Kesunyian malam nyaris lenyap. Tiba
saatnya Sang Surya yang berkuasa. Pun
mentari pagi mulai menembus celah-celah jendela di ruang tidurku dan memaksaku
untuk bangun. Kali ini aku tak bisa menghindar, aku menyerah. Aku memang harus
bangkit dari kasurku yang lumayan empuk. Terlihat remang-remang waktu
menunjukan pukul lima pagi. Lekas aku beranjak mandi dan melaksanakan
kewajiban. Ohya, nyaris terlupa. Kata orang tuaku, namaku Nadia. Aku merasa
bahagia dikelilingi orang-orang yang baik selalu kepadaku. Aku sangat beruntung
memiliki dua orang terkasihku, ialah ayah dan ibu yang aku yakini mereka tidak
pernah lupa menghadirkan namaku dalam setiap doa mereka. Juga kakak yang selalu
setia
menemaniku berkelahi. Aku lebih kerap menyapanya dengan sebutan Mba Nindy.
Setiap waktu yang kami lewati selalu berujung perkelahian hebat laik perang
dunia. Tapi itu semua kujadikan sebagai bagian dari bahagiaku. Dan aku mulai merasa kesepian ketika Mba’ku
itu masuk kuliah. Tak ada keramaian yang tercipta seperti biasanya. Intensitas
perkelahian antara aku dan Mba Nindy sudah pasti berkurang drastis. Bahkan
nyaris tidak pernah lagi kualami. Kecuali kalau gadis si pemilik nama Nindya
Rahma itu mudik. Lain pula dengan sahabat. Aku punya sahabat yang baik banget terhadapku. Aku mengenalnya sejak
aku duduk di bangku SMP. Dia baik dan setia. Selalu mengerti aku, mendengarkan ceritaku, dan menyimpan
rahasiaku. Dia selalu ada, walau sebenarnya nggak
ada. Hehehe... Dan bagian dari hidupku
yang lainnya adalah teman hatiku. Azka namanya. Dia adalah sosok pemuda yang
baik menurutku, manis, dan terutama sholeh. Aku mencintainya karena Allah.
Aku tidak bisa lagi disapa dengan sebutan anak
kecil. Sudah dua lembar ijazah yang berhasil ku genggam saat ini. Aku baru saja
menyelesaikan studiku di sekolah tempatku mengenyam pendidikan menengah
pertama. Meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di sana. Dan salah
satu yang menyakitkan adalah perpisahan. Berpisah dengan sahabat setiaku, juga
guru-guru yang telah dengan sabar mengajariku bagaimana bisa mengetahui bahwa
benda jatuh ke bumi adalah karena hukum gravitasi. Itu adalah contoh kecil dari
begitu banyaknya ilmu yang kudapatkan dari pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Kini aku mulai melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi. Seragamku saja sudah berganti menjadi putih abu-abu.
Sekolah Menengah Atas. Masa yang paling indah. Katanya. Faktanya, biasa saja
menurutku. Teman baru, lingkungan baru, suasana baru. Semuanya biasa saja.
Mungkin orang lain akan menganggapku tabu mengapa aku hanya merespon ini semua
dengan dua kata yang cukup singkat, “biasa aja” tapi inilah aku. Setiap orang
pasti berbeda. Hanya dimata Tuhan semuanya sama. Anak kembar identik sekalipun,
pasti memiliki perbedaan. Begitu juga denganku. Aku lebih merasa nyaman dengan
suasana yang biasa kujalani. Malah kadang nelangsa
dengan suasana yang baru. Entahlah, aku sendiri tidak paham apa alasannya.
“Gak betah!” Ya, mungkin ungkapan ini
lebih tepat. Yang pasti, aku kahilangan banyak kenangan selama aku duduk di
bangku SMP. Sahabat terbaikku, tak bisa kujumpai lagi setiap hari. Karena kami
tidak berada di sekolah yang sama lagi. Kuharap, hubungan persahabatan yang
baik ini tetap terjalin. Tidak merenggang, apalagi terputus.
Di kelas baruku, aku ditemani oleh
gadis berkacamata miopy minus dua koma lima. Aulia namanya, yang kini duduk
tepat di sampingku. Dengannya, kami bercerita tentang apa yang terjadi antara
aku, dia dan kelas kami. Hari pertamaku menjadi pelajar SMA cukup menegangkan.
Setiap masuk SMP atau SMA, pasti siswa baru akan mengalami Masa Orientasi Siswa
atau lebih kerap disapa dengan sebutan MOS. Berbagai tugas yang aneh-aneh
diberikan oleh senior kepada junior.
Intinya Mos itu acara yang asyik.
“Perkenalkan, nama saya Nadia Rahma.
Saya berasal dari SMP Putih Biru. Ada yang ingin ditanyakan?” ucapku saat
perkenalan. Mulanya semua diam. Aku sangat paham, mungkin karena mereka masih
malu-malu. Sama sepertiku, belum terbiasa dengan lingkungan yang baru. Jadi
masih perlu adabtasi. Tapi, karena senior-seniornya narsis, suasana sepi bisa
seketika berubah menjadi ramai menyenangkan dan berhasil membuat salah seorang
siswa mengangkat telunjuknya dan bertanya,
“Jumlah sodara?” hahaha... hampir
setiap seorang yang memperkenalkan di mimbar kelas, tidak luput dari pertanyaan
itu. Pertanyaan yang singkat, dan mungkin tidak penting menurutku, tapi hal
kecil itu mampu menciptakan tawa.
Senior-seniornya gokil. Sebagian ada
yang galak. Sebagian lagi tegas. Tegasnya banget. Membuat suasana kelas menjadi
tegang. Siapa lagi kalau bukan ketua OSIS. Hehehe... selama tiga hari MOS,
kelasku di bina oleh dua orang sebagai walikelas. Yang laki-laki Ka Fafa, yang
perempuan Ka Iwan namanya. Eh, kebalik nggak yah. Hehehe... Ka Fafa itu banyak
diamnya. Tapi kalau sekali nyeletuk ngena banget. Sedangkan Ka Iwan,
kelihatannya sabar banget. Menurutku, dia senior yang baik, murah senyum, dan
ramah. Aku merasa nyaman bisa di MOS sama kakak yang punya hobi menulis itu.
Sayang sekali aku hanya bisa melewati dua hari MOS, karena hari ketiga
sekaligus terakhir aku sakit.
Sedih, merana, perih, pilu, bercampur
menjadi gado-gado. Lengkap dengan bumbunya yang pahit. Sakit adalah kondisi
yang menjengkelkan. Kondisi yang tidaka pernah aku harapkan. Ini adalah kali
pertamaku menyaksikan bahwa dokter memvonisku menderita gejala jantung. Hatiku miris saat itu.
Ditambah lagi dengan satu kenyataan meyakitkan bahwa aku mengidap lambung
kronis.
“Assalamu’alaykum Ka Iwan, maaf di
hari terakhir saya tidak bisa hadir karena saya sakit. Makasih atas ilmu yang
kaka berikan selama 2 hari MOS. Ini ada sedikit kenang-kenangan dari saya,
semoga kaka mau menerimanya. Wassalamu’alaykum.” Itulah tugas terakhir dari
senior, yaitu membuat surat kecil yang harus disampaikan di hari ketiga Masa
Orientasi Peserta Didik Baru.
Aku juga menyelipkan nomor phone cellku di dalam suratku. Dan
sesuai harapan, Ka Iwan membalas pesanku.
“Wa’alaykumussalam, iya, gpapa.
Syukron untuk kenang-kenangannya. Kaka suka. Nadia sakit apa? Semoga lekas
membaik ya..” Wah, senangnya. Aku ceritakan semuanya sampai panjang dikalikan
lebar sama dengan luas. Hehehe... Tentang sakitku. Tentang perasaanku. Aku
malahan curhat sama kaka yang satu itu. Nyaman banget rasanya. Tapi, sebenarnya
aku takut kalau akan mengirim pesan singkat. Takut mengganggu aktivitasnya,
karena aku tahu dia seorang yang sibuk karena dia bagian dari kepengurusan
OSIS. Organisasi tertinggi di sekolah.
Semenjak aku divonis sakit, aku mulai
sering tidak masuk sekolah. Aku yakin, buku laporan hasil belajarku kelak pasti
banyak coretan pena di kolom hadir siswa. Hehehe.. Aku lebih sering mengunjungi
dokter bersama ibuku atau sesekali bersama Mba Nindy. Tidak sedikit obat
berhasil kutelan dan rasanya pahit. Setiap orang pasti akan mengeluh bila harus
berhadapan dengan tablet dan kapsul yang menjengkelkan. Akulah yang setiap
harinya memang suatu keharusan menelan obat-obat itu sampai habis dan aku
sembuh. Beruntungnya, keluargaku terus memberiku semangat. Tak lekang mereka
mengingatkanku untuk pandai bersyukur.
“Assalamu’alaykum Nadia, gmana
kabar?” nama Ka Iwan muncul di inboxku
sebagai pesan singkat.
“La Tahzan, jangan bersedih. Meskipun
sedang sakit harus tetap semangat. Mungkin ini cara Tuhan menunjukkan kasih
sayangNya buat Nadia. Allah sangat sayang pada Nadia, makanya, Nadia juga harus
sayang pada Allah dengan tetap menjaga iman Nadia. Oke!!” Begitulah salah satu
bentuk perhatiannya terhadapku.
Banyak hal yang kami bicarakan.
Intinya curahan hatiku semua. Hehehe... sampai akhirnya, Ka Iwan tertarik
dengan ceritaku dan berniat mengadopsi kisahku menjadi cerita pendek.
“kaka terinspirasi dengan kisah
Nadia. Sebenernya pingin kaka buat cerita panjang atw novel, tapi kalau itu,
kaka belum sanggup. Ilmu kaka masih cetek. Vocabsnya juga limit. Mwhehe...”
guraunya yang mengasyikkan terhenti karena langit yang menghitam mulai
berhiaskan kelap-kelip bintang. Alam menghentikan obrolan kami karena matahari
telah sempurna tenggelam dan memberi isyarat untuk selekas mungkin melaksanakan
kewajiban Sholat Magrib.
Bulan yang hampir bulat berlatar
langit di musim kemarau mengundang kesan yang dalam. Suasana Hari Raya masih
terasa begitu hangat. Betapa bangganya aku, ketika aku menjadi obyek cerita Ka
Iwan yang pastinya akan menjadi bagian dari koleksi cerpen karyanya. Pun aku
senang, ini adalah kali pertamaku menjadi salah satu inspirator. Angkasa kelam
sepi membisu. Hawa dingin terasa menusuk melalui celah-celah di ariku dan
menuntut mekanisme tubuhku untuk beristirahat. Aku menurut.
Kedungreja,
14 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar