja menyelesaikan studiku di sekolah tempatku mengenyam pendidikan menengah pertama. Meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di sana. Dan salah satu yang menyakitkan adalah perpisahan. Berpisah dengan sahabat setiaku, juga guru-guru yang telah dengan sabar mengajariku bagaimana bisa mengetahui bahwa benda jatuh ke bumi adalah karena hukum gravitasi. Itu adalah contoh kecil dari begitu banyaknya ilmu yang kudapatkan dari pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Kini aku mulai melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Seragamku saja sudah berganti menjadi putih abu-abu. Sekolah Menengah Atas. Masa yang paling indah. Katanya. Faktanya, biasa saja menurutku. Teman baru, lingkungan baru, suasana baru. Semuanya biasa saja. Mungkin orang lain akan menganggapku tabu mengapa aku hanya merespon ini semua dengan dua kata yang cukup singkat, “biasa aja” tapi inilah aku. Setiap orang pasti berbeda. Hanya dimata Tuhan semuanya sama. Anak kembar identik sekalipun, pasti memiliki perbedaan. Begitu juga denganku. Aku lebih merasa nyaman dengan suasana yang biasa kujalani. Malah kadang nelangsa dengan suasana yang baru. Entahlah, aku sendiri tidak paham apa alasannya.
“Gak betah!” Ya, mungkin ungkapan ini lebih tepat. Yang pasti, aku kahilangan banyak kenangan selama aku duduk di bangku SMP. Sahabat terbaikku, tak bisa kujumpai lagi setiap hari. Karena kami tidak berada di sekolah yang sama lagi. Kuharap, hubungan persahabatan yang baik ini tetap terjalin. Tidak merenggang, apalagi terputus.
Di kelas baruku, aku ditemani oleh gadis berkacamata miopy minus dua koma lima. Aulia namanya, yang kini duduk tepat di sampingku. Dengannya, kami bercerita tentang apa yang terjadi antara aku, dia dan kelas kami. Hari pertamaku menjadi pelajar SMA cukup menegangkan. Setiap masuk SMP atau SMA, pasti siswa baru akan mengalami Masa Orientasi Siswa atau lebih kerap disapa dengan sebutan MOS. Berbagai tugas yang aneh-aneh diberikan oleh senior kepada junior.  Intinya Mos itu acara yang asyik.
“Perkenalkan, nama saya Nadia Rahma. Saya berasal dari SMP Putih Biru. Ada yang ingin ditanyakan?” ucapku saat perkenalan. Mulanya semua diam. Aku sangat paham, mungkin karena mereka masih malu-malu. Sama sepertiku, belum terbiasa dengan lingkungan yang baru. Jadi masih perlu adabtasi. Tapi, karena senior-seniornya narsis, suasana sepi bisa seketika berubah menjadi ramai menyenangkan dan berhasil membuat salah seorang siswa mengangkat telunjuknya dan bertanya,
“Jumlah sodara?” hahaha... hampir setiap seorang yang memperkenalkan di mimbar kelas, tidak luput dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang singkat, dan mungkin tidak penting menurutku, tapi hal kecil itu mampu menciptakan tawa.
Senior-seniornya gokil. Sebagian ada yang galak. Sebagian lagi tegas. Tegasnya banget. Membuat suasana kelas menjadi tegang. Siapa lagi kalau bukan ketua OSIS. Hehehe... selama tiga hari MOS, kelasku di bina oleh dua orang sebagai walikelas. Yang laki-laki Ka Fafa, yang perempuan Ka Iwan namanya. Eh, kebalik nggak yah. Hehehe... Ka Fafa itu banyak diamnya. Tapi kalau sekali nyeletuk ngena banget. Sedangkan Ka Iwan, kelihatannya sabar banget. Menurutku, dia senior yang baik, murah senyum, dan ramah. Aku merasa nyaman bisa di MOS sama kakak yang punya hobi menulis itu. Sayang sekali aku hanya bisa melewati dua hari MOS, karena hari ketiga sekaligus terakhir aku sakit.
Sedih, merana, perih, pilu, bercampur menjadi gado-gado. Lengkap dengan bumbunya yang pahit. Sakit adalah kondisi yang menjengkelkan. Kondisi yang tidaka pernah aku harapkan. Ini adalah kali pertamaku menyaksikan bahwa dokter memvonisku menderita  gejala jantung. Hatiku miris saat itu. Ditambah lagi dengan satu kenyataan meyakitkan bahwa aku mengidap lambung kronis.
“Assalamu’alaykum Ka Iwan, maaf di hari terakhir saya tidak bisa hadir karena saya sakit. Makasih atas ilmu yang kaka berikan selama 2 hari MOS. Ini ada sedikit kenang-kenangan dari saya, semoga kaka mau menerimanya. Wassalamu’alaykum.” Itulah tugas terakhir dari senior, yaitu membuat surat kecil yang harus disampaikan di hari ketiga Masa Orientasi Peserta Didik Baru.
Aku juga menyelipkan nomor phone cellku di dalam suratku. Dan sesuai harapan, Ka Iwan membalas pesanku.
“Wa’alaykumussalam, iya, gpapa. Syukron untuk kenang-kenangannya. Kaka suka. Nadia sakit apa? Semoga lekas membaik ya..” Wah, senangnya. Aku ceritakan semuanya sampai panjang dikalikan lebar sama dengan luas. Hehehe... Tentang sakitku. Tentang perasaanku. Aku malahan curhat sama kaka yang satu itu. Nyaman banget rasanya. Tapi, sebenarnya aku takut kalau akan mengirim pesan singkat. Takut mengganggu aktivitasnya, karena aku tahu dia seorang yang sibuk karena dia bagian dari kepengurusan OSIS. Organisasi tertinggi di sekolah.
Semenjak aku divonis sakit, aku mulai sering tidak masuk sekolah. Aku yakin, buku laporan hasil belajarku kelak pasti banyak coretan pena di kolom hadir siswa. Hehehe.. Aku lebih sering mengunjungi dokter bersama ibuku atau sesekali bersama Mba Nindy. Tidak sedikit obat berhasil kutelan dan rasanya pahit. Setiap orang pasti akan mengeluh bila harus berhadapan dengan tablet dan kapsul yang menjengkelkan. Akulah yang setiap harinya memang suatu keharusan menelan obat-obat itu sampai habis dan aku sembuh. Beruntungnya, keluargaku terus memberiku semangat. Tak lekang mereka mengingatkanku untuk pandai bersyukur.
“Assalamu’alaykum Nadia, gmana kabar?” nama Ka Iwan muncul di inboxku sebagai pesan singkat.
“La Tahzan, jangan bersedih. Meskipun sedang sakit harus tetap semangat. Mungkin ini cara Tuhan menunjukkan kasih sayangNya buat Nadia. Allah sangat sayang pada Nadia, makanya, Nadia juga harus sayang pada Allah dengan tetap menjaga iman Nadia. Oke!!” Begitulah salah satu bentuk perhatiannya terhadapku.
Banyak hal yang kami bicarakan. Intinya curahan hatiku semua. Hehehe... sampai akhirnya, Ka Iwan tertarik dengan ceritaku dan berniat mengadopsi kisahku menjadi cerita pendek.
“kaka terinspirasi dengan kisah Nadia. Sebenernya pingin kaka buat cerita panjang atw novel, tapi kalau itu, kaka belum sanggup. Ilmu kaka masih cetek. Vocabsnya juga limit. Mwhehe...” guraunya yang mengasyikkan terhenti karena langit yang menghitam mulai berhiaskan kelap-kelip bintang. Alam menghentikan obrolan kami karena matahari telah sempurna tenggelam dan memberi isyarat untuk selekas mungkin melaksanakan kewajiban Sholat Magrib.
Bulan yang hampir bulat berlatar langit di musim kemarau mengundang kesan yang dalam. Suasana Hari Raya masih terasa begitu hangat. Betapa bangganya aku, ketika aku menjadi obyek cerita Ka Iwan yang pastinya akan menjadi bagian dari koleksi cerpen karyanya. Pun aku senang, ini adalah kali pertamaku menjadi salah satu inspirator. Angkasa kelam sepi membisu. Hawa dingin terasa menusuk melalui celah-celah di ariku dan menuntut mekanisme tubuhku untuk beristirahat. Aku menurut.

                                                                                    Kedungreja, 14 Agustus  2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar