Minggu, 21 November 2021

Dear, Seperempat Abad!

Kemarin pagi, ketika jarum jam pendek dan panjang arloji yang melekat di lengan kiriku tepat membentuk sudut siku-siku, kereta api Ranggajati membawaku ke kota istimewa. Ini adalah November. Bulanku. Biasanya setiap pengujung November aku selalu menulis. Tahun lalu alpa. Sepertinya tahun 2020 menjadi tahun terburukku dalam hal karier. Hal itu berhasil membuat aku

terluka sedemikian rupa. Mungkin sebagai imbasnya, tahun 2020, tidak ada tulisanku yang selesai. Semuanya berhenti di tengah jalan. Semuanya tidak ada yang mendapat akhir menyedihkan apalagi membahagiakan. Semuanya menggantung.
 
Kali ini, marwah kepenulisanku seperti kembali bangun dari tidur panjangnya. Semua ini berawal dari cerita nabi-nabi yang datang di hidupku. Aku selalu melting dengan cerita tentang bagaimana antara manusia satu dengan manusia lain didekatkan oleh kemanusiaan. Hatiku selalu bergetar ketika menyaksikan manusia berbagi kebaikan dan kebahagiaan. Otakku selalu ikut marah menyimak kisah bagaimana manusia saling membunuh.
 
Apakah kalian merindukan dongeng tentang nabi-nabi di hidupku? Kalau tidak, berhentilah membaca ini. Percayalah, kau tak akan kuat membendung haru. Bila kalian penasaran, jangan salahkan aku jika setelah ini kalian jadi jatuh hati padaku. Setelah membaca ini, mungkin kalian perlu membaca 2 surat cinta "untuk aku dari diriku".

 

Yth. Aku 2021

Bagaimana kabarmu, Intan? Sepertinya menanyakan kabar saat ini menjadi suatu keseriusan, bukan lagi sebatas formalitas atau keren-kerenan. Intan, sayangku, aku serius mengatakan ini sebagai suatu kecaman bahwa kamu harus selalu sehat. Dunia kita sedang sakit, kamu jangan. Aku tahu, kamu bukan tipekal orang yang gemar merepotkan orang lain. Jadi, jangan sakit, ya. Aku tidak mau lagi mendengar kamu sakit sendirian, padahal kamu memiliki banyak teman. Jangan membuatku khawatir dan merasa bersalah karena tidak bisa membantumu.

Intan, aku mohon dengan sangat, jangan menambah catatan dosaku menjadi semakin banyak, itu akan sangat melukaiku. Aku tidak sanggup lagi menyaksikan detik-detik tanganmu membeku, bola matamu perlahan tertutup, napasmu tercekat, pun mulutmu yang komat kamit melafalkan kalimat tahlil dengan kepasrahan yang menyedihkan. Aku sangat ketakutan setiap menjelang pukul empat, badanmu menggigil tak sadarkan diri macam ada malaikat izrail yang menyambangi ruang rebahmu. Melihatmu tidak berdaya begitu sungguh membuat jantungku sangat berbahaya. Intan, jangan buru-buru menutup mata. Dunia masih membutuhkanmu lebih banyak lagi. Ayo perbaiki dirimu, terutama kesehatanmu. Perbaiki pola makan yang berantakan, jam tidur yang mulai bergeser, pun olah tubuh yang tidak teratur. Aku ingin melihat senyummu terkembang kembali, seperti dilahirkan lagi. Aku ingin menyaksikan kamu bercerita nabi-nabi di hadapan muridmu yang lucu dan menggemaskan.

Intan, kenapa kamu begitu murung? Cerita tahun lalu kan sudah selesai, sudah rampung. Aku tahu masa sulitmu kemarin. Aku sangat memahami luka yang menggoresmu kemarin. Intan sayang, masa lalu bukan untuk diingat-ingat ya, melainkan cukup untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Kudengar, bukankah kamu sudah sampai di pintu gerbang yang kamu impikan? Kamu tinggal memasukinya. Jangan lupa dengan langkah pertamanya, ya. Luruskan kembali niat kamu menjadi guru. Cerdaskan anak-anakmu untuk membangun negerimu. Ah, aku akan sangat bangga padamu.

Kenapa masih juga murung, sayangku? Umi dan bapak sehat selalu di rumah. Mereka tak ada hentinya menyebut namamu pada sepertiga malamnya. Kamu adalah anak yang berbakti. Jangan merisaukan mereka. Kamu hanya cukup lebih sering pulang untuk mengobati rindu mereka padamu.

Intan sayang, kamu masih ingat kan, surat cinta romantis yang berisi 12 pesanku untukmu ketika kamu meninggalkan singgasana 21? Sekarang kamu sudah genap seperempat abad, ya. Sudah memasuki quarter life crisis. Ingat ya, jangan cepat merasa puas atas prestasi yang sudah kamu raih dengan segenap usaha. Pun jangan mudah mengeluh. Agaknya kamu perlu belajar untuk terbiasa membuat orang lain kecewa. Berhentilah berusaha menyenangkan hati semua orang karena itu tidak mungkin. Kata Eyang Pramoedya, manusia harus sudah adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Kamu juga harus adil pada dirimu sendiri.

Cobalah kamu baca lagi surat cinta dariku yang berisi dua belas pesan untukmu. Aku yakin kamu sering mengabaikannya. Kamu terlalu fokus pada orang lain sampai mengorbankan kesehatanmu sendiri. Intan sayang, apa pun masalah hidupmu sekarang, apa pun beban yang sedang kamu pikul sekarang, apa pun keresahanmu saat ini, jangan lupa untuk selalu bersyukur. Di momen yang selalu menguras emosi ini, aku hanya meminta satu hal saja: Kamu harus sehat!

 

Tertanda, diriku 2021.

Selamat ulang tahun kedua puluh lima, Intan Rifiwanti. Jangan jadi seperti padi yang lupa caranya berbuah. Mulia. Bahagia. Sejahtera. Sehat senantiasa. Bermanfaat buat sesama.

 

Ditulis di sudut kereta Ranggajati, 20 November 2021. Diselesaikan di Purwokerto, 21 November 2021.

Referensi:

Surat cinta 21 November, 2019 

Surat cinta 21 November, 2018 

2 komentar:

  1. Wahh selamat ulang tahun bu, semoga sehat selalu dan panjang umur😁

    BalasHapus
  2. Aamiin, terima kasih, ya. Semoga doa yang baik-baik dapat berbalik tak kalah baiknya :))

    BalasHapus